Friday, February 12, 2010

Lithany Membunuh Sepi (Cerpen tahun 2002)

Kenapa hari berlalu begitu cepat? Lagi-lagi hari ini sudah Sabtu dan besoknya lagi Minggu.
Lithany kesal benar dengan dua hari tersebut. Kalau bisa meminta, ia ingin hari Sabtu dan Minggu ditiadakan dari kalender. Dan semua orang harus bekerja terus menerus seumur hidup tanpa kenal tanggal merah dan akhir pekan.

Kebanyakan orang menunggu-nunggu akhir pekan, tidak bagi Lithany. Akhir pekan serasa neraka waktu tiada akhir yang mesti dirasa. Pada dua hari biadab itu ia akan berjalan seorang diri di lorong-lorong kota membunuhi waktu yang berjalan begitu pelan. Demikian lambatnya hingga dua hari serasa dua tahun penuh durjana.

Di Jumat malam Lithany akan menekuni buku alamat. Mencari-cari nama teman, baru atau lama, yang bisa dihubungi. Sesudahnya ia akan sibuk menekan tombol telepon menghubungi mereka satu-satu.

“Halo, bisa bicara dengan Nani? Oh, sedang keluar? Kapan kembali? Oh ya, baiklah,” diletakkan gagang telepon.
“Halo, Dani? Besok ada acara? Baiklah, tak apa. Oh aku baik-baik saja. Sampai jumpa.”
“Halo? Tidak, saya temannya. Biar besok saya hubungi lagi.”
“Arta? Selamat berakhir pekan kalau begitu.”

Kelamaan ia putus asa dan dihempaskannya buku alamat tadi. Semua temannya, baik lama atau baru, sibuk dengan acara masing-masing. Selalu begitu. Dan akhir pekan akan terasa seperti detik-detik eksekusi bagi Lithany.

Kalau sudah begitu perempuan yang nyaris berusia kepala tiga itu akan tersungkur di kamar kecil sewaannya. Mendengar musik sampai kantuk tiba. Saat pagi menjelang ia akan terbangun untuk meratapi hari, mengapa hari ini hari Sabtu dan esok adalah Minggu?

Dengan kemalasan tiada tara ia melangkah ke kamar mandi. Tidak perlu sarapan sebab seharian bahkan dua harian ini ia punya banyak kesempatan berlapar-lapar untuk kemudian berkenyang-kenyang seorang diri. Satu persatu restoran dan kafe sudah dicoba. Ingin makan apa weekend ini? Lalu, mall dan plaza mana lagi yang harus ia kitari? Lorong kota mana lagi yang harus ia susuri? Semua dilakukan hanya demi membunuhi sepi.
***

Ia mengenakan jeans paling belel yang ia punya. Ujung jeans itu sempat kepanjangan dan ia potong dengan gunting begitu saja tanpa dirapikan ke tukang jahit. Hasilnya, ujung kainnya terburai liar. Dan ia sungguh tak peduli.

Kaki Lithany terbalut sepatu kets hijau lusuh ala pemain bola. Sepatu yang selalu menemani tiap akhir pekan ia berjalan terseok keliling kota. Solnya sudah mulai tipis tapi ia suka. Belum berniat membeli baru. Sepatu itu membawanya ke sebuah toko buku yang baru dibuka. Bahkan penjaganya terkejut melihat sepagi ini sudah ada turis lokal mampir.
Toko ini sudah puluhan, ratusan kali ia singgahi. Tiap akhir pekan ia masuk ke toko buku yang ada di Jakarta. Tidak selalu membeli. Hanya membaca berjam-jam sampai kaki pegal seperti mau putus. Beberapa buku bagus sudah rampung dibaca hanya modal numpang. Lithany hanya mau beli buku yang sungguh-sungguh bagus dan menantang untuk dimiliki. Lain tidak.

Biasanya setelah berpegal-pegal berdiri di toko buku ia akan ke kafe atau restoran. Tidak harus selalu yang dekat. Kadang dari toko buku di Blok M ia naik bis ke daerah kota untuk cari chinnese food. Atau sebaliknya, dari Hayam Wuruk perempuan itu rela bermacet-macet naik bis ke Depok untuk mencari bakwan malang favoritnya. Gila? Sama sekali tidak. Apalagi yang kauharap di akhir pekan dari seorang perawan tua kalau bukan membuang-buang waktu dengan percuma.

Pada waktu yang sama, teman Lithany menghabiskan waktu bersama keluarga, suami, kekasih atau teman lainnya. Mereka selayaknya perempuan-perempuan usia kepala tiga lain, sudah punya momongan atau suami. Mereka akan disibukan oleh berbagai kegiatan para istri: arisan, memenuhi undangan pesta pernikahan, rekreasi keluarga, bla bla bla. Entah kapan Lithany bias tenggelam dalam acara sejenis itu. Rasanya tidak akan pernah, sebab hingga hari ini perempuan berambut panjang itu tetap mengutuki akhir pekan seibarat kiamat mingguan dalam hidupnya.

Prosesi pernikahan temannya satu-satu ia sumpah serapahi. Satu pernikahan, berarti satu teman hilang sudah. Masih ada harapannya pada Linca dan Deli, teman seangkatannya yang belum direbut oleh institusi pernikahan. Tapi Linca sudah punya tunangan dan Deli sibuk dengan sekompi keponakannya. Walau sama-sama perawan tua, Deli tipe perempuan cinta keluarga. Ia lebih suka habiskan waktu dengan orang tua, keponakan atau adik daripada teman seperti Lithany.

***

Dulu, dulu sekali Lithany begitu memuja akhir pekan. Tiada pernah kesepian menjemputnya di Sabtu-Minggu. Ia selalu disibukan oleh berbagai acara hura-hura. minggu ini ke Puncak, minggu lalu ke Pangandaran, minggu depan keliling Jakarta. Ia punya sekompi geng yang siap memboyongnya ke acara-acara seru. Kebut-kebutan motor di lereng terjal Puncak, nge-track di Taman Lawang sembari menggodai bencong.

Akhir pekan adalah surga bagi Lithany di masa lalu. Sebuah momen yang selalu dinanti penuh harap. Suatu kesempatan ia bisa bebas merdeka dari himpitan rutinitas kuliah. Malam minggu tidak pernah terlewatkan seorang diri di kamar sewaan. Musik keras bergedombrangan memekak telinga, gelak tawa dan asap rokok tidak pernah absen setiap akhir pekan Lithany bersama gengnya.

Kemudian datanglah masa dewasa itu. Satu-satu temannya mulai sibuk mencari kerja. Ia pun demikian. Masih sempat sekali dua kali dalam sebulan mereka habiskan akhir pekan bersama. Perlahan kebersamaan itu digerogoti kesibukan pribadi masing-masing. Lithany sendiri tenggelam dalam kisah kasihnya yang berkali-kali kandas. Karena dendam, ia tenggelamkan diri dalam karir sebagai seorang editor buku.

Kian tenggelam dan tenggelam. Tanpa sadar satu-satu temannya sudah punya dunia sendiri. Lithany terhenyak sadar bahwa ia tertinggal jauh dari teman-temannya ketika beberapa kali akhir pekan terpaksa ia lewati seorang diri. Gigit jari.

Lalu, akhir pekan yang dulu adalah surga telah berubah jadi neraka. Ia selalu menyumpahserapahi dua hari biadab tersebut. Dua hari dimana ia harus mencari kesenangan seorang diri. Dua hari dimana ia akan ditertawakan orang kalau masih mencoba masuk kerja. Dua hari dimana ia membawa sepatu lusuknya ke lorong-lorong kota tak bertuan.

***

Lelah penat ia rasakan setelah dua hari penuh keliling kota tanpa makna. Sebuah rutinitas menjemukan yang mau tak mau harus ia lakukan daripada mesti terbunuh sepi dalam kamar. Gontai langkah Lithany menuju kamarnya yang cuma sepetak. Saat perempuan seusianya menghabiskan waktu bersama keluarga di akhir pekan, ia harus terima kenyataan bahwa di kamar sewaannya itu tak seorangpun datang menyambut. Hanya senyum hambar ibu kos penuh basa-basi.

Dalam ngelangut sepi, ia hidupkan radio. Distel volume keras-keras dengan jenis musik rock paling keras pula. Tiga buah buku sudah menanti untuk dibaca. Tapi hatinya tetap sepi. Dari atas kasur, diangkatnya kepala. Terlihat kalender meja. Ada harapan manis menjelang. Ah, besok hari Senin. Usai sudah penderitaan akhir pekan ini.

***
pinggir Jakarta, mei 2002

No comments: