Friday, February 12, 2010

Tidak Ada "Pelacur" dalam Seni dan Sains

Tepat setahun lalu, saya pernah menulis "Penulis Idealis? Tell Me About It!", yang mempertanyakan apakah idealisme penulis bisa menjamin kesejahteraan hidupnya. Di situ saya ambil contoh kasus NH Dini, penulis yang semasa jayanya berkeras hanya mau menulis novel sastra dan cerpen. Di saat tuanya kini, penulis yang bukunya laris manis itu terpaksa melelang lukisannya untuk biaya berobat, tinggal di panti wreda, menerima sumbangan untuk pengobatan penyakitnya. Tak bisa dikatakan sukses secara finansial, bukan?

NH Dini memang bukan tipe penulis yang menulis demi karir dan nafkah, melainkan sekadar hobi saja. Bahkan pernah saya baca, ia menganggap menulis jika di luar karya sastra adalah "melacur".Tapi lihatlah bagaimana kondisinya hari ini.

Di masa muda dulu, saya pernah melewati masa tergila-gila menulis sastra. Puisi, cerpen, semuanya dalam genre yang serius, berusaha berbahasa indah, baik, dan benar. Tak heran jika beberapa teman yang saya tunjukkan karya lawas saya dulu berkomentar, "Kok, beda ya tulisan lu sekarang sama dulu. Yang dulu lebih nyastra.". Betul, belasan tahun sudah saya melupakan dunia sastra, demi menekuni jurnalistik, dan penulisan populer.

Lantas apakah saya "melacur'?

Tidak. Saya berteori bahwa menulis itu sama dengan bidang seni lain. Ada yang namanya seni murni, dan seni terapan.

- Seni murni: adalah ketika seni itu dikreasikan murni untuk tujuan seni, keindahan. Di sini termasuk lukisan yang memang diciptakan sebagai lukisan, tulisan sebagai karya sastra, patung sebagai karya seni, dan seterusnya. Seni murni punya kontribusi bagi kehidupan untuk mengekplorasi keindahan, nalar manusia, rasa, pendalaman berbagai gaya dan aliran. Kalau salam dunia sains ia adalah sains dasar. Bidang ini tidak langsung dirasakan manfaatnya, tapi menjadi dasar pengembangan.

- Seni terapan, alias applied arts, adalah ketika seni sudah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan manusia. Yang seperti apa? Tulisan saya ini adalah bentuk seni menulis terapan, karena lebih difokuskan pada fungsinya, yaitu sebagai alat komunikasi penyampaian opini. Konten web, advertorial, berita, artikel, konten dari Facebook dan blog, sampai naskah pidato presiden, buku populer, skenario film, adalah bentuk dari applied writing arts. Jika di dunia sains disetarakan dengan sains terapan seperti teknologi seluler yang kita nikmati sehari-hari, aplikasi Internet, dan seterusnya. Jadi dia lebih mengutamakan fungsi, bukan keindahan dan esplorasi.

Seni murni, sama dengan sains dasar, di banyak negara tak bisa dijadikan tambatan karir yang menjanjikan. Memang banyak seniman seni murni yang sukses, meraih nama besar, dan income luar biasa, demikian juga ilmuwan sains dasar. Namun kompetisi di bidang itu sangat luar biasa, memerlukan perjuangan hebat dan kesabaran, mengingat fasilitas di banyak negara berkembang kurang menunjang. Karena bidang seni murni dan sains dasar memang sangat spesifik.

Seni terapan dan sains terapan, adalah bidang dimana seniman dan ilmuwan dapat berkontribusi secara lebih luwes dan fleksibel. sebab bidang ini langsung dirasakan manfaatnya oleh publik, diperlukan, didukung oleh industri massal. Jangan heran kalau di sini prospek karirnya lebih cerah, banyak diminati orang, dan terkesan komersil.

Jadi tak layak jika dikatakan seniman dan ilmuwan yang terjun ke dunia applied arts dan applied science dikatakan tidak idealis alias melacur. Mereka tetap ada di jalurnya, hanya dengan warna berbeda.
Saya pernah ada di dua dunia itu, murni dan terapan. Sastra dan populer. Kini rasanya saya ingin menjalankan keduanya lebih seimbang. Semoga saja bisa.

Mesin Tik Tua yang Tutsnya Menguning...

Dulu sekali, seorang cewek abege tergila-gila menulis. Hanya bermodal mesin tik Brother milik kakek, ia mampu menghabiskan sekian rim kertas folio A4. Kala itu masih kelas 3 SMP, sudah cukup nekad mengirimkan cerbungnya ke majalah remaja Hai. Tapi apa daya berbulan-bulan penuh harap dinanti kabar baik pemuatannya, tak kunjung datang. Cewek abege yang berkhayal ingin jadi Lupus perempuan itu pun patah hati.

Baru ketika di kelas 1 SMA, ia terkejut luar biasa mendapati cerbungnya dimuat di majalah mingguan itu. Si Pion, judul cerbung itu, dipecah menjadi empat bagian. Sejak itu ia makin rajin memantul-mantulkan jemari mungilnya ke tuts mesin tik tua.

Sejak itu berlahiranlah aneka cerita serial, novelet, yang setiap hari dia ketik dan ketik dan ketik sepulang sekolah hingga malam hari. Zaman itu belum ada email, hingga cewek ABG itu malas sekali mengirimkan naskah-naskahnya karena harus ke kantor pos. Nanti saja, kalau sudah banyak sekalian akan kukirim sekaligiu, begitu ia berencana.

Rencana tinggal rencana. Kelas 2 SMA, perempuan yang mengasuhnya sejak kecil, sang nenek, menghembuskan nyawa terakhir. Si cewek tadi sedemikian dirundung duka, sebab nenek itu lah satu-satunya manusia di muka bumi ini yang mendukungnya menjadi penulis. Lain tidak ada. ia menjadi begitu kacau, melupakan semua manuskrip yang sudah diketiknya bertahun-tahun. Menganggapnya hanya tumpukan sampah. Dan merantaulah ia ke kota lain untuk melupakan semuanya.

Hari ini dia berusaha mengais-ngais satu demi satu karya lawasnya yang sempat terekam komputer. dia menemukan beberapa, dan tercengang-cengang, betapa dulu ia punya imajinasi sedemikian indahnya. Ia sedikit menyesal tak menyimpan semua manuskrip lama itu. Ia menyesal melupakan fantasinya menjadi penulis fiksi. Ia justru sudah menikung ke non fiksi, menjadi jurnalis, ghostwriter, menulis buku teknologi, membuat website sains, menulis untuk orang lain, mengedit naskah orang, dan semua bidang yang kian jauh dari jalur awalnya dulu.

Cewek abege itu adalah saya. Malam in, belasan tahun kemudian,i saya membaca satu-satu cerpen lawas saya, dan nyaris menitikkan air mata. Saya rindu mesin tik tua merk Brother yang tuts putihnya sudah menguning itu...saya rindu semua manuskrip yang pernah dihasilkannya dan kini pasti sudah membusuk dimakan usia..

Dua Perempuan (cerpen tahun 2002)

Ia membelalakan matanya yang memang sudah besar itu ke arahku. Kenyataan yang baru saja kututurkan sangat sulit diterima otak dan hatinya. Tapi bagaimana lagi. Semua adalah fakta tak terbantah. Bahwa aku punya kakak gila dan kakak ipar tak waras. Keduanya hidup, menghirup oksigen sama di dalam rumah orang tuaku. Rumah kecil namun berisi sembilan buah kepala yang harus diberi makan setiap hari. Mirisnya hanya aku seorang yang punya pekerjaan tetap. Selebihnya serupa manusia-manusia tanpa masa depan. Apalagi kakakku yang satu itu.

Satu demi satu bayi lahir dari perut kakakku tanpa pernah merasakan menjadi ibu. Bagaimana bisa menjadi ibu kalau setelah melahirkan lantas ia tertawa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal empat kali sudah ia melahirkan bayi-bayi tanpa ayah. Yang pertama kini telah kelas enam SD. Tumbuh sehat diadopsi oleh seorang kerabat jauh dan tak pernah tahu sejarah hidupnya. Bayi kedua langsung almarhum begitu dilahirkan. Bayi ketiga terpaksa diadopsi kakakku pertama yang sejak menikah tak juga dikaruniai anak. Dan bayi keempat kami tinggalkan begitu saja di rumah sakit bersalin sebab kami sama sekali tak punya uang untuk menebusnya.

Peristiwanya sedikit menggemparkan. Kalau saja koran ibukota ‘murahan’ itu tak memuat berita tentang bayi-bayi terlantar di rumah sakit, tentu hingga sekarang kami tak tahu bagaimana nasib si bayi. Tapi di suatu pagi seorang tetangga mengejutkanku dengan membawa sehelai koran yang memuat berita terkutuk itu. Tertera foto empat orang bayi tak beribu yang ditinggal di sebuah rumah sakit. Hatiku seperti terantuk palu godam. Sebab jelas di situ disebutkan salah satu bayi adalah anak kakakku, Rina.

Dan merebaklah berita ke pelosok kampung. Kampung kami yang memang sudah padat dan kumuh menjadi tambah riuh dengan gosip murahan macam itu. Awalnya kucoba sembunyikan kenyataan ini dari telinga orang tuaku. Namun apa daya, mulut para tetangga jauh lebih kuasa dari segalanya.

Keadaan bertambah parah ketika datang dua orang petugas dari rumah sakit ke rumah. Mereka berhasil melacak keberadaan kami. Tak lain dan tak bukan tujuan mereka adalah meminta pergantian biaya selama si bayi dirawat.

Bayi itu lahir prematur. Jadi ia harus tinggal dalam inkubator selama di rumah sakit. Biaya sebulan untuk inkubator itu plus uang susu bisa meludeskan seluruh harta kami kalau dijual. Total jendral dua bulan lebih sudah bayi itu dirawat di sana.

Kondisi rumah kami yang bobrok tak membuat gentar para petugas rumah sakit untuk menagih bayaran. Ditambah kedua orangtuaku yang jelas-jelas tak bekerja dan sakit-sakitan. Petugas tersebut tetap teguh kukuh berlapis baja berkeras bahwa kami harus melunasi seluruh biaya perawatan sang bayi selama di rumah sakit, titik.

Aku selaku ‘kepala rumah tangga’ berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami memang keluarga tak mampu.
“Tak ada maksud untuk berkelit dari tanggung jawab. Kalau tidak terpaksa kami tidak akan meninggalkan bayi itu,” begitu salah satu argumenku.
Tapi kedua petugas itu tetap ngotot.

“Lihat sendiri kondisi ibu si bayi. Sama sekali tak merasa bersalah. Ia memang tak waras dan kami tak punya cukup uang untuk membawanya ke dokter jiwa,” tambahku. Dan jadilah aku serupa pengkotbah yang panjang lebar menuturkan kondisi keluarga kami. Bapakku yang tua tak berdaya. Ia hanya melenggang keluar rumah tanpa bicara. Bermain gaplek bersama teman-teman untuk melepas stres. Sedang ibuku masuk ke kamar, menangis. Kakakku yang gila mengurung diri di kamar belakang, merokok banyak-banyak. Kakakku lain yang sudah menikah dan masih tinggal seatap cukup sibuk mengurusi anak-anaknya. Dan kakak iparku yang pengangguran berambut gondrong dengan enteng tertidur lelap sehabis begadangan semalam suntuk. Jadilah aku ujung tombak segala permasalahan ini.

Setelah mencapai perdebatan panjang tiga hari, dicapai kesepakatan. Kami, tepatnya aku, harus mengurus surat tanda tidak mampu ke RT, RW hingga kelurahan sebagai bukti bahwa keluarga kami benar-benar miskin. Dengan surat itu maka kami mendapat keringanan dari rumah sakit. Cukup membayar biaya persalinan saja. Sedang si bayi terbuka untuk diadopsi siapa saja yang berminat. Calon orang tuanya yang akan menanggung biaya perawatan rumah sakit. Sedikit lega hati ini.

Persoalan belum berakhir. Seorang perawat rumah sakit mendekatiku. Ia ingin si bayi diadopsi kerabatnya. Janji muluk disodorkan pada orangtuaku.

“Saya akan mengganti biaya persalinan, plus uang terimakasih bahwa bayi itu diizinkan kami ambil,” ujarnya. Ia meninggalkan nomor telepon dan pergi dengan hati berbunga setelah kami dengan mudah menandatangani surat persetujuan adopsi. Sehari, dua hari, tiga hari tanpa kabar jelas. Hari kelima aku datangi rumah sakit tadi. Si bayi sudah tak ada. Kuhubungi nomor telepon si perawat yang tak ada jejaknya, ternyata nomor palsu. Lemas sudah aku. Kemana bayi itu dibawa, bagaimana nasibnya, tak seorangpun tahu.

# # #

Asap rokok dalam kamar ini makin tebal. Tak terasa dua pak sudah kami habiskan bersama. Baru malam ini kuungkap seluruh uneg-uneg hati. Setelah sekian lama bersahabat dengan Ayala, tak bisa lagi kusimpan setitik rahasia darinya.

Sama denganku, Ayala adalah perempuan dengan berton-ton problem dalam hidupnya. Tak cukup satu, dua atau tiga ton bahkan. Nyaris seluruh hidup kami penuh dengan masalah tanpa henti. Susul menyusul ibarat ombak bergulung di lautan. Bertubi-tubi tanpa henti. Baru sekejap kami keluar dari satu problem, selalu disusul oleh problem lain. Begitu terus tiada habisnya. Seolah masalah adalah patner hidup kami. Dan problem merupakan nama tengah kami berdua.

Nasib Ayala tak kalah miris dari nasibku. Terlahir dari suami istri yang sudah bercerai, perempuan itu punya tiga bapak dan tiga ibu dalam hidupnya! Satu bapak-ibu kandung, satu bapak-ibu tiri dan satu bapak-ibu angkat. Kini Ayala sendiri tengah mempersiapkan perceraiannya. Berarti anaknya kelak akan punya ibu tiri dan bapak tiri kalau ia dan mantan suaminya saling menikah lagi dengan orang lain. Aneh? Apa boleh buat, inilah kenyataan. Sama anehnya dengan aku yang punya kakak perempuan gila dan kakak ipar maniak seks.

Mengenai si maniak seks ini aku juga sudah bercerita pada Ayala. Ia anjurkan agar aku menusuknya dengan pisau dapur kalau berani menggerayangi tubuhku di waktu malam. Aku belum segila itu. Mungkin kalau Ayala ada di posisiku juga takkan begitu nekad.

Pernah terobsesi untuk meninggalkan saja ‘rumah gila’ itu. Tapi siapa lagi yang akan peduli dengan orangtuaku? Kecuali aku, tak ada yang berpikir bagaimana agar kesembilan kepala penghuni rumah bisa tetap makan dan hidup. Bapakku sendiri kadang dengan batuk-batuk permanennya masih menerima tawaran menjadi supir pribadi teman SD-ku dulu yang kini sudah jadi direktur. Teman itu sama sekali tak pernah menyapaku sama sekali. Tentu saja ia malu berteman dengan anak supir kendati dulu pernah duduk sekelas denganku.

Satu-satunya hiburanku adalah menghabiskan waktu bersama Ayala. Kami bukan lesbian. Perjalanan cinta kami sama-sama terpuruk kandas. Kami berdua berusaha mencari lelaki dan cinta sejati. Kalau mendapatkan keduanya tentu hidup kami sedikit lebih berarti. Jangan seperti sekarang, pekerjaan tak membanggakan, penghasilan pas-pasan dan hidup pun sudah diganduli maslah aneh-aneh.

Maka tibalah kami di setitik kebahagiaan itu. Aku bertemu Rio dan Ayala bertemu Satho. Sejak itu kami saling asyik dengan kisah masing-masing. Hanya sesekali saja bertemu untuk bercerita. Dan ketenggelaman kami itu membuat dunia jadi sedikit berbeda. Bayangan kakakku yang gila, kakak ipar maniak seks, rumah bobrok berisi sembilan kepala minta diberi makan, hilang sudah. Hanya ada warna-warni indah. Persis seperti anak usia puber dengan cinta pertama. Diiringi lagu-lagu cengeng roman picisan kami pun meneguk setitik keindahan. Puncak, vila, hotel. Gitar, tape recorder hingga video disc. Sheryl Crow, Cranberries, The Corrs pun terdengar menggantikan Led Zeppelin, Scorpion dan Deep Purple yang muram. Tanpa cocain dan morpin kami mabuk, tenggelam dalam gelora asmara.



# # #



Brak! Dan kami pun berakhir kembali di ruang penuh asap rokok. Ayala membelalakkan matanya untuk ke sekian kali. Aku sendiri harus menerima kenyataan pahit lagi. Bukan, bukan aku dan Ayala yang mendadak hamil akibat perbuatan bebas. Tapi kakaku si gila tadi kutemui muntah-muntah di kamar mandi. Dia hamil untuk kelima kalinya. Dan aku memutar otak setengah mati bagaimana caranya agar orangtuaku tidak mati berdiri karenanya.

Bukan itu sama kejutan pada pertemuan kami di kamar sewaan Ayala. Setelah beberapa waktu kami berpisah untuk saling mereguk manisnya cinta, ternyata perempaun yang beberapa tahun lebih tua itu tak kalah dengan kisah baru. Mantan suaminya yang kupikir gila tidak terima mengetahui Ayala pacaran lagi. Pagi siang mala Ayala diteror lewa telepon. Diancam mau dibunuh dan segala macam kalau terus berpacaran.

“Dia masih mencintaimu,” pendapatku.

Tanpa ekspresi, Ayala menggeleng sembari memainkan kepulan asap rokok. Entah sudah filter keberapa membakar tenggorokan dan paru-paru kami malam itu.

“Dia cuma butuh uangku. Dia takut uangku habis untuk pacaran hingga tak tersisa buat anakku,” katanya dingin dengan terus mengepulkan asap bentuk bulat-bulat. Bibirnya memonyong.

Inilah pangkal dari permasalahan hidup kami, uang. Selalu saja uang dan uang. Kalau saja kami bisa seperti Thelma and Louise atau Calamity Jane. Tapi hidup tetap hidup. Kenyataan adalah kami warga Jakarta beserta segala tetek bengeknya: kumuh, miskin dan beruntung bisa tersenyum hari ini. Sebuah kota dimana perempuan merupakan mahluk bergincu yang bisa digodai di jalan. Dan kalau berperilaku sedikit menggoda justru berarti adalah cewek tidak beres yang harus bersedia dikerjai.

Sebuah kota panas 29 derajad celcius tapi semua orang akan memandang aneh kalau kau berjalan dengan kaos lengan buntung. Yeah, ini Jakarta,bung. Bukan Denpasar atau Singapura. Jakarta yang dimana kalau bayar ongkos bis kurang seratus perak bisa membuat kondektur naik darah dan mengeluarkan kata-kata terkotor di telingamu. Dan hari itu aku berdua Ayala kembali tenggelam dalam masalah-masalah pelik kami. Seperti biasa.


Pinggiran jakarta mei 2002.

Orang-orang di Lorong Gelap (cerpen tahun 2002)

Dari jauh sudah kukenali kepala botak mengkilap Si Rix. Diterpa sinar matahari berkilatan mirip lampu bohlam kuning menyala. Matanya menyipit menahan terik matahari. Ia berjalan gontai dengan tubuh begengnya. Dan ia bangga betul. Tidak jarang ia menahan lapar untuk menjaga kekerempengan tubuhnya.

“Anax punk gax pantez gemux,” argumennya dalam bahasa kami.

Ada Inggris British dan Inggris Amrik. Kamu pun menciptakan Indonesia British. Maksudnya, bahasa Indonesia yang dibuat aksen Bristish. Kami memakainya saat ngobrol antara kami saja. Kelamaan jadi terbiasa dan kami gunakan pula ketika ngobrol dengan orang di luar kami.

Aku sendiri tengah meratapi cat rambut unguku yang mulai luntur. Beli lagi berarti uang lagi. Tapi Onix punya formula jitu membuat cat minyak jadi cat rambut awet lagi aman. Entah bahan kimia apa ditambahkannya pada cat minyak agar bisa jadi enak jatuh di rambut. Ia sudah buktikan dengan memakaikan sendiri cat minyak warna hijau ke rambut landaknya.

“Boleh zuga,” komentarku.
“Cobha saza. Zamin gax nyesals, dech!”

Sore itu kami kumpul di Loronkz Punx, sebuah lorong kecil diapit dua gedung megah. Lorong yang menjadi ‘jalan cacing’ bagi penduduk daerah situ. Lorong dimana ada penjual majalah, CD bajakan hingga berbagai aksesoris. Lorong tempat anak punk kumpul tanpa diganggu pandangan mata aneh.

Rix ternyata bawa Psichedelic, majalah punk Eropa yang entah ia dapat darimana. Biasanya sih hasil meng-hacker*. Kami langsung mengerumuninya seperti semut melihat gula. Teman kami lain yang semula asyik menjajal-jajal CD bajakan ikut membanjiri Psichedelic .

* * *

Aku tahu kalau usiaku tidak lagi bisa dibilang muda. Maka tidak heran kalau ibuku terus bercuap-cuap sepanjang aku berada di rumah. Ia mengeluh soal rambut pink-ku yang belum lama kucat lagi jadi ungu. Belum lagi kicauan tetangga nyinyir usil soal teman-teman dan pergaulanku. Untung aku bekerja di sebuah perusahaan iklan yang membebaskan karyawan berbusana aneh-aneh selagi masih dinilai sopan. Jadilah aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengenakan jeans rombeng . Tapi anting di hidung dan jaket kulitku diizinkan. Thanks God!

Kicauan ibu bukan sebatas cara dandan dan teman-temanku, namun merembet ke soal perjodohan dan pernikahan. Huek. Mau muntah aku mendengarnya. Katanya aku ini perawan tua salah gaul dalam dandanan orang stress . Gila betul ibuku, tega nian mengataiku demikian keji. Dia tidak tahu bahwa obsesiku untuk sebesar Patty Smith** dan Cyndi Lauper belum kesampaian sejak dulu. Dia tidak paham bahwa aku serasa hidup di dekade 1970-an di kawasan kumuh Amrik kalau sudah kumpul dengan teman-teman di Loronkz Punx. Aku jadi lupa kalau hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis sumpek yang tak pernah menghargai puisi.

Di lorong itu pula aku bertemu teman-teman sealiran , seidealisme. Bisa diajak ngomong panjang lebar tentang Iggy Pop***, David Bowie, Andi Warhol, Basquiat**** sampai dengan kisah kasih Sid dan Nancy. Kami sempat punya band bernama ‘The Punxters’ yang kini tak pernah manggung lagi karena kesibukan kerja.

“Kamu sedangs apa, Nox,” suara Dex mengagetkanku. Malam minggu ini seperti biasa kami habiskan keliling kota berdua saja. Kami akan jalan-jalan atau sekedar nongrong hingga kelelahan dan berakhir di sebuah hotel murahan langganan kami.
Kupandangi wajah tirus Dex, lelakkiku dalam dua tahun belakangan ini. Sepintas ia mirip Sid Vicious*****. Karena itu juga mungkin aku dulu suka dia. Tapi aku sama sekali tak berminat punya kisah kasih mirip Nancy.
Ia mengepulkan asap rokok ke arahku, pertanda meminta jawaban segera. Aku terhenyak tak tahu harus bicara apa. Dex bukan tipe lelaki yang ingin cepat menikah. Aku hanya ingin bilang bahwa ibuku mengataiku perawan tua. Padahal sama sekali aku sudah tidak perawan, hahaha!

“Tidak apa-apa. Zuma melamun aza. Zampai kapan zinta kita terealisasi zebatas kamar hotel ini, ?”
Aku sendiri kaget dengan kelancaran kata-kata itu. Dex tidak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat
.
“Kau kira zinta kita zuma zebatas kamar ini? Crazy!”

Lelaki kerempeng itu seperti kebakaran jenggot. Ada kemarahan di wajahnya.
Aku coba tidak peduli. Terus saja mengelagut sendiri. Aku tidak mau menyebut satu kata yang dibencinya, pernikahan.

“Aku tetap zinta kamu walau tidax dalam kamar hotel ini, Nox. Camkans itu!”

Aku paham betul maksudnya. Bahwa ia mencintaiku bukan cuma untuk bergelut di atas ranjang. Namun ia seolah tak mau mengerti bahwa sebagai perempuan aku juga butuh status jelas selain sebagai pacar yang bisa diajak tidur di hotel murahan setiap birahi memuncak.

Dex punya enam bersaudara dari bapak dan ibu berbeda-beda. Bapaknya kawin dua kali, begitu juga ibunya. Kemauakannya terhadap institusi pernikahan muncul dan berkembang sejak ia menjelang pubertas. Dalam usia semuda itu ia sudah menyaksikan ratusan bahkan ribuan kali pertengkaran dua bapak dan dua ibunya. Ada semacam dorongan kuat di batin Dex untuk tidak menciptakan sebuah keluarga. Adalah dosa membentuk sebuah keluarga besar tanpa setitik kebahagiaan.

Di awal hubungan kami dua tahun lalu ia sudah utarakan itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menikah. Hari-hari pacaran kami bisa diisi dengan mendengar musik, baca buku, nonton film atau bercinta. Tapi tidak untuk membicarakan rencana pernikahan. Dan kenyataan itu baru mengusikku belakangan hari ini.

* * *
Sore menjelang malam minggu. Musik berdentam keras dari dalam kamar. Suara Nena Hagen menjerit-jerit seperti tikus terjepit pintu. Aku suka. Perempuan Jerman anti kemapanan dan meneriakan revolusi melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, malam ini aku janji dengan Dex untuk jalan-jalan keliling kota. Puncak, tujuan kami malam ini untuk double date dengan Onix dan pacar barunya. Paling-paling sewa vila bersama. Menyenangkan, daripada di hotel murahan biasa.
Aku sibuk berdandan memantas-mantaskan baju apa yang harus kukenakan nanti. Jaket kulit kesayanganku sedang dicuci. Apa boleh buat, terpaksa dengan jaket jeans belel yang ditambal emblem berbagai merek baju ternama. Itu juga kesayanganku. Sebab untuk mendapatkan emblem merek topnya aku dan teman-teman sempat mengutil, merobeki koleksi baju di butik dan plaza elit. Taruhannya tentu saja nama baik dan kebebasan. Dan kami taruhan itu kami menangkan!

Aku masih melenggak-lenggokkan pinggul mengikuti gaya Nina Hagen di depan cermin. Sebelum tiba-tiba kulihat ada kerut di kedua ujung mataku. Setengah mati kututupi dengan bedak dan eye shadow tapi tak bisa. Serta merta ketika kuperiksa akar rambutku yang tertutup cat rambut, terlihat warna putih di sana. Kucoba untuk tetap tersenyum.

Suara klakson mobil Dex terdengar berkali-kali. Aku harus bergegas, namun pinggang ini mendadak sakit. Oh, rematik-ku kumat lagi! Memang di usia setua ini aku harus kurangi keluar malam terlalu sering. Ketika berjalan keluar, kuraih kado ulang tahun untuk Dex tersayang. Hari ini tepat ulang tahunnya yang ke 45 dan aku 43.

Jakarta, 2002

Sang Maestro (Cerpen tahun 1993)

Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos tanpa izin saya sebagai penulisnya, dan baru tahu dari teman di sana yang ujuk2 mengucapkan selamat. Ternyata koran daerah itu mengcopy-paste dari web Cybersastra yang pernah memuat juga. Sedih...boro2 honor, dimintai izin aja ngga. Hehehe. padahal zaman itu saya lagi super gembel in the dark ages!
***

Lahir ke dunia dan ia dinamai Salvador Dali. Terlalu berat menyandang nama seniman besar. Ayahnya begitu tergila-gila pada seniman setengah waras itu. Tanpa pikir panjang, jabang bayi yang baru lahir itu diberinama panggilan Dali. Menuruni bakat ayah, Dali tumbuh sebagai pelukis. Hingga panitia lomba lukis sempat mentertawainya ketika Dali mendaftar.

“Kalau bikin nama samaran kira-kira ,donk.”
“Itu nama asli. Mau lihat KTP?” Dali berang mengeluarkan KTP-nya.
Sang panitia hanya terbahak. Dasar seniman, pikirnya.

Bagi orang awam nama Dali tidak berpengaruh apapun. Teman-temannya hanya tahu kalau Dali itu pelukis, titik. Mereka paham jika Dali tak pernah mencatat di kelas. Setiap kali kuliah, duduk, dan terus melukis sampai jam kuliah usai. Tak pernah sibuk mengerjakan tugas dari dosen.
“Dali, ikut kami yuk,” ajak seorang teman sepulang dari kampus.
“Bawa peralatan lukismu, kita akan lama di sana.”
Kertas gambar, pinsil konte dan rapido adalah peralatan perang Dali. Dan Dali ikut saja kemana temannya pergi. Mereka tiba di sebuah barisan rumah-rumah petak berhimpitan. Lalu masuk ke salah satunya. Kamar itu remang-remang. Musik keras menyambut kedatangan mereka. Suasana pengap. Asap putih berhamburan memenuhi
ruangan. Ada bau aneh yang belum pernah Dali rasa.
“She comes in colour everywhere, she combs her hair, she likes the rainbow…” suara serak Mick Jagger memekakkan telinga.
“Kenalkan teman-teman, ini Dali si pelukis,” teman Dali memperkenalkan dirinya ke semua yang hadir.
Orang-orang memandanginya dengan tatapan mata dingin. Salah satu bangkit menjabat tangan Dali. Ia lebih tua beberapa tahun dari yang lain. Tapi jelas berjiwa muda.
“Inilah surga kami. Saat otak sarat dengan beban hidup, kami lari kemari untuk meringankan. Selamat datang, Dali.”

Kemudian tanpa dikomando mulailah sebuah ritual penyambutan. Teman Dali melinting kertas yang sebelumnya diisi daun-daun kering. Yang ada di pikiran Dali itu adalah rokok biasa, seperri yang biasa dihisap kebanyakan orang. Dibantu yang lain, lintingan itu bertambah banyak. Di sekitarnya orang-orang seperti tak sabar menunggu. Musik kian keras. Udara tambah pengap. Lintingan mulai dinyalakan dan diedarkan dari satu tangan ke tangan lain.

Giliran Dali menerima. Seperti yang lain, ia harus menghisapnya. Hisapan pertama Dali terbatuk. Yang lain terbahak menyaksikan. Dali menghisap lagi, kepalanya terasa pusing. Mata berarir. Pelukis pemula itu belum tahu benda apa yang dihisapnya. Habis lintingan di tangan, seseorang menyodorkan yang baru. Begitulah Dali terus menerus dicekoki.
Sejak hari itu Dali jadi ketagihan lintingan. Selesai kuliah ia bergabung dengan teman-teman menuju tempat biasa. Untuk selanjutnya Dali harus membayar setiap linting yang dihisap. Keluarga Dali tak pernah tahu anaknya menjadi pecandu. Mereka hanya tahu kalau Dali keluyuran untuk mencari ilham lukisan. Demikian juga kalau Dali mengunci diri di kamar.
Ya, sejak menghisap lintingan itu inspirsi yang datang jadi aneh-aneh. Dali suka itu. Lukisannya jadi punya ciri tersendiri. Maka kebutuhannya akan lintingan-lintingan ajaib itu bertambah besar.

“Uang lagi? Untuk apa? Bukankah kemarin kau baru minta uang buat beli cat?” Ayah Dali heran akan seringnya Dali minta uang.
“Buat beli diktat, sebentar lagi ujian.” Dali berbohong.
Dan uang pun didapat dengan mudah. Dali langsung ke tempat biasa ia mendapat rokok ajaibnya. Teler di sana, sebagian dibawa pulang ke rumah. Ayah Dali kagum dengan hasil lukisan anaknya belakangan ini. Tambah artistik dan punya ciri.
“Dali sudah menemukan alirannya,” pikr ayahnya.
“Apa dia tak terlalu banyak melukis?” tanya Ibu Dali.
“Dia rajin kuliah, Bu. Masa kau tidak perhatikan itu,” sergah sang ayah.
“Kau harus hati-hati membawanya. Jangan sampai diketahui orang luar termasuk keluargamu,” begitu pesan seorang teman.
“Ya, sekarang aku sedang butuh sekali. Sudah beberapa hari ini aku tak pakai dan inspirasi jadi macet. Aku tak bisa melukis tanpa benda itu," Dali mendesak.

Lama Dali baru sadar bahwa lintingan-lintingan yang sangat ia butuhkan itu adalah gele alias ganja. Ada rasa takut menghinggapi. Namun kebutuhannya akan benda laknat itu membuatnya tak peduli. Setiap kali sehabis menghisap lintingan itu ada inspirsi aneh timbul. Diambilnya kuas dan cat, lalu mencorat-coret di atas kanvas. Hasilnya luar biasa. Dali puas. Hilang sudah ketakutannya.

Tanpa terasa lukisan Dali sudah banyak sekali. Hampir tak ada tempat di rumah untuk menampungnya. Ayah Dali sangat bangga. Ia mengundang beberapa teman kritikus seni untuk menilai lukisan anaknya.

“Fantastis! Luar biasa! Seorang Salvador Dali junior telah lahir!” Begitu komentarnya.
“Generasi penerus aliran surealis!” kata yang lain lagi.

Dan masih banyak komentar lain mengagungkan karya Dali. Itu membuat Dali semakin gila melukis. Kuliahnya berantakan. Bagi ayah Dali itu tak masalah, sebab karir Dali sebagai pelukis lebih penting. Kelamaan ayah Dali heran juga atas kebutuhan anaknya yang kian membengkak.
“Sebetulnya buat apa uang itu, Anakku? Jujurlah, ayah takkan marah.”
Dali tak berani berterus terang. Sama saja bunuh diri. Dan ia terus berbohong. Mungkin ayahnya tak percaya tapi uang itu tetap diberikan.

Teman-teman Dali selalu berbaik hati memberi berapa saja jumlah lintingan ganja yang dibutuhkan. Pelukis itu jadi pemasok dana terbesar. Kebutuhannya akan lintingan itu melebihi yang lain. Dali jadi seratus persen tergantung pada benda laknat itu. Bahkan ia tak bisa lagi berbuat apa-apa tanpanya. Apalagi ayah Dali terus mendesak agar anaknya berkarya lebih baik lagi. Dali semakin terperosok dalam kekuasaan asap-asap putih.

“Sebuah pameran, kau dengar itu Dal? Kau akan menggelar pameran bersama beberapa seniman muda ternama lain. Kau dan karya terbaikmu!” Ayah Dali menyampaikan kabar baik dengan wajah berbinar di suatu hari.
“Siapa yang membuat, Yah?”
“Kau tak tahu hampir semua kritikus seni mengakui kehebatanmu, Nak?”
Dali hanya terdiam tanpa ekspresi. Dia serupa robot yang digerakkan ayahnya dengan bahan bakar ganja.
“Dan kalau pameran itu sukses mereka menjanjikan pameran tunggal buatmu…”
Entah apalagi yang diucapkan ayahnya. Dali tak bisa menangkap jelas kata-katanya. Pikirannya hanya mengelangut jauh. Pameran? Itu berarti karyanya akan dinilai banyak orang. Ia harus menghasilkan karya yang lebih baik. Itu berarti semakin banyak membutuhkan lintingan ganja untuk memancing inspirasi. Semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk membeli. Dali memutar otak. Apalagi cara untuk mendapat uang? Ia sudah terlalu banyak berbohong pada ayah. Lalu diputuskan untuk mengambil uang tabungan. Sebetulnya itu simpanan untuk masa depan. Persetan masa depan, yang penting sekarang.

Begitulah, Dali menggerogoti uang tabungan hingga ludes sama sekali. Pamerannya sukses. Beberapa lukisannya terjual dengan harga tinggi. Uang yang didapat langsung dibelikan ganja dan mentraktir teman-teman.

“Tidak percuma kita punya teman pelukis ulung. Ayo kita fly sampai pagi!” Teman-teman Dali mengagungkan dirinya. Juga semua orang yang mengenalnya. Ayahnya, keluarga, pecinta seni, hingga para berandal tengik jalanan yang sering ditraktirnya.

Mau tak mau Dali harus memenuhi keinginan ayahnya untuk mengadakan pameran tunggal. Semua sudah tersedia. Tinggal karya-karya Dali yang ditunggu. Untuk itu Dali butuh banyak sekali ganja demi lancarnya inspirasi. Tapi uang sudah ludes.

“Ayolah, akan kubayar nanti setelah pameran,” Dali mendesak temannya.
“Ya, aku percaya pameranmu pasti sukses. Oke, ambil berapapun yang kau butuhkan. Akan kucatat semua hutangmu.” Dali terlibat hutang cukup besar. Semua temannya yakin ia mampu membayar, bahkan lebih dari harga biasa.
Dan begitulah hidup Dali terus berlangsung. Teler, melukis, berpameran. Berhutang, teler lagi, melukis lagi. Kuliah sudah lama ditinggalkan. Tidak masalah, karena ia seorang seniman besar. Semua bangga pada Dali. Tak ada hal lain yang dipikirkan Dali selain melukis dan mabuk. Ia menarik diri dari pergaulan anak muda. Melukis adalah pekerjaan mencari nafkah. Semua menjulukinya jenius. Tapi ia sendiri merasa tak lebih sebagai mesin produksi. Keadaan ini membuat Dali frustasi. Untuk mecari jalan keluar, dicarinya cara lebih ampuh.
Seorang teman menyodorkan serbuk putih lembut. Jika dihirup akan membuat perasaan jadi nyaman. Dali bisa melupakan semuanya. Hidup jadi lebih ringan.

“Barang ini lebih mahal dari yang biasa. Mendapatkannya juga lebih susah.”
“Berapapun harganya akan kubayar sesudah pameran,” Dali tertarik setelah mencoba beberapa saat.
“Pameran? Pameran apa? Kau tak pernah lagi melukis. Kerjaanmu hanya teler di sini.”
“Lukisanku masih banyak, jadi tak perlu melukis. Akan kubayar sesudah pameran seperti biasa!” Dali mendesak geram.

Setelah mendapatkan serbuk kristal putih itu, ia asyik tenggelam dalam dunianya sendiri. Tapi kini ia tak mampu melukis lagi. Inspirasi datang dan pergi tanpa memberi kesempatan untuk menuangkannya dalam kanvas. Itu justru membuat Dali menambah dosis serbuk putih yang dihirup. Ia lupa bahwa sebentar lagi pameran tunggalnya yang entah keberapa akan segera dibuka di sebuah hotel bintang lima.
Sementara itu ayah Dali kebingungan. Pameran akan dimulai beberapa menit lagi tapi Dali tak kunjung pulang. Akhirnya mereka sekeluarga menuju ke hotel dengan harapan Dali sudah berada di sana.

Ternyata ruang pameran sudah ramai pengunjung. Semua orang menunggu sang pelukis tiba untuk peresmian pembukaan pameran karyanya. Menteri, pejabat, selebriti, seniman dan pencinta lukisan hadir.

Satu jam, dua jam. Dali tak kunjung muncul. Pengunjung mulai kehilangan kesabaran. Keluarga Dali yang paling panik. Tak lama terdengar bisik-bisik antar pengunjung. Wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata ada yang baru datang. Seorang pria tegap tampil di tengah podium.

“Mohon perhatian, para pengunjung sekalian. Acara pembukaan pameran lukisan karya Salvador Dali terpaksa dibatalkan. Izinnya dicabut beberapa jam lalu.” Suaranya tegas terdengar jelas. Hadirin gempar. Keributan terjadi. Wartawan mengerumuni pria yang tertnyata adalah polisi itu.
“Apa alasan pembatalan izin itu, Pak?”
“Dimana Salvador Dali?” Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan.
“Tenang…tenang…semua akan dijawab satu-satu,” orang itu menjawab lantang.
“Dengan berat hati saya sampaikan, terutama untuk keluarga yang bersangkutan. Seniman Salvador Dali ditemukan overdosis sejam yang lalu. Ia bersama teman-temannya dipergoki menggunakan obat terlarang. Kini mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Ayah Dali ambruk. Ibu Dali menjerit histeris lalu pingsan. Pengunjung gempar luar biasa. Wartawan sibuk menjepretkan kamera sana-sini. Suasana jadi rusuh.
***

pinggiran jakarta, oktober 1993

Lithany Membunuh Sepi (Cerpen tahun 2002)

Kenapa hari berlalu begitu cepat? Lagi-lagi hari ini sudah Sabtu dan besoknya lagi Minggu.
Lithany kesal benar dengan dua hari tersebut. Kalau bisa meminta, ia ingin hari Sabtu dan Minggu ditiadakan dari kalender. Dan semua orang harus bekerja terus menerus seumur hidup tanpa kenal tanggal merah dan akhir pekan.

Kebanyakan orang menunggu-nunggu akhir pekan, tidak bagi Lithany. Akhir pekan serasa neraka waktu tiada akhir yang mesti dirasa. Pada dua hari biadab itu ia akan berjalan seorang diri di lorong-lorong kota membunuhi waktu yang berjalan begitu pelan. Demikian lambatnya hingga dua hari serasa dua tahun penuh durjana.

Di Jumat malam Lithany akan menekuni buku alamat. Mencari-cari nama teman, baru atau lama, yang bisa dihubungi. Sesudahnya ia akan sibuk menekan tombol telepon menghubungi mereka satu-satu.

“Halo, bisa bicara dengan Nani? Oh, sedang keluar? Kapan kembali? Oh ya, baiklah,” diletakkan gagang telepon.
“Halo, Dani? Besok ada acara? Baiklah, tak apa. Oh aku baik-baik saja. Sampai jumpa.”
“Halo? Tidak, saya temannya. Biar besok saya hubungi lagi.”
“Arta? Selamat berakhir pekan kalau begitu.”

Monday, February 8, 2010

Work, As Fast As You Can!

Sebagai eks jurnalis harian yang dituntut bekerja cepat, saya sangat menghargai respon cepat. Sebab saya paham bahwa menunggu itu pekerjaan yang membosankan, bahkan memuakkan.

Pujian terakhir yang saya dapat adalah dari seorang klien dengan emailnya, "Kok cepet banget,deh." Ia menimpali kiriman naskah saya di sore hari, padahal baru siangnya saya kirim email berisi pertanyaan seputar bab itu.

Saya juga mencintai respon cepat dari pihak lain. Misalnya hari ini, klien saya yang keren abis, Wimar Witoelar, langsung menyuruh kurir mengirimkan flash disc berisi foto-foto yang saya perlukan untuk bukunya. Tak lama saya menginjakkan kaki di tempat tujuan, kurir itu langsung menelepon saya bahwa dia sudah membawa paket itu.

Respon cepat yang saya tak kalah hargai datang dari salah satu perusahaan penerbitan besar yang biasanya langsung menelepon begitu saya SMS apakah ia berminat pada topik naskah tertentu. Dan ia langsung bisa memberi keputusan apakah ya layak terbit atau tidak. Paling lambat..yah 2-3 hari setelahnya. Itu termasuk kilat dibanding penerbitan lain yang membuat saya mirip menunggu Godot atau kiamat tiba, tak jelas juntrungannya.

Hari ini pun saya dikagetkan oleh ulah seorang mitra bisnis saya yang dalam sekedipan mata langsung mengirim draft dokumen yang saya butuhkan. Tak mau kalah, saya pun segera mengirim proposal super kilat ke klien saya.
Ya, dunia bisnis adalah sebuah kompetisi. Siapa cepat, dan tepat, dia akan dapat!
Masih mau bekerja ala keong? Silakan saja kalau mau tertinggal di belakang.

Sunday, February 7, 2010

Jangan Pernah Lupakan Hobi dan Cita-citamu

Beberapa kali 'adik-adik ketemu gede' bertanya pada saya, "Saya udah kelas 3 SMA, tapi masih bingung mau lanjut kuliah apa,". Atau "Mbak Merry, enaknya saya kerja apa ya nanti?".

Biasanya saya akan kembali bertanya, "Lho, hobimu apa? Kamu sukanya ngapain?". Akhirnya dibalas lagi dengan pertanyaan, "Apa hubungannya hobi sama kerjaan?"

Kalau sudah begini, saya garuk-garuk kepala. Aneh, kok sudah SMA dan kuliah masih tidak tahu mau kerja apa nantinya. Hehehe, mungkin ini problem kebanyakan orang Indonesia, belum mampu menentukan masa depan dan cita-cita sedari muda. Padahal perjalanan menuju sana itu panjang sekali, dan sudah harus disiapkan dari jauh-jauh hari. Aduh, kenapa bahasa gue jadi tua begini, seh?

Oke, saya jelaskan aja apa hubungan hobi sama kerjaan. Hobi itu bagi saya adalah aktivitas yang kita sukai, kita gilai. Menyanyi, main games, menulis, menggambar, ngebanyol cerita lucu, baca buku, memasak, nonton film, dan sebagainya. Pokoknya kegiatan sehari-hari yang dominan kita lakukan karena kita suka. Biasanya kalo suka sama sesuatu, otomatis dia akan mendalami bidang itu. Yang suka masak akan belajar masak, beli buku resep. Yang hobi nonton film akan koleksi DVD, baca literatur soal film, coba gabung sama komunitas film, bikin resensi film, dan sejenisnya. Yang hobi nulis akan banyak menulis, membaca demi memperkaya referensi tulisan, bikin blog, kirim tulisan ke media, atau bahkan coba-coba nulis buku, dan seterusnya.

Dari hobi ini, kalau memang diniatin, bisa jadi mendatangkan keuntungan. Misalnya memasak tadi akhirnya jadi bisa dipercaya teman menerima pesanan katering, atau bikin resensi film jadi mendapat honor karena nulis resensi di majalah, demikian juga menulis cerpen buat yang hobi nulis. Ini belum bisa disebut pekerjaan, karena masih sampingan saja dan honornya pun ngga bisa jadi jaminan.

Hobi baru bisa jadi pekerjaan kalau sudah sungguh-sungguh didalami sepenuh hati. Yang hobi masak ambil jurusan tata boga, kursus masak langsung pada pakarnya, kalo perlu jadi pakar kuliner, atau sekalian dipadu dengan bisnis restoran. Yang hobi nonton film dapat mendalami sinematografi di bangku kuliah, ngobrol sama pakar perfileman nasional, ikut konferensi perfileman dunia, dan belajar jadi sutradara. Dan seterusnya. dari situ kompetensi kita makin dipercaya, dilibatkan pada proyek-proyek sesuai bidang kita, dan bisa menjadi sumber nafkah utama.

Lalu akan muncul protes, "Iya, itu buat mereka yang berduit. Kalo ngga, boro-boro bisa kuliah. Mau ngejalanin hobinya aja ngga ada duit!"

Nah, inilah alasan utama manusia Indonesia, duit. Kalau sudah bicara "Saya bukan dari keluarga berada," atau "Saya harus bantu adik-adik sekolah, dan orang tua sakit-sakitan,", maka merasa bisa dijadikan justifikasi untuk bekerja apa saja asal dapat duit, lupakan cita-cita dan hobi.
Oke, saya tidak menyalahkan mereka yang bekerja apa saja demi uang karena memang keadaan memaksa untuk itu. Saya sendiri juga dulu pernah bekerja yang tak ada hubungannya sama hobi saya, menulis.

Ada banyak pekerjaan "apa saja" yang bisa tetap dikaitkan dengan hobimu. Yang ngga butuh titel sarjana dan pendidikan tinggi. Sebut saja, kerja jadi pelayan restoran buat yang hobi memasak. Atau jadi kasir di butik buat yang berminat di dunia fashion. Jadi tenaga administrasi di rumah sakit bagi mereka yang ingin jadi dokter tapi ngga ada dana buat kuliah kedokteran. Jadi resepsionis di statsiun TV buat yang ingin jadi penyiar TV. Dan seterusnya.

Dari pekerjaan "apa adanya" tapi masih berkorelasi dengan hobi dan cita-cita itu, kita akan punya spirit yang membuat kita selalu ingat pada passion kita, hobi kita. dan peluang buat menuju cita-cita itu sudah di depan mata. Setidaknya kita sudah ada di jalur yang benar. dengan modal ijazah SMA, kamu bisa bekerja di stasiun TV walau cuma sebagai resepionis, bikan penyiar TV seperti impianmu. Tapi kamu jadi kenal dengan banyak orang TV. Sedikit lagi ketekunan, yakni menabung untuk belajar banyak hal seluk beluk dunia TV, menjalin hubungan baik dengan mereka, dan bukan tak mungkin meraih beasiswa buat kuliah di jurusan broadcasting.

Bagaimana dengan yang jadi pelayan restoran, padahal dia ingin punya restoran atau pakar kuliner? Ya, itu juga berlaku, kok.

A long long long tima a go, sebelum saya menulis 4 buku, mengedit banyak buku, sukses menggolkan orang menerbitkan buku, menjadi jurnalis, menjuarai lomba jurnalistik, saya adalah kasir dan penjaga sebuah toko buku. Ya, saya dulu DO dari kuliah jurnalistik. Jadi tak cukup pede buat melamar kerja sebagai jurnalis dengan ijazah SMA. Tapi saya sangat pede buat melamar kerja ke Times The Bookshop sebagai retail assistant (istilah keren pelayan dan kasir toko..hahaha).

Walau jadi "jongos dan kasir", saya tetap meneruskan hobi saya menulis cerpen dan surat pembaca ke media massa top. Jadi jongos di toko buku berbahasa Inggris bikin saya banyak ketemu pelanggan terkenal seperti Guruh Soekarno Putra, Adji Massaid, Adhie Massardi, dan banyak lagi. Bikin saya bisa membaca banyak buku impor secara gratis, mulai dari Ernest Hemmingway, John Steinbeck, John Grisham, sampai tuntas. Bikin saya melahap Time, Newsweek, Business Week, Reader Digest, Financial Times, Asian Wall Street Journal, Cosmopolitan, Harper's Bazaar, sampai The Economist dan Fortune

Dan ketika peluang buat menjadi jurnalis terbuka, saya siap 100%.

Ah sudahlah, kenapa jadi testimoni cengeng ngga jelas begini.

Intinya adalah, kalian 'adik-adik ketemu gede' yang masih bingung mau kerja apa, mau kuliah apa, gunakan saja hobimu sebagai acuan utama. Masalah duit juga bukan alasan untuk melupakan hobi dan cita-cita. Yang penting adalah niat, niat, dan niat buat mewujudkan impianmu. Dengan bekerja di bidang yang kamu impikan, tidak mustahil dari jongos bisa jadi bos. Sudah banyak bukti, lho!

Buat yang mau masuk dunia kerja, ada puisi inspiratif dari seorang penulis Filipina:

LOVE YOUR WORK

if you don’t like your work,
you’ll need three times the energy:
to force yourself to work,
to resist the force,
and finally to work.

if you love your work,
your desire to do it
will be like a wind
to propel your ship
with much less fuel.

if you like your work,
you work no more -
for work, when you like it,
is work no longer,
but sheer enjoyment!

if you enjoy your work,
you’ll work and work
without counting the hours –
and you’ll reap and enjoy
more earnings as well.

- H.L. Neri

Antara ITB, UI, dan Saya

Pernah suatu ketika saya ngobrol sama teman yang bukan alumni ITB maupun UI, nggosipin dua kampus ternama di republik ini sampai bibir kita item. Anak ITB itu blablablabla, anak UI itu ginigininigini. Lalu nyenggol dikit soal kampus lain kayak UGM dan IPB. Maaf, yang kampusnya ngga kesebut ngga usah iri. Nggosipin kampus-kampus terkenal memang asoy geboy, selama kita bukan bagian dari mereka.

Dalam obrolan itu, dibahas bahwa belakangan saya merasa dikelilingi orang-orang ITB dan UI. Mungkin ini yang namanya law of attraction. Jika mau dirunut, ceritanya zaman mau lulus SMA dulu saya harus berpikir mau kuliah kemana. Karena saya cuma bisa menulis dan menggambar, maka pilhan saya hanya dua: kuliah jurnalistik atau desain grafis. Buat jurnalistik dulu tekad saya sudah bulat mau kuliah di kampus bekasnya Iwan Fals, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) yang jurusan jurnalistiknya jadi semacam pabrik jurnalis sampai hari ini (Andy F Noya), tapi ada juga yang nyasar jadi selebriti lawak (Eko Patrio, Ulfah). Menggambar? Ya desain grafis ITB lah, apa lagi? Mau IKJ katanya mahal.

Ternyata saya terlalu malas buat ikut tes penerimaan mahasiswa buat kampus negeri (lupa apa istilahnya zaman itu, sebab gonta ganti mulu namanya). Kalo ngga salah saya malah nonton konser Metallica di Lebak Bulus atau konser apalah saya lupa. Jadi jelas ngga masuk ITB dong, daftar aja ngga. Saya langsung nyungsep di IISIP saja lah yang gampang masuknya ngga pake belajar apa-apa. Hihihi. Mau kuliah aja kok repot belajar.

Jadi selamat tinggal, ITB.

Ternyata sekian tahun kemudian, hidup saya malah berkutat dengan manusia-manusia ITB. Dari mulai rektornya, mantan rektornya, dosennya, mahasiswanya, alumninya, sampai anggota wali amanahnya. Mungkin gara-gara saya waktu jurnalis kebagian desk liputan sains dan teknologi. Jadi ketemunya Onno Purbo, Budi Rahardjo, Adinoto, Kusmayanto Kadiman. Lantas berurusan juga lah dengan teman-teman alumni sana model kayak Fahmi, Fajri, Husni. Ndilalah kantor saya terakhir juga bosnya wong ITB, Betti Alisjahbana, dengan rekan yang juga ITB. Eh, di luaran gaulan saya juga seputar ITB lagi, Wimar Witoelar, Fadjroel Rahman, dan sebagainya. Banyak lah segala hal yang menghubungkan saya dengan ITB. Beberapa klien juga ternyata jebolan kampus itu.

Yeah, ngga jadi kuliah di ITB tapi teman saya banyak yang ITB.

Nah, cerita dengan UI adalah, saya sering dikira alumni UI. Busjrut deh. Bisa jadi akibat saya tinggal di Depok atau apa ya, entah. Beberapa kali dituduh sebagau "anak UI", kalau saya ralat biasanya si penuduh jadi kecewa dari raut wajahnya. Waktu bedah buku saya setahunan lalu, semua peserta bedah buku sudah berharap saya anak UI. Waktu saya bilang, "Saya penah kuliah di IISIP", nada mereka yang awalnya antusias jadi agak down. Belasan kali kalau kenalan sama orang, juga dituduh sebagai anak UI.

Namun tuduhan-tuduhan itu ngga terlalu meleset juga, sebab memang saya banyak juga kenalan orang UI. Kantor pertama saya dulu senior-seniornya jebolan UI, pemred saya Aristides Katoppo, malah aktivis UI, juga beberapa sahabat seperti Carlos, Sulung, Adam, Adiseno, dan sebagainya. Ndilalah ya sekarang saya tunangan sama akademisi UI, yang keluarganya berhubungan dengan UI semua. Teman di FB sini juga yang UI seabrek-abrek.

Begitulah kisah antara saya, ITB, dan UI. Walau berasal dari kampus tidak terlalu ternama, saya ngga pernah minder bergaul sama mereka, justru merasa dekat dan menjadi bagian mereka.

Thanks ya buat temen-temen ITB dan UI yang berteman, menerima saya apa adanya sebagai diri saya sendiri, bukan karena embel-embel kampus saya.

Saya Menyebutnya Program S3 Sekolah Kehidupan...

Beberapa kali saya membaca semacam surat pengumuman resign teman dari tempat kerjanya. Sepertinya keren, dia menulis "Walau saya sudah tidak di perusahaan Anu, saya tetap bisa dihubungi di perusahaan baru saya yang bernama PT Anu, dengan jabatan baru saya sebagai Anu, blablabla.." Katakanlah, jabatannya lebih bagus, perusahaan barunya lebih besar, dan sudah pasti remunerasi lebih kinclong, serta masa depan lebih cerah ceria.

Dua tahun lalu saya pernah membuat email semacam itu, dengan judul "Akhirnya saya menanggalkan kartu pers saya", sebagai woro-woro bahwa saya sudah tidak bekerja di sebuah perusahan media cetak nasional lagi. Sudah pensiun sebagai jurnalis dengan kartu pers, dan resmi jadi Wartawan Tanpa Suratkabar (WTS), sebab saya lebih mengurusi website dan buku. Tapi ya kerjanya sama saja sih, seputar mewawancara, diskusi, dan menulis, mengedit.

Dan kini rasanya harus membuat lagi email atau pesan serupa. Mulai 1 Februari nanti saya sudah bukan karyawan perusahaan manapun. Kalau menurut filosofi hidup saya yang menganut "sekolah kehidupan" sih ini episode dimana saya mengambil program doktorat alias S3. Dulu S1-nya adalah ketika saya jurnalis di media nasional, lalu S2-nya ya kemarin itu waktu mengelola website dan lanjut menulis buku, mengedit buku orang.

S3 akan dimulai saat saya terjun bebas ke dunia bisnis. Karena berkaitan dengan tulis menulis, saya menyebutnya writerpreneur. Menulis buku, memandu orang menulis buku, mengedit, memediasi penulis ke penebit, menulis artikel di website sendiri, menulis note FB, modul training, mengurus konten website, yah seputar itulah. Masih tetap berkutat dengan huruf-huruf, hanya bedanya harus mulai akrab juga dengan angka-angka, biar ngga bego di dunia bisnis.

Agak susah bilang saya akan berkantor dimana, sebab sementara memang bekerja di rumah, foodcourt, kafe, kantor mitra bisnis, kantor klien, rumah klien, atau bisa jadi warnet kalau jaringan internet langganan saya lagi dodol. Jadi alamat saya ya di email, Facebook, YM, Twitter, dan Koprol. kalau lupa ya silakan search aja di Google, akan muncul lah website dan FB saya.

Agak bingung juga mengatakan apa jabatan baru saya. Dibilang bos, belum punya karyawan. DIbilang jongos, tapi menggaji diri sendiri. Yah, inilah saya tanpa embel-embel gelar, titel, jabatan apapun. Tapi alhamdulilah ya ngga ngemis ke siapapun, semoga jangan pernah.


Jadi, teman, tolong dukung saya secara moril saja, agar menjadi rakyat Indonesia yang tidak pernah korupsi atau tersangkut kasus apapun juga. Tidak pernah membunuh atau menipu rekan bisnis. Halah ngga penting deh ya. Hehehe.

Buat semua teman yang pernah bekerjasama dengan saya selama saya masih karyawan, saya ucapka terima kasih banyak. Ajeng, Anin, Yudhi, Lina, Dini, dan semua rekan-rekan kerja saya di kantor terakhir dimana saya terdaftar sebagai karyawan, PT. Quantum Business International, terima kasih banyak atas kesabarannya menyaksikan pola kerja saya yang ngga jelas bersama kalian. Thanks sudah memahami egosentris dan kecuekan saya pada pekerjaan, dan bersedia membantu saya.

PS: Kegiatan saya sementara bisa diintip di http://merry.netsains.com.

It's Complicated, But Not for Us (Women)

Buat para suami yang berminat meninggalkan istri dan anak-anaknya, demi menikah lagi dengan cewek muda, sexy, berbuah dada wow, silakan menonton It's Complicated. Kalian akan menyaksikan betapa Jane (Meryl Streep), istri yang ditinggalkan suaminya selama 10 tahun, begitu bahagia menjalankan karir, dengan anak-anak menjelang dewasa.

Sedangkan mantan suaminya, Jake (Alex Baldwin), pusing dengan istri muda cantiknya yang masih memiliki anak kecil, berusaha hamil lagi, memaksanya menjalani terapi kesuburan di usia menjelang 60 tahun. Ia yang mulai renta dan sakit-sakitan juga masih harus meladeni Pedro, anak dari istri mudanya yang super duper nakal, agak kurang ajar.

Ketika Jake bersua lagi dengan Jane, si mantan istri, untuk perayaan wisuda anak bungsu mereka, Jake melihat Jane begitu happy, bergairah. Akhirnya Jake jatuh cinta kembali pada mantan istrinya yang walau tua namun masih cantik, anggun, bahkan sexy. Dan terjadilah hubungan aneh itu. Jake selingkuh dengan mantan istrinya sendiri. Jane sendiri bingung, sebab ia juga tengah PDKT dengan Adam (Steve Martin).

Dibintangi 3 bintang papan atas yang sudah cukup veteran, film ini memang ditujukan buat mereka yang mulai berumur. Namun saya yang tergolong muda pun cukup terhibur dan menangkap makna yang tersirat. Adegan konyol di beberapa scene tak mengurangi romantisme di film yang disutradarai Nancy Meyer ini. Lebih dari itu, saya terpesona oleh akting polos Meryl Streep yang mewakili wanita usia 50-an yang keibuan, mandiri, mencintai karirnya, dan tetap cantik. Tak heran jika mantan suami dibuatnya memilih dirinya ketimbang istri muda berdada montok, nan sexy.

Jake yang sadar bahwa ia terlalu tua untuk meneruskan keluarga barunya, mendadak rindu pada keluarga lamanya. Mantan istri yang pintar memasak, keibuan, mandiri, membuatnya ingin kembali pada keluarga lama itu. Namun Jane memilih Adam, kekasih barunya yang juga sebaya. Jake menerima kenyataan pahit bahwa istri mudanya pun tak menginginkan lagi. Ia dicampakkan semua pihak di usia tua.

Film ini menohok ego para lelaki tengah baya yang di puber keduanya mengejar kepuasan seks dengan para wanita muda, melupakan istri dan anak-anak di rumah. Mereka dibuat sadar bahwa daya tarik wanita muda itu hanya sekilas. Lelaki usia 50-an yang terpesona pada wanita usia 20-an sehingga silap mata dan menikahinya, kelak akan berhadapan dengan fakta bahwa 10 tahun kemudian ia harus menanggung beban menafkahi dan mengurus anak-anak balita, dan cewek muda sexy tadi bertransformasi menjadi wanita usia 30-an yang emosionil, banyak menuntut, tak peduli pada kerentaan usia si suami usia 60-an. Dengan rambut beruban, si suami masih harus mengurusi popok bayi, menggendong anak-anak balita yang nakal, dan seterusnya.

Sementara mantan istri dan anak -anak yang ditinggalkan hidup bahagia dalam dunianya. Dunia yang berjalan normal.

Nah, para perempuan yang khawatir ditinggalkan suaminya kawin lagi, jangan takut. Dunia itu adil. Para suami yang tergoda cewek muda, silakan saja kejar ambisi birahimu. 10-20 tahun lagi, kau akan menyesal dibuatnya.

Jangan Remehkan Gosip!

Jangan remehkan gosip. Karena gosip, seorang lelaki terbunuh, seorang perempuan stres berat, dan seorang anak manusia hancur masa depannya. Itu yang kutangkap dari film Leo, dengan bintang utama Joseph Fiennes dan Elisabeth Shue.

Ini sebuah film psikologis, yang akan membuat pehobi film action mengantuk. Bukan yang pertama saya menemukan film dalam bentuk VCD original obralan ternyata berkualitas bagus, bermakna, jauh lebih bermakna dari film yang heboh di layar lebar Indonesia. Ya, VCD original berjudul Leo ini saya temukan di rak obralan sebuah pasar swalayan. Gocengan alias Rp. 5000 saja. Film lain yang juga saya nikmati dengan harga setara namun bermakna adalah Hamlet 2, Sixty Sx, Forgetting Sarah Marshal, dan Roomate.

Oke, kembali ke soal gosip. Hanya karena mendengar gosip suaminya yang seorang profesor selingkuh dengan mahasiswa, seorang perempuan menjadi stres berat. Dia membalas perbuatan suami, berselingkuh dengan tukang catnya. Ternyata suami tak terbukti selingkuh. Ia hamil.

Hmm kayak cerita sinetron? Tidak, sebab sutradara Mehdi Norowzian mampu menghadirkannya dengan apik. Plot cerita dimana Leo belum lahir ini disajikan bersamaan dengan plot ketika Leo sudah dewasa dan baru keluar dari penjara. Penonton awalnya tidak langsung paham bahwa ini adalah setting waktu yang berbeda. Dirilis tahun 2002, film ini memiliki aspek artistik memikat. Saya suka pengambilan gambarnya, musiknya, narasinya. Pemeranan karakternya juga luar biasa.

Lanjut ke soal hamil tadi. Istri yang dicekam dosa berselingkuh itu hidup bahagia. Sayang kebahagiaan berakhir ketika suami dan anak sulungnya meninggal dalam kecelakaan. Begitu mendengar kabar itu, langsung ia terbayang perzinahaannya dengan si tukang cat, lalu pingsan. Bayinya lahir dalam kondisi tak normal, paru-parunya tidak sempurna. Anak itu diberinama Leopold, dipanggil Leo.

Nah, sampai di sini penonton baru sadar bahwa plot lelaki dewasa yang keluar dari penjara lalu bekerja sebagai pelayan bar adalah anak yang dikandung perempuan ini.

Leo dewasa hidup dalam tekanan sebagai mantan napi. Dia pendiam, suka menulis, yang sudah dilakukan sejak dalam penjara. Ia berfantasi menulis surat pada anak kecil yang sesungguhnya adalah sosoknya sendiri di masa lalu.

Selama hidup dengan ibunya yang janda, Leo diperlakukan kasar. Ia dianggap sebagai anak hasil perzinahan dengan si tukang cat. Ibunya tak pernah menyayanginya, bahkan melarang dia kuliah walaupun Leo anak yang pandai. Sang ibu menjadi pemabuk, dan masih terus diganggu oleh tukang cat yang makin memperlakukannya dengan kasar. Di situasi itulah Leo tumbuh besar, di tengah kekerasan fisik dan psikologis yang dialami ibu oleh kekasih pemabuknya.

Puncaknya, menginjak usia 18 tahun, Leo kehilangan kontrol. Tepat di ulang tahunnya, si ibu mengkronfontir kekasih tukang catnya bahwa Leo adalah hasil perbuatan zinah mereka. Tukang cat tidak terima, menganiaya ibu Leo, bahkan mengancamnya dengan pisau. Saat itulah Leo datang, menghajar kepala tukang cat dengan penggorengan sampai berdarah, dan mati.

Jadi begitulah kisahnya Leo si pendiam yang semestinya bisa jadi penulis sukses, masuk penjara.

Anak siapakah dia sebenarnya? Anak suami resmi ibunya yang profesor, atau si tukang cat? Dari investigasi di pengadilan, diketahui si tukang cat mandul.

Hmmm, jadi semua penderitaan Leo hanyalah hasil dari rasa bersalah ibunya yang berselingkuh dan mengira Leo adalah hasil perzinahannya. Kenapa ia selingkuh? Karena gosip tetangga!

So, watch out, teman-teman. Gosip atau berita yang belum tentu benar dan beredar dari mulut ke mulut, mampu meluluhlantakkan hidup banyak orang. Hati-hatilah dengan gosip.

Ini Lebih dari Pekerjaan, Ini Hobi!

Freelance or full time? Why bother now. It's more than a job. It's a hobby. (Satya Witoelar)

Kata-kata itu saya temukan tak sengaja ketika sedang browsing data buat bab ke-2 buku yang saya garap. Sangat pas buat menggambarkan kondisi saya saat ini. Kondisi transisi, dari karyawan dengan side job, beralih menjadi pengangguran dengan aneka side job dan mencoba berbisnis.

Kenapa harus pusing apakah kita bekerja penuh atau hanya paruh waktu. Yang penting kita mencintai pekerjaan itu. Terlebih lagi jika itu adalah hobi yang bisa membuat kita mendapatkan income. It's more than a job, it's a hobby, demikian kata Satya.

Sepakat dengan dia, hobi itu derajadnya lebih tinggi di atas pekerjaan. Sebab hobi kita lakukan dengan sepenuh hati, passion luar biasa, panggilan jiwa, bukan semata karena materi. Kalau hobi itu bisa mendatangkan materi, akan lebih bagus lagi. Cintailah dia sepenuh hati!

Tidak semua orang bisa seberuntung itu. Tak semua manusia dapat bekerja sesuai hobi, atau menekuni hobi yang mendatangkan income. Untuk itu butuh perjuangan ekstra keras. Bekerja yang hanya asal bekerja demi mendapatkan income, itu mudah sekali.

Bekerja yang sesuai panggilan hati, memerlukan usaha luar biasa yang hanya bisa dilakukan oleh:

1. Orang yang beruntung. Di sini bisa berarti anak orang kaya, karena dia tak perlu pusing denan kebutuhan sehari-hari. Tinggal tekuni saja hobinya, lalu minta modal ke orang tua, dan buka bisnis sesuai dengan hobi itu. Atau bisa juga memang manusia yang dilahirkan genius, memiliki bakat luar biasa, sehingga hobi yang dia dalami langsung menghasilkan prestasi hebat dan mendatangkan profit.

2, Pejuang yang tak kenal mundur. Walau bukan anak orang kaya atau orang berpengaruh, jika punya tekad kuat dan perjuanga ekstra, maka dia pasti akan mampu mewujudkan impiannya untuk bekerja yang sesuai dengan hobinya.

Ya, saya termasuk kategori nomor 2. Saya bukan anak orang kaya, dan tidak genius. Hanya saya setengah mati berjuang mewujudkan cita-cita saya: bekerja sesuai dengan kata hati. Apakah saya sudah kaya? Secara materi belum, tapi secara batin..hmmm semoga saya bisa mensyukuri berkah ini. Dan berjuang lebih keras lagi, pastinya.

Apakah kamu masuk kategori nomor 1 atau 2, kawan?

Faktor yang Bikin Statusmu Laku Apa Ngga...

Seorang teman usul pada saya untuk menulis tips bagaimana status FB bisa banjir komentar. Kata teman yang hobi berdongeng soal geologi itu, ada temannya yang kalau bikin status selalu sepi komentar, sampai ia juluki sebagai fakir komentar.

Malah sang pakar geologi ini usul agar saya menulis buku khusus soal itu. Weks, pasti bukunya kecil mungil, tipis, dan dipajang bareng rokok di meja kasir, donk? Jadi saya tulis di sini saja ya. Ini bukan tips sih, tapi lebih ke faktor-faktor yang menyebabkan rame dan sepinya komentar di status. Tipsnya kapan-kapan ah, lagi males mikir yang susah-susah neh.

Ada beberapa faktor yang bikin status rame dikomentari:

1. Ente top apa ngga?

Walau status FB atau Twitter-nya cuma "Ahhhhhhh", "Cape deeeeeh", "Aduuuhhh", dan 1-2 kata ngga penting tanpa arti, jika ente memang ngetop, popular sampai ke Ujung Berung dan Bojong Kenyot, maka dijamin status FB/Twitter ente akan panen komentar.

Justru status yang hanya pendek dan nggantung itu bikin semua orang penasaran, menebak-nebak, sampai sudi berkomentar panjang lebar mengalahkan buku telepon panjangnya. Kalau bisa komennya ngga cukup sekali, tapi sahut-sahutan sama komentator lain, bahkan berantem dan perang panas. Tak heran, status ala kadarnya seperti , "Oohhhhh", kalau yang bikin orang top banget maka bisa memancing komentar sampai puluhan, ratusan, bahkan ribuan!!!

2. Ente cakep apa ngga?

Walau ngga ngetop, kalo memajang foto cantik/sexy/semlohai/ganteng di FB/Twitter, dijamin deh statusmu juga bikin orang sudi memberi komentar. Ngga usah bagus-bagus amat statusnya. Cukup kata-kata ngga penting semacam, "Aihhhh panasnyaaaaaaa", atau "Auuuwww ngga bisa bobo", atau bahkan cuma "Eheeeeemmmmmmmmmmm aaarggggg," dsb.

Beruntung kalo memang kamu sungguhan cantik/sexy/semlohai/ganteng, bukan cuma fotonya aja. Maka fans setiamu akan bersedia mengomentari statusmu 24 jam full.

3. Ente becus nulis ngga?

Becus nulis di sini artinya bukan jadi penyair atau editor atau novelis. Cukup becus dan mau ngetik status dengan jelas. Kalo ente udah kagak top, kagak cakep, eh nulis statusnya belepotan, males deeeeeeh.

Yang pasti jangan pake bahasa SMS disingkat-singkat atau kata anak sekarang bahasa Alay seperti: "W g mo capsus dl, katax da acr cool", atau "keknya w skt nie, ke t4 w dunk," atau "knp nge kt jd brantakan gn, slh sapa?".

Yeah, memang tetap ada yg komentar sih, walau hanya sebatas temen2 deketmu aja atau sesama umat pengguna bahasa brntkn ga jls yg bkn mls ksh komen. Weks, ketularan nih! Intinya, tulislah status yang mudah dipahami siapa aja, jangan cuma dimengerti oleh kalangan tertentu. Ya, pakai aja bahasa sehari-hari asal nyambung, ngga usah bahasa lebay atau alay. Tapi kalo situ masih merasa abegeh dan males gaul sama kalangan luas, ya monggo saja. Selamat ber-alay-ria! Ditunggu ya kabar berdirinya Republik Alay nan Lebay.

4. Ente becus pilih topik ngga?

Kalau topik yang lagi hot soal Bank Century, tau-tau ente baru pasang status topik terbunuhnya Noordin M Top, walah jadul amat? Pilih topik yang evergreen alias ngga bakal basi, atau sekalian topik yang memang belum banyak orang tau tapi keren, atau sekalian aja melucu, mengutip kata-kata orang bijak, jauh lebih aman daripada status sotoy (sok tau) tapi ternyata basi abis.

5. Ente rajin komen status orang juga ngga?

Maunya dikomentarin, tapi ngomentarin status orang kagak. Emang sih, teman kita yang triliunan jumlahnya tak memungkinkan kita komentarin satu-satu. Bisa kagak tidur dan makan dong? Minimal, ingatlah siapa orang yang rajin komen statusmu, lalu balaslah dia dengan mengomentari statusnya. Yah kalo ngga niat-niat amat bisa cukup klik "Like" aja, dia udah pasti suka.

Kecuali kalo ente ngetop dan semlohai seperti no 1 dan 2 di atas sih, aturan ini ngga berlaku banget ya. Tapi dari pengalamanku, banyak juga orang top dan cakep yang sudi membalas komentarku, lhooooooo.

6. Ente nyebelin ngga?

Nyebelin di sini, kelakuannya minus. Suka reseh sama status orang, komen yang menyerang, pasang status yang jelek-jelekin kalangan tertentu, sampe jualan kayak pedagang kaki 5 di wall orang. Manusia macam ini memang awalnya akan dibanjiri komentar, tapi komentar negatif pastinya. Dan sesuai hukum alam, orang yang nyebelin akan dijauhi. Boro-boro ada yang mau komentar di status orang nyebelin macam ini, ngga di-remove dari FB aja udah bagus lu!

7. Ente kapan pasang statusnya?

Kalo pasang status jam 2-4 malam, kecil kemungkinan akan ramai dikomentarin, sebab jam segitu kebanyakan orang pada molor. Paling yang komen ya temen yang tinggal di benua lain, atau sesama kelelawar. Atau pasang status pas magrib, lohor, jam makan siang, jam dimana orang cenderung cabut dari depan komputer dan agak males online di HP atau BB, sebab sibuk makan or sholat or jalan-jalan.

Kayaknya itu dulu, deh. Belum kepikiran yang lain. Lagian ngga pake mikir kok, cuma nulis seingetnya aja. Hehehe. Ada yang mau nambahin?

Penulis-penulis yang Membentukku

1. Pramoedya Ananta Toer

Gaya muramnya mirip dengan penulis Rusia, mendeksripsikan kondisi Indonesia di masa penjajahan, sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, bahkan masa masih berdirinya kerajaan. Mulai dari tetralogi Bumi Manusia, hingga kumpulan cerpennya yang dikompilasi jadi buku tebal "Mereka yang Dilumpuhkan", hingga "Gadis Pantai" yang tak usai, sampai "Panggil Aku Kartini Saja", "Cerita dari Djakarta", atau karya historisnya, "Arus Balik".

Sosialis realis? Itukah aliran yang diperkenalkan Pram padaku? Aku tak peduli apa nama alirannya Yang pasti dia adalah penulis yang paling membentuk pola pikir sosialisku, memihak ke rakyat kecil, karena memang bagian dari mereka. kemampuan Pram meramu perjuangan mereka, penegasan bahwa kemiskinan bukan alasan untuk menjadi bodoh, juga sikap tegas Pram membela emansipasi dalam Gadis Pantai membuatku kian mengagumi karyanya. Sayang, baru sempat bersua sekali dalam kondisi Pram sudah sangat renta, sebelum wafat. Tapi sudah membaca nyaris semua karyanya adalah kebanggaan tersendiri.


2. Jose Rizal

Hanya satu bukunya yang kubaca dan sangat berkesan sampai hari ini. Noli Me Tangere, yang dalam bahasa Tagalog berarti "Jangan Sentuh Aku". Kubaca dari perpustakaan SMP, terbitan Pustaka Jaya. Tebal sekali untuk ukuran anak SMP. Sampai hari ini aku tak pernah menjumpai buku ini di semua toko buku Indonesia. Bisa jadi dilarang beredar, karena kisahnya tentang anak kecil yatim piatu (kalau tak salah) yang dititipkan di gereja dan diperlakukan kejam oleh Pastor dan para biarawan di sana.

Kalau ada buku yang pertama kali menguras air mataku, sepertinya inilah buku itu. Aku berniat mencarinya, ah! Jose Rizal adalah presiden pertama Filipina. Ketika menulis buku ini, usianya baru 26 tahun! Dia juga seorang nasionalis sejati yang sangat dipuja di negerinya.


3. Soe Hok Gie

Catatan Seorang Demonstran (CSD), dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, hanya dua karya Gie yang pernah kubaca. Dan tentu saja CSD sangat membekas, Kubaca pertamakali zaman kuliah. Tidak membeli, tapi kubaca sampai tuntas di sebuah toko buku kecil daerah Margonda Raya, Depok (yang akhirnya rumahku ada di daerah situ sekarang!). Setelah bekerja, aku membeli buku itu dalam versi yang jauh lebih tebal da keren. Sejujurnya, aku lebih suka buku CSD versi pertama yang bersahaja, sebersahaja gaya seorang Gie. Di kala senggang, CSD tetap kubaca sampai hari ini sembari membayangkan semua adegan sungguhannya, bukan seperti dalam film karya Riri Reza.

Maaf Riri, film Gie besutanmu bagus, hanya aku sudah punya fantasi sendiri mengenai sosok Gie jauh sebelum kau memfilmkan mereka.


4. Arswendo Atmowiloto

Dia adalah Kiki dan Komplotannya, Imung, Keluarga Cemara, Senopati Pamungkas, Canting, Opera Bulutangkis (dengan nama samaran Titi Nginung), majalah Hai, tabloid Monitor, dan semua yang mewarnai masa kecil dan remajaku di masa lalu. Ia membuatku percaya bahwa menulis bisa menafkahi hidup, dan tingkat pendidikan formal bukan segalanya.

Semua yang dikisahkan Arswendo adalah kesederhanaan, membumi, namun tak lepas dari sisi intelektualitas dan estetika. Demi mempertahankan semua kesan itu, aku menolak untuk membeli buku-buku karya terbarunya. Biarkan aku tetap tenggelam dalam keperkasaan Senopati Pamungkas dan kebadungan Kiki, serta kecerdasan Imung. Maaf, Arswendo, aku tak mau membaca karya-karya barumu bukan karena tak cinta.


5. JD Salinger

Menyesal sekali mengenal Salinger sangat terlambat. Dan baru membaca satu saja bukunya yang luar biasa, Catcher In The Rye. Buku yang sempat dilarang beredar di Amerika karena memuat terlalu banyak kata makian ini baru kutemukan beberapa tahun silam dalam desain sampul yang menawan hati walau sangat minimalis. Aku langsung mengirim email pada penerbitnya, Yusi Pareanom, dan berucap terima kasih sudah menerbitkan dan menerjemahkan buku ini di Indonesia.

Konon yang kutahu, Salinger adalah penulis yang di hari-hari akhirnya menutup diri pada publik, tak sudi ditemui siapapun, hingga ajal menjemput. Yang menarik, kisah itu nyaris sama dengan cerita yang pernah kutulis waktu SMA, mengenai seorang penulis (diriku di masa mendatang dalam imajinasi) yang menyepi di pondok di kaki gunung hingga akhir hayatnya.

Salinger, are you there when I wrote the story?

6. Goenawan Mohammad

Hm yeah, harus kuakui, pernah tergila-gila pada semua Catatan Pinggirnya. Sampai menjual cincin emas peninggalan nenek demi memborong volume ke-4. padahal dulu itu masih SMA. Catatan demi catatan kubaca khusyuk serupa membaca kitab suci. Kuhapalkan. Kutandai bagian yang menarik, untuk dibaca ulang kelak. Lagi, dan lagi, dan lagi.

Ketika Tempo dibreidel, aku ikut berduka. Memutuskan tak lagi ingin jadi jurnalis, karena apalah artinya jadi jurnalis tanpa kebebasan menulis. Tapi akhirnya terbit lagi dan aku justru tidak kerja di Tempo. Karena entahlah, aku malas melamar pekerjaan. Selalu pekerjaan yang melamarku. Dan akhirnya sampai pada titik klimaks aku muak pada dunia jurnalistik. Bukan salah siapa-siapa jika aku tak mengidolakan GM lagi. Namun tak bisa dibantah esai-esainya di Catatan Pinggir sudah mirip ensiklopedi bagiku, terutama gayanya bertutur secara indah.

Ada juga nama-nama Seno Gumira Ajirdarma, Agatha Christe, Enid Blyton, Arthur Conan Doyle, NH Dini, Dee, Sidney Sheldon, Mario Puzo,, Maxid Gorky, Nikolai Gogol, yang banyak menghiasi hidupku. Tapi enam penulis di atas adalah yang paling berkesan buatku.

Bagaimana denganmu, kawan?

Sekolah Gratis Online Itu Bernama Netsains.Com

Ilmu pengetahuan itu semestinya bisa diakses gratis oleh semua orang.

Knowledge based society alias masyarakat berbasis ilmu pengetahuan sudah lama diwacanakan pemerintah dan orang-orang pintar negeri ini. Entah sampai dimana usaha mereka menuju ke arah itu, saya kurang paham. Sebab daripada nyinyir menggosipkan orang lain, lebih baik kita berjuang sesuai kompetensi kita.

Bagi saya yang setiap hari melihat anak-anak kecil mengamen di jalanan, mengemis, tidur di emper toko, tidak kenal sekolah, pengangguran merokok di pinggiran jalan, menggodai atau bahkan mencopet orang lewat, merasa bahwa mereka bisa hidup layak suatu hari nanti andai saja mengenyam pendidikan. Tidak selalu pendidikan formal, sebab yah kita tahu sendiri biaya pendidikan kian hari kian tak terjangkau rakyat kecil. Iklan sekolah gratis sudah pasti hanya ada di iklan atau entah apakah itu nyata, saya belum bertemu orang yang menikmatinya. kalaupun gratis hanya SPP-nya saja, sedangkan buku, seragam dan iuran macam-macam masih belum gratis.

Lupakan saja pendidikan formal buat anak jalanan atau mereka yang memang tak suka pendidikan formal, termasuk saya. Ya, sejak dulu saya benci sekolah. Tapi saya paham bahwa ilmu pengetahuan itu wajib dimiliki semua orang.

Mengembangkan bakat untuk menjadi kompetensi yang mampu dijadikan penghasilan hidup, adalah yang utama. Memang tidak semua minat bisa dikembangkan dari pendidikan formal. Untuk bakat seperti menyanyi, menulis, belajar bahasa asing, berbisnis, dan sejenisnya, okelah bisa kita asah tanpa pendidikan formal. Tapi bagaimana dengan mereka yang berminat di bidang fisika, biologi, kimia, matematika, yang pastinya harus didalami di pendidikan formal?

Untuk itulah kenapa saya menghadirkan nyaris semua cabang ilmu di Netsains.Com. Sains memang selama ini identik dengan ilmu eksak saja, biologi, filsafat, kimia, matematika. Orang lupa bahwa bahasa, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya juga bagian dari sains. Saya ingin membuat orang sadar bahwa sains sesungguhnya tak mengenal batasan eksak dan non eksak. Sains adalah segala pengetahua yang berhubungan dengan keseharian kita, kebutuhan kita.

Sampai hari ini ada sekitar 800 tulisan di Netsains.Com, dari beragam cabang ilmu. Penulisnya adalah ilmuwan, pengajar, mahasiswa, jurnalis, pebisnis, bahkan ada yang mentri dan guru besar. Semua berupa sharing pengalaman dan ilmu yang mereka miliki, sesuai dengan kompetensi dan minatnya. Dan jumlah itu akan terus bertambah, sebab kiriman tulisan dari para kontributor terus berdatangan tanpa henti.

Semua bisa diakses gratis, kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja. Cukup pilih saja apa cabang ilmu yang jadi minatmu, kamu bisa dapatkan di Netsains.Com.


Ketika mendirikan Netsains.Com dulu, tak terbayang web ini bisa menjadi semacam sekolah atau kampus online gratis buat siapa saja. Dulu tujuan saya hanya ingin agar semua orang sudi berbagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, lalu saya iseng mengkategorikannya ke dalam cabang-cabang ilmu. Siapa duga kini sudah nyaris 1000 artikel kami bagikan secara gratis, dari para kontributor yang luar biasa dari pelosok negeri. Merekalah dosen-dosen luar biasa Netsains.Com yang hanya bisa saya beri honorarium dalam bentuk doa dan terimakasih semoga amalnya membuahkan pahala.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Hadis Nabi Muhammad itu kami pegang teguh di Netsains.Com. Kami ingin web ini bisa memintarkan semua orang, memberi ilmu pengetahuan gratis tanpa henti.

Andai Tuhan mengizinkan, saya ingin kelak Netsains.Com bisa menjadi sekolah gratis online sungguhan yang diakui. Yah, sebuah mimpi di siang bolong. Sekarang cukup puas dulu menjadi sekolah gratis di dunia maya secara informal.

Boleh dong bermimpi?

Ayah Saya Tidak Terkenal, Hanya...Terhebat!

Ada beberapa teman tanya, kok mendadak saya nambahin nama Iskandar di belakang nama saya. Entah, mendadak saja saya sentimentil di akhir pekan kemarin. Teringat ayah yang kian menua di usia menjelang senjanya di Desa Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah sana.

Banyak orang menyertakan nama ayah atau nama keluarganya, dengan catatan jika nama itu bisa mendongkrak popularitasnya. Kalau kakek atau ayahnya terkenal, sebagai orang sukses, konglomerat, sastrawan ternama, presiden, politikus, penyanyi, penyair, apapun itu, maka seluruh keturunannya berusaha keras membawa namanya. Bahkan yang bukan keturunan langsung pun tak mau rugi mendompleng nama sakti itu.

Ayah saya memang bukan orang terkenal. Tapi dia sangat spesial buat kami anak-anaknya. Masa mudanya menyimpan sejuta pengalaman tak terkira. Wow, kau tak percaya kalau mudanya dulu ayahku mirip aktor jadul angkatan Roy Marten, Roby Sugara? Dia juga atlet binaraga berprestasi. Di rumahnya masih tersisa sejumlah foto-foto dia tengah beraksi mirip Ade Rai dan koleksi barbelnya tetap tersimpan. Ayahku juga seniman luar biasa. Dia pelukis naturalis sealiran Basuki Abdullah. Kau juga bisa melihat foto-foto merekam aktingnya di atas panggung ketoprak dan wayang orang.

Ada saat dimana saya tidak terlalu peduli dengannya. Banyak bahkan. Namun seiring waktu berlalu, kebanggaan saya sebagai putri ketiganya kian membara. Kami tak pernah tinggal serumah, asal kau tahu itu. Hubungan kami berbeda dengan kebanyakan hubungan ayah-anak. Tapi itu tak mengurangi rasa sayang dan bangga saya padanya. Dan menyertakan nama belakangnya di belakang nama saya hanya sebagai simbol rasa bangga saya padanya.

Tidak harus punya ayah terkenal kan untuk bisa menyertakan namanya di belakang nama kita? Yang jelas dia harus ayah yang hebat!

Bagaimana Saya Jatuh Cinta pada Sains

Sekitar 7 tahun lalu, sebuah SMS bertuit di ponsel Nokia sejuta umat saat saya di atas bus Metro Mini. Kira-kira bunyinya: "Mau ngisi rubrik Iptek dan Lingkungan di Sinar Harapan?". Itu dari Santi, istri Afandi, teman saya. Dalam posisi hanya sebagai penerjemah freelancer, mau dong ditawari yang berhubungan dengan menulis, di sebuah harian terkenal pula.

Sejak itulah saya kecemplung di dunia sains dan teknologi. Meliput jumpa pers Menristek, Mentri Lingkungan Hidup, peluncuran ponsel canggih terbaru, launching laptop gres, antivirus, server komputer, sampai ke pelosok kebun kapas transgenik di Sulawesi Selatan, ngintip badak kawin di pedalaman Lampung, bahkan menghadiri GSM World Forum di Cannes, Perancis, dan banyak lagi.

Awal liputan dulu, saya banyak bengong, kayak sapi ompong. Istilah teknis komputer, biologi, fisika, lingkungan, berseliweran di sana-sini, menuntut saya membuka Google dan WIkipedia sebelum berani menulis berita atau artikel feature. Kalau mewawancara ilmuwan LIPI, BPPT, BATAN dan sejenisnya, saya banyakan bingung, sebenarnya mereka ngomong apa? Untung kelamaan bisa nyambung juga.

Akhirnya jadilah saya mencintai bidang ini, sains, teknologi dan lingkungan. Ketiganya saling terkait, berhubungan dengan keseharian kita. Tantangannya adalah, bagaimana membuat sains dan teknologi bisa terus maju tanpa merusak lingkungan. Saya selalu menjadikan pemikiran itu sebagai acuan dalam menulis. Tidak ingin dicap sebagai pro pengrusakan lingkungan karena kemajuan teknologi. Sains sebagai penolong kerusakan bumi seisinya juga sering saya angkat sebagai isu utama tulisan feature saya saat itu.

Apa daya, tiga itu itu dianggap kurang menjual oleh media tempat saya bekerja. Dan akhirnya halaman khusus Sains dan Ilmu Pengetahuan dihapus total. Jelas saya patah hati!

Tak kurang akal, saya membuat Netsains.Com. Waktu itu hanya ide gila saja, ingin membuat web sains popular yang bisa menjembatani ilmuwan, pebisnis, dan pemerintah, serta publik umum. Ide ini saya bahas dengan Amir, yang saat itu masih menjadi asisten pribadi Pak Kusmayanto Kadiman, Menristek saat itu.

Lantas ada sejumlah nama terlibat dalam jatuh bangunnya ide ini. Sony AK, Syariful Anwar alias Kecoak, Mas Romi Satria Wahono, I Made Wiryana, Muhamad Sutiyadi, Bona Simanjuntak, Moses Kurniawan. Netsains.Com mengalami pasang surut, pergantian personil, desain, program. Akhirnya Soetrisno dan Didik Wicaksono datang membantu saya, sampai hari ini. Dua teman yang memahami passion saya, dan semoga bisa awet dalam kerjasama ini.

Semua yang berhubungan dengan Netsains.Com dikerjakan secara volunteer, bermodalkan semangat dan dukungan dari teman-teman. Pak Kusmayanto alias KK, Menristek ketika itu, sangat membantu dengan mempromosikan Netsains.Com ke banyak pihak. Lantas bermunculanlah nama-nama kontributor seperti Hosea Saputro Handoyo, Arli Aditya Parikesit, Ilma Pratidina, Dewi Retno Siregar, bahkan Kang Onno W Purbo!

Waktu berlalu, jumlah kontributor makin banyak. Hits dan trafik web kami kian menanjak. Puncak prestasinya adalah ketika menjadi wakil Indonesia ke World Summit Award 2009 kategori E-Science. Walau akhirnya tidak menang, kami tetap bangga.

Kini Netsains juga punya rubrik TANYA DOKTER, konsultasi kesehatan gratis yang diasuk Dr. Dito Anurogo dan Dr Muchlis Achsan Udji Sofro. Iklan terus ramai, walau hanya bisa membiayai operasional web saja. Setidaknya biaya server dan hosting mulai tertutupi.

Secara materi, saya memang tidak mendapat apapun dari Netsains.Com. Namun saya jadi kenal dengan banyak ilmuwan Indonesia yang luar biasa. Haryo Sumowidagdo, Hosea Saputra Handoyo sendiri, Merlyna Lim, Roby Muhamad, Gea O Parikesit, Arli Aditya Parikesit, Hawis Madupa, Terry Mart, Rovicky Dwi Putrohari, dan pastinya banyak lagi nama lain yang tak mungkin saya sebut satu-satu di sini. Dari mereka saya belajar banyak hal, dan untungnya juga bisa ngobrol dengan asyik walau pendidikan saya tak sehebat mereka.

Tidak hanya orang-orang besar, saya juga bersua sejumlah teman-teman yang walau bukan ilmuwan tapi juga punya pengetahuan luar biasa, seperti Jaki Umam, Ferdy Sandika Tri Setya, Fajar Ramadhitya Putera, dan banyak lagi.

Tantangan saat ini adalah bagaimana agar semua ilmuwan dan sumber daya manusia berpotensi Indonesia bisa membantu bangsa kita bangkit dari keterpurukannya. So far saya baru bisa melakukan publikasi opini dan sharing pengalaman mereka, meng-update berita sains dan teknologi dari luar, mengadakan acara kecil-kecilan buat saling memperkenalkan mereka satu sama lain, berbagi info beasiswa, juga menulis buku-buku dengan tema sains populer. Baru itu yang bisa saya lakukan. Belum berarti banyak memang.

Kira-kira itulah latar belakang kenapa saya mencintai dunia sains, dan menjadi penulis sains, walaupun saya bukan saintis.
Semoga kalian memahaminya. Atau mungkin kalian ingin membantu saya dalam proyek idealis ini?

PS: Oh ya, saya sudah tidak di Sinar Harapan lagi sejak 2 tahun silam. Tapi Netsains.com tetap berjalan. Berkat Sinar Harapan juga saya jadi jatuh cinta pada dunia sains, walau halaman sains sudah dihapus dari koran itu. Thanks buat Mas Adiseno, Sulung, dan Santi, rekan2 saya sesama penulis sains di sana dulu.

Masa Muda Itu Indah, Kawan!

Tidakkah masa muda itu indah, kawan?
Tak kenal lelah, tak kenal takut
Tak pernah pikirkan apa jadinya nanti
Yang penting detik ini harus terlaksana

Tidakkah usia belia itu mengagumkan, kawan?
Menggempur debu
Menembus hujan deras
Melawan segala yang perlu dilawan

Dan kini di usia kepala 3, kita baru sadar itu semua
Kenangan masa belia dulu tak boleh lekang di ingatan
Sebab kita masih butuh spirit usia muda itu
Buat melaju ke lembaran hidup berikutnya

Buat teman-teman SMA Negeri 3 Tanjung Karang. I LOVE YOU FULL!
Jangan ada yg jadi koruptor ya!

Kawan, Kamu Mau Jadi Sapi atau Burung?

Di SMP dulu, saya pernah bermimpi jadi gitaris. Jadilah saya kursus gitar klasik. Salah satu lagu wajib belajar memetik dawai gitar adalah lagu Donna Donna-nya Joan Baez.

Lagu itu kembali top waktu film Gie diputar di bioskop. Lalu diperdengarkan lagi belum lama ini di Kick Andy, ketika mantan bos saya, Aristides Katoppo, sahabat almarhum Soe Hok Gie, hadir sebagai narasumber. Di bagian akhir acara, lagu itu dilantunkan.

Lagu sangat lawas tentang petani dan sapinya. Saat beban hidup terasa berat, kita sering mengeluh dan mengeluh tiada henti. Kupikir, Tuhan pun pasti akan pasang iPod demi agar tidak mendengarkan keluhan kita yang sangat membosankan. Lirik lagu balada ini seolah menyadarkanku agar tidak jadi sapi yang banyak mengeluh.

"Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“

Aku ingin jadi burung yang terbang bebas, bukan sapi pengeluh.
Bagaimana denganmu, kawan?

Jadi burung apa sapi?

Catatan di akhir tahun yang berat, menjelang tahun yang (sepertinya) lebih berat.

Lagi, Tentang Passion

“Bekerjalah sesuai passion-mu,” kata kebanyakan orang.

Menurut kamus Merriam Webster, passion adalah emosi kuat yang terkontrol; antusiasme.
Saya mengartikannya sebagai keinginan yang sesuai dengan kata hati.

Masalahnya adalah, suatu hal yang kita sukai, jika sudah menjadi sebuah pekerjaan, maka kita tidak akan terlalu menyukainya lagi.

Contoh paling mudah adalah yang saya alami. Dulu, sebelum menulis menjadi sebuah pekerjaan tetap, saya melakukannya dengan semangat tak terhingga. Pernah berminggu-minggu mengurung diri dalam kamar demi menuntaskan sebuah cerita serial yang akhirnya tak pernah dipublikasikan. Lalu membuat dummy majalah dengan segenap jiwa raga, tanpa saya perlihatkan ke siapapun. Tanpa ada sepeserpun uang dari situ, namun saya melakukannya dengan penuh kesungguhan seolah menyangkut hidup atau mati.

Lalu muncullah semua peluang itu, bahwa saya bisa hidup dari menulis. Menjadi jurnalis, menulis berita atau artikel feature dan mendapatkan nafkah dari situ. Masih kurang, saya juga menulis buku, mengedit, memoles naskah orang, ngeblog, membuat web, dan seterusnya. Sampai hari ini. Apakah semua itu saya lakukan sesuai passion? Mungkin ya, sebagian.

Selama menjadi jurnalis enam tahun lebih, tidak semua berita dan artikel yang saya tulis adalah yang saya sukai. Sama seperti seorang koki, tak selalu masakan racikannya adalah favoritnya. Ada saat dimana kita menulis bertentangan dengan suara hati, harus menyesuaikan diri dengan keinginan atasan. Selama bertahun-tahun saya mencoba bertahan, sebab masih memerlukan income bulanan. Sebagai kuli tinta, jurnalis tak selamanya bisa menulis sesuka hati. Harus ada kompromi di sana-sini. Dan akhirnya saya pun tak tahan lagi. Kartu pers saya gantungkan sejak dua tahun lalu.

Menulis tetap menjadi nafkah utama walau bukan jurnalis lagi. Saya dipercaya menjadi editor sebuah website anyar. Di luar itu saya masih menjalankan web saya sendiri yang lebih bersifat non profit, juga lanjut menulis buku, mengedit naskah orang. Kelamaan ada satu kekuatan mendesak-desak dalam diri saya untuk berhenti mengikuti passion orang lain, terlebih passion itu tak seirama dengan passion saya. Yang saya maksud di sini adalah saya tidak memiliki kesamaan passion dengan pemilik website baru dimana saya menjadi editornya. Passion saya justru lekat pada web saya sendiri yang belum menghasilkan finansial terlalu banyak. Ah, ini salah satu bukti bahwa memang uang bukan segalanya.

Setahun, dua tahun, berlalu sudah. Masihkah saya akan terus mengikuti passion orang lain dan sedikit menelantarkan passion saya? Tidak. Rasanya cukup. Di penghujung tahun ini saya harus mengambil keputusan penting.

Sampai kapan kita harus terus menerus mengikuti passion orang lain? Sampai rambut beruban dan tubuh bungkuk? Atau sampai penyakit tua menggerogoti kita?

Hidup manusia itu singkat, kawan. Dulu manusia punya harapan hidup sampai 100 tahun, kelamaan menyusut jadi 80 tahun. Dan di zaman serba canggih namun polusi kian marak dan lingkungan makin cemar serta penyakit tambah banyak ini, bisa hidup hingga usia 60 tahun dalam kondisi sehat walafiat saja sudah sebuah berkah tiada tara. Usia saya kini udah 30-an. Artinya sudah setengah dari usia harapan hidup manusia rata-rata. Jika di usia ini kita masih terus mengikuti passion orang lain, bisa jadi selamanya seperti kerbau dicocok hidung. Lantas, kapan saya bisa mengikuti passion saya sendiri 100%?

Jadi keputusannya sudah bulat, saya akan mengikuti passion sendiri secara total.

Ada keasyikan tersendiri bermain dengan kata, kalimat, bagaimana memadukannya dengan ide, opini, pengalaman, informasi. Ada tantangan khusus bagaimana menyulap naskah ala kadarnya menjadi menarik, layak dibaca, bahkan layak diterbitkan sebagai buku. Atau bagaimana sebuah tulisan teknis super ilmiah yang bikin jidat berkerut saya ubah menjadi sangat nyaman dicerna siapa saja.

Menulis juga sebuah aktivitas yang sangat menantang. Bayangkan, dari sebuah halaman kosong putih melompong, bisa menjadi sebentuk buku dengan susunan kata terstruktur, ilustrasi yang pas, sampul menarik, berisi informasi atau kisah tersendiri yang dapat kita bawa kemana-mana. Sangat menantang, bukan? Sejumlah buku yang kamu baca atau lihat di rak-rak toko tak lain dan tak bukan berawal dari lamunan belaka, yang kemudian dimatangkan, dicurahkan dalam kata dan kalimat, lalu disusun, di-setting, dicetak, dijilid, kemudian dijual., dan berakhir di pangkuan pembacanya. Sebuah proses yang tak pernah bosan saya amati.

Passion itu selama ini hanya menjadi sampingan saja, side job istilahnya. Kini saya beranikan diri untuk menceburkan diri sepenuhnya.

Merry & Associates, adalah nama yang pernah dicetuskan almarhum sahabat saya, Lendy Widayana. Silakan googling saja jika ingin tahu siapa dia. Di suatu sore di sebuah kedai kopi beberapa tahun lampau, almarhum menyemangati saya untuk memakan nama itu jika kelak saya membuka sebuah bisnis. Dulu, saya tak yakin berani memakainya, sebab siapa sih saya ini? Apa iya nama saya cukup menjual? Hari ini, setelah menerbitkan sejumlah buku, membantu sejumlah penulisan buku orang lain, mengelola web milik sendiri, dengan yakin saya menjawab, “Ya, saya yakin.”

“Lu itu kelewat pede,” celetuk seorang teman pada saya beberapa tahun lampau. Mungkin betul juga, modal saya adalah pede, percaya diri. Siapa saja yang sudah punya kemampuan, namun tidak pede, maka sia-sialah kemampuan itu.

Karena saya fokus pada bisnis bidang penulisan, editorial dan mediasi ke penerbitan buku, maka saya menambahkan embel-embel Writing Consultant di belakang nama tadi. Ya, Merry & Associates Writing Consultant. Melayani segala hal yang berhubungan dengan tulis menulis. Mulai dari penulisan buku, penyuntingan naskah, mediasi ke penerbit. Printian lain, kami juga menerima pembuatan script komik, iklan, company profile, pers rilis, dan sebagainya. Merry & Associates juga memiliki jejaring lumayan luas di kalangan penulis, komunitas media, ilmuwan, dan banyak lagi. Mengadakan pelatihan menulis atau jurnalistik, seminar, workshop, adalah bagian dari bisnis kami juga.

Anda tertarik untuk bekerjasama dengan kami di bidang tulis menulis?
Hubungi saja:
Merry & Associates Writing Consultant
http://merry.netsains.com
merry_magdalena@yahoo.com

Dilihat Boleh, Disapa Jangan (Kalo ngga level)

Ada fenomena menarik seiring dengan kemajuan teknologi belakangan ini. Katanya teknologi itu untuk mempermudah segala hal, termasuk komunikasi. Tapi kini justru teknologi mempersulit komunikasi.

Ngga percaya?

Dulu, ketika beri hitam alias Blackberry alias BB belum merangsek ke Indonesia, saya merasa sangat terbantu dengan Yahoo Messenger (YM). Komunitas dunia maya pasti juga sudah tak bisa lepas dengan YM ini, dimana kita bisa ngobrol, curhat, nggosip, bahkan transaksi bisnis dan wawancara orang secara langsung begitu terkoneksi ke Internet. Kalau ada hal penting, ngga usah susah-susah memencet tombol ponsel dan rugi pulsa, tinggal online saja dari kantor atau mana saja, siapa tahu orang yang kita butuhkan sedang online.

Di YM ada status pilihan: Busy, Available, dan seterusnya, yang menjadi notifikasi dimana user-nya mau diganggu atau ngga mau. Dari situ saja kita sudah paham siapa teman kita yang sudi diajak ngobrol apa ngga.

Lantas muncul aplikasi Mobile YM, dimana YM ditemplokkin ke ponsel. Asyik juga, sebab bisa chatting dimana saja, kapan saja, bahkan sambil tiduran dan leyeh-leyah tanpa harus buka laptop. Irit batre. Di zaman ini, saya masih bisa menyapa teman-teman via YM. Hanya kalau ketahuan mereka lagi sibuk , paling balasannya lama. Ya bisa dimaklumi, siapa tahu lagi nyetir mobil atau meeting, hanya iseng nyolong-nyolong ol di YM..hehehe.

Nah, sejak BB alias berihitam menjadi euphoria, dan ia menyertakan YM di dalamnya, maka banyak pengguna BB yang tetap ol di YM 24 jam tanpa peduli dia lagi beol, bobok, kencan, dimarahin bos, nguras kolam, atau nyuci spre bekas ompol anak. Intinya, dia kelihatan ol di YM, tanpa status apapun, tanpa notifikasi dia lagi sibuk apa memang rela dikirimi spam apa mau diajak nggosipin bos yang lagi bisulan.

Penuh misteri. Hanya dia ol, itu saja. Kalau disapa, jawabannya bisa 24 jam setelahnya, atau bisa juga langsung namun hanya jawaban basa-basi sekenanya.

Makin lama makin banyak teman YM sejenis itu. Kalau kutanya, "Kok lama jawabannya?" Mereka bilang, "Maklum Mer, ol dari BB, ngga bisa langsung jawab dan aku sambil sibuk macem-macem."

Ohhh pahamlah saya.
Mereka pemilik BB ini ol di YM secara sengaja 24 jam dengan pesan implisit:

"Saya sudah tambah canggih sekarang, ol 24 jam dari BB. Tapi jangan harap saya ada waktu chat sama kamu, sebab saya sekarang manusia super sibuk. Waktu adalah uang! Uang buat bayar kreditan BB ini dan BB-BB lain yang akan saya beli untuk seluruh anggota kerluarga saya, bahkan juga saya harus kerja keras buat menyediakan budget membeli BB terbaru yang akan segera dilauncing. Jadi, jangan harap saya jawab YM kamu dengan segera seperti dulu ya. Kasian deh kamu, belum gablek BB, jadi kerjanya chatting mulu di HP jadul dan laptop! Saya hanya mau melayani sesama pengguna BB. Jadi kamu bisa chat sama saya kalo sudah punya PIN BB! "

Yang Tercecer, Depok-Leipzig

Ingatkah kau

Di antara capuccino, dan vanila ice
Kita pernah terbenam dalam debat soal Plato, Marx, Nietczhe
Sampai ke teori Pangea, hubungan antara etnis dan tingkat intelejensia suatu bangsa
Dan kita pertanyakan terus
Bagaimana agar Indonesia bisa agak maju atau justru tak pernah bisa maju
Lalu kutawarkan cuci otak para pemimpinnya
Menculiknya ke Puncak atau apalah dan disana kita hipnotis dengan dogma-dogma

Dan kita terngakak bersama

Ingatkah kau

Email-email kita dulu sama sekali jauh dari romantisme
Justru membahas Hitler, Nazi, sampai Yahudi dan Zoroaster, serta konsep surga-neraka yang diwariskan nabi Persia itu
Atau bagaimana membuat semua agama kembali bersatu dalam kesamaan ideologi Zoroaster

Dan kita terbahak bersama

Tahukah kau

Di sampingmu, aku merasa sebagai perempuan tercantik dan terpintar di dunia
Seolah jagat raya ini adalah kekuasaan kita
Kau raja dan aku permaisurinya
Mengatur semaunya
Persetan semua orang

Dari kafe mahal di mall sampai warung kopi pinggir jalan
Politik dunia, negara, filosofi basi, kepalsuan duniawi, kedokteran, sampai asal muasal bumi dan seisinya, kita blejeti
Dan akhirnya hanya satu yang kita mau
Bersama selamanya
Persetan dunia mau jungkir balik beserta semua pemimpin dan rakyatnya

*menelangsa dicekam rindu Depok-Leipzig*

Facebookhood, Begitu Saya Menyebutnya

Waktu join FB dulu sebenarnya hanya penasaran saja, apa iya lebih oke dari FS? Eh ndilalah malah FS terlupakan sudah, passwordnya lupa, link-nya juga lupa. Kini tiada jam tanpa FB. Sampai akhirnya menemukan manusia-manusia yang kadang sejiwa, kadang nyebelin, atau awalnya nyebelin, eh lama-lama asyik juga. Ada juga yang sebaliknya, awalnya asyik tapi kelamaan kok kurang ajar minta di-remove. Hahaha.

Saya juga ikut Twitter, tapi malas karena kok ngga variatif. Cuma bombardir teks pesan sama foto kecil saja. Sebagai orang yang hobi nulis dan mempublikasikan tulisan, link web sendiri, kadang foto, Twitter kurang mengakomodasi diri saya. Jadi saya masih cinta FB-lah daripada Twitter.

Efek psikologi ikutan FB baru saya sadari belakangan ini setelah iseng menganalisa. Eh ternyata teman-teman FB saya sangat variatif. Ada yang politisi, mahasiswa, aktivis, seniman, orang media massa, penulis, penerbitan buku, musisi, pegawai negeri, anak SMP, SMA, pengangguran, artis jadul, artis masa kini, anggota DPR, caleg, kartunis, programer komputer, hacker, CEO, office boy, ibu rumah tangga, dosen, guru, waduh banyak banget! Usia mereka antara 14-55 tahun, kalau tak salah.

Di FB ini saya menemukan beberapa teman seideologi juga. Ada beberapa teman yang sudah pernah bersua, banyak pula yang belum sama sekali namun sudah merasa sreg berteman. Ada yang jauh usianya di atas saya, sepantaran, atau jauh lebih belia.

Yang lebih tua itu saya anggap para om, tante, mas, mbak, kakak, tempat saya bisa bertanya banyak hal yang saya belum mudeng. Mereka dengan pengalaman dan kompetensinya bisa dijadikan teladan. Status mereka ini biasanya sangat inspiratif, memberi masukan berharga. Kalau baca status teman yang lebih tua dan berpengalaman di bidangnya, saya kerap membatin, "Ohhh benar juga ya.." atau "Ooooo begitu ya ternyata...baru tahu saya." Intinya, para teman yang lebih mapan ini memacu saya untuk bisa sehebat mereka kelak.

Lantas teman sepantaran, yang usianya kira-kira samalah dengan saya..berkisar 6 tahun lebih muda sampai 3 tahun lebih tua. Dengan mereka ini saya serasa punya teman seperjuangan. Pada usia yang kurang lebih sama, kami merasa mewakili generasi yang sama. Enaknya, kita bisa berbagi ide, sedikit bernostalgia tentang masa lalu: musik, buku, film, makanan, fashion yang sezaman. Pada teman sepantaran kita bisa cela mencela tanpa risih, ledek-ledekan, mulai yang sok sopan sampai paling ancur. Dan kalau ada oknum yang macam-macam, kita bisa saling dukung. Oh indahnya.

Eits, saya juga punya teman-teman yang saya juluki sebagai para adik di FB. Mereka ini pelajar SMP, SMA, dan mahasiswa, atau yang masih fresh graduate atau bekerja tapi masih belum lama. Weleh, ternyata bergaul sama mereka ini membawa angin segar tersendiri. Saya jadi tau apa itu capcus, lebay, bahasa alay, apa saja yang lagi tren di mereka. Para teman usia belia membuat saya terkenang pada masa seusia mereka yang gila abis, meletup-letup, produktif, emosionil, narsis, ngototan, dsb dsb. Ah, sebuah semangat muda yang tiada tandingannya dalam sejarah hidup manusia deh. Mereka kadang share dengan saya mengenai karya-karya mereka, sekedar curhat, atau tanya ini-itu sedikit tentang profesi saya. Aih, sungguh para adik yang lucu.

Facebookhood, demikian saya menyebut semua relasi pertemanan ini. Bukan saudara, sahabat, kerabat, atau apapun itu, namun kami memiliki ikatan walau hanya di dunia cyber. Ikatan pertemanan yang bisa saja kelak menjadi teman sesungguhnya di dunia nyata. Ah semua gara-gara Mark Zuckerberg!

Bagaimana dengan kamu?

Cerpen tahun 2002: The Punk Couple

Wow, cerpen ini umurnya sudah 7 tahun! Ya, cerpen bergaya punk ini kutulis tahun 2002, saat aku belum kenal Rosa Liksom, cerpenis punk asal Finlandia. Tapi setelah aku mengenalnya beberapa waktu kemudian, kutemui kami memiliki banyak kesamaan gaya.

Waktu menulisnya dulu, aku berusaha memberi kejutan di akhir cerita. Entah sukses atau tidak. Di cerpen yang belum pernah terpublikasikan di media manapun ini, kuharap kejutan itu bisa sedikit mengejutkan pembaca. Nah, tolong komentari ya apakah kalian terkejut dengan bagian akhirnya. ****


The Punk Couple

Merry Magdalena


Dari jauh sudah kukenali kepala botak mengkilap Si Rix. Diterpa sinar matahari berkilatan mirip lampu bohlam kuning menyala. Matanya menyipit menahan terik matahari. Ia berjalan gontai dengan tubuh begengnya. Dan ia bangga betul. Tidak jarang ia menahan lapar untuk menjaga kekerempengan tubuhnya.

“Anax punk gax pantez gemux,” argumennya dalam bahasa kami.

Ada Inggris British dan Inggris Amrik. Kamu pun menciptakan Indonesia British. Maksudnya, bahasa Indonesia yang dibuat aksen Bristish. Kami memakainya saat ngobrol antara kami saja. Kelamaan jadi terbiasa dan kami gunakan pula ketika ngobrol dengan orang di luar kami.

Aku sendiri tengah meratapi cat rambut unguku yang mulai luntur. Beli lagi berarti uang lagi. Tapi Onix punya formula jitu membuat cat minyak jadi cat rambut awet lagi aman. Entah bahan kimia apa ditambahkannya pada cat minyak agar bisa jadi enak jatuh di rambut. Ia sudah buktikan dengan memakaikan sendiri cat minyak warna hijau ke rambut landaknya.

“Boleh zuga,” komentarku.
“Cobha saza. Zamin gax nyesals, dech!”

Sore itu kami kumpul di Loronkz Punx, sebuah lorong kecil diapit dua gedung megah. Lorong yang menjadi ‘jalan cacing’ bagi penduduk daerah situ. Lorong dimana ada penjual majalah, CD bajakan hingga berbagai aksesoris. Lorong tempat anak punk kumpul tanpa diganggu pandangan mata aneh.

Rix ternyata bawa Psichedelic, majalah punk Eropa yang entah ia dapat darimana. Biasanya sih hasil meng-hacker*. Kami langsung mengerumuninya seperti semut melihat gula. Teman kami lain yang semula asyik menjajal-jajal CD bajakan ikut membanjiri Psichedelic .

* * *

Aku tahu kalau usiaku tidak lagi bisa dibilang muda. Maka tidak heran kalau ibuku terus bercuap-cuap sepanjang aku berada di rumah. Ia mengeluh soal rambut pink-ku yang belum lama kucat lagi jadi ungu. Belum lagi kicauan tetangga nyinyir usil soal teman-teman dan pergaulanku. Untung aku bekerja di sebuah perusahaan iklan yang membebaskan karyawan berbusana aneh-aneh selagi masih dinilai sopan. Jadilah aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengenakan jeans rombeng . Tapi anting di hidung dan jaket kulitku diizinkan. Thanks God!

Kicauan ibu bukan sebatas cara dandan dan teman-temanku, namun merembet ke soal perjodohan dan pernikahan. Huek. Mau muntah aku mendengarnya. Katanya aku ini perawan tua salah gaul dalam dandanan orang stress . Gila betul ibuku, tega nian mengataiku demikian keji. Dia tidak tahu bahwa obsesiku untuk sebesar Patty Smith** dan Cyndi Lauper belum kesampaian sejak dulu. Dia tidak paham bahwa aku serasa hidup di dekade 1970-an di kawasan kumuh Amrik kalau sudah kumpul dengan teman-teman di Loronkz Punx. Aku jadi lupa kalau hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis sumpek yang tak pernah menghargai puisi.

Di lorong itu pula aku bertemu teman-teman sealiran , seidealisme. Bisa diajak ngomong panjang lebar tentang Iggy Pop***, David Bowie, Andi Warhol, Basquiat**** sampai dengan kisah kasih Sid dan Nancy. Kami sempat punya band bernama ‘The Punxters’ yang kini tak pernah manggung lagi karena kesibukan kerja.

“Kamu sedangs apa, Nox,” suara Dex mengagetkanku. Malam minggu ini seperti biasa kami habiskan keliling kota berdua saja. Kami akan jalan-jalan atau sekedar nongrong hingga kelelahan dan berakhir di sebuah hotel murahan langganan kami.
Kupandangi wajah tirus Dex, lelakkiku dalam dua tahun belakangan ini. Sepintas ia mirip Sid Vicious*****. Karena itu juga mungkin aku dulu suka dia. Tapi aku sama sekali tak berminat punya kisah kasih mirip Nancy.
Ia mengepulkan asap rokok ke arahku, pertanda meminta jawaban segera. Aku terhenyak tak tahu harus bicara apa. Dex bukan tipe lelaki yang ingin cepat menikah. Aku hanya ingin bilang bahwa ibuku mengataiku perawan tua. Padahal sama sekali aku sudah tidak perawan, hahaha!

“Tidak apa-apa. Zuma melamun aza. Zampai kapan zinta kita terealisasi zebatas kamar hotel ini, ?”
Aku sendiri kaget dengan kelancaran kata-kata itu. Dex tidak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat
.
“Kau kira zinta kita zuma zebatas kamar ini? Crazy!”

Lelaki kerempeng itu seperti kebakaran jenggot. Ada kemarahan di wajahnya.
Aku coba tidak peduli. Terus saja mengelagut sendiri. Aku tidak mau menyebut satu kata yang dibencinya, pernikahan.

“Aku tetap zinta kamu walau tidax dalam kamar hotel ini, Nox. Camkans itu!”

Aku paham betul maksudnya. Bahwa ia mencintaiku bukan cuma untuk bergelut di atas ranjang. Namun ia seolah tak mau mengerti bahwa sebagai perempuan aku juga butuh status jelas selain sebagai pacar yang bisa diajak tidur di hotel murahan setiap birahi memuncak.

Dex punya enam bersaudara dari bapak dan ibu berbeda-beda. Bapaknya kawin dua kali, begitu juga ibunya. Kemauakannya terhadap institusi pernikahan muncul dan berkembang sejak ia menjelang pubertas. Dalam usia semuda itu ia sudah menyaksikan ratusan bahkan ribuan kali pertengkaran dua bapak dan dua ibunya. Ada semacam dorongan kuat di batin Dex untuk tidak menciptakan sebuah keluarga. Adalah dosa membentuk sebuah keluarga besar tanpa setitik kebahagiaan.

Di awal hubungan kami dua tahun lalu ia sudah utarakan itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menikah. Hari-hari pacaran kami bisa diisi dengan mendengar musik, baca buku, nonton film atau bercinta. Tapi tidak untuk membicarakan rencana pernikahan. Dan kenyataan itu baru mengusikku belakangan hari ini.

* * *
Sore menjelang malam minggu. Musik berdentam keras dari dalam kamar. Suara Nena Hagen menjerit-jerit seperti tikus terjepit pintu. Aku suka. Perempuan Jerman anti kemapanan dan meneriakan revolusi melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, malam ini aku janji dengan Dex untuk jalan-jalan keliling kota. Puncak, tujuan kami malam ini untuk double date dengan Onix dan pacar barunya. Paling-paling sewa vila bersama. Menyenangkan, daripada di hotel murahan biasa.
Aku sibuk berdandan memantas-mantaskan baju apa yang harus kukenakan nanti. Jaket kulit kesayanganku sedang dicuci. Apa boleh buat, terpaksa dengan jaket jeans belel yang ditambal emblem berbagai merek baju ternama. Itu juga kesayanganku. Sebab untuk mendapatkan emblem merek topnya aku dan teman-teman sempat mengutil, merobeki koleksi baju di butik dan plaza elit. Taruhannya tentu saja nama baik dan kebebasan. Dan kami taruhan itu kami menangkan!

Aku masih melenggak-lenggokkan pinggul mengikuti gaya Nina Hagen di depan cermin. Sebelum tiba-tiba kulihat ada kerut di kedua ujung mataku. Setengah mati kututupi dengan bedak dan eye shadow tapi tak bisa. Serta merta ketika kuperiksa akar rambutku yang tertutup cat rambut, terlihat warna putih di sana. Kucoba untuk tetap tersenyum.

Suara klakson mobil Dex terdengar berkali-kali. Aku harus bergegas, namun pinggang ini mendadak sakit. Oh, rematik-ku kumat lagi! Memang di usia setua ini aku harus kurangi keluar malam terlalu sering. Ketika berjalan keluar, kuraih kado ulang tahun untuk Dex tersayang. Hari ini tepat ulang tahunnya yang ke 45 dan aku 43.

Jakarta, 2002