Sunday, February 7, 2010

Asmat, Dayak, Indonesia, Mimpi Masa Remajaku

Tidak adil rasanya jika saya sudah menulis tentang impian masa kecil yang kesengsem pada Rusia dan komunisme jika saya tak menyebut Indonesia.
Saya kan orang Indonesia, masak ngga punya impian apapun tentang negeri ini?

Ya, ada masanya ketika saya sangat tergila-gila pada budaya Indonesia. Waktu SMA dulu sempat terbersit ingin jadi antropolog. Teman-teman menyebut saya gila karena hobi koleksi foto-foto orang Asmat, Dayak, dan suku-suku pedalaman. Sampai dipajang di seantero dinding kamar. Ke Pasar Raya demi berburu tas yang terbuat dari tali temali khas Papua. Diledek stres oleh para sahabat karena nyaris membeli koteka buat pajangan kamar.

Impian saya waktu itu, kalau punya rumah ingin dipenuhi dengan totem, leak, batik, ulos, semua produk seni khas Indonesia. Saya ingin tahu apa hubungan Papua dengan Afrika, kenapa tarian serta musik mereka mirip, juga ciri fisiknya. Kenapa seni berbusana dan aksesoris Dayak mirip dengan Indian. Kenapa kostum pengantin Betawi mirip pengantin China. Kenapa orang Aceh mirip Arab. Apa betul kisah yang menceritakan bahwa semua alat musik di seantero Indonesia ini berasal dari seperangkat gamelan yang musnah ditelan ombak lalu terdampar di setiap pulau di Nusantara? Saya juga sangat tertarik dengan orang Samin di Jawa Timur yang punya ideologi antik. Penasaran, katanya di pedalaman Kubu ada suku yang telapak kakinya terbalik. Lebih penasaran lagi, pernah ketemu orang yang bersumpah bahwa manusia Hobbit di Nusa Tenggara masih ada, tidak punah seperti yang dikabarkan media. Hanya mereka sangat tertutup.

Ah ada banyaaaaaak sekali keingintahuan dan penasaran yang terus membuncah dalam benakku sampai hari ini. Bukankah itu salah satu wujud bahwa saya cinta Indonesia?

Banyaknya ilmuwan asing yang melakukan penelitian pada alam, budaya Indonesia membuat saya sedih. Kenapa harus mereka? Karena mereka punya banyak uang untuk melakukannya, sedangkan kita tidak? Ketika saya ingin jadi antropolog dulu, cita-cita saya adalah ingin mengeksplorasi semua pedalaman di Indonesia. Seperti Margareth Mead, antropolog Inggris yang mengeksplorasi Samoa. Kata teman-teman, lulusan antropolog Indonesia kebanyakan tidak menjadi peneliti, melainkan bekerja di bidang yang tak ada hubungannya dengan bidang itu. Kalaupun ada jumlahnya sedikit sekali. Kabarnya akibat dana penelitian antropologi nyaris tidak ada dari pemerintah. Kecuali mau susah payah mencari dana dari lembaga asing yang pastinya akan didominasi oleh peneliti asing pula, sementara peneliti kita cuma jadi semacam pemandu saja. Hiks.

Apakah impian saya sudah surut? Impian untuk mengekplorasi adat budaya suku pedalaman Indonesia? Tidak. Kadang saya masih bermimpi untuk itu. Jika ada dermawan atau filantropis sudi membiayai ekspedisi ke pedalaman untuk ditulis dalam bentuk buku dan foto-foto, atau bahkan film, kenapa tidak? Mimpi saya tak pernah mati. Sebab saya punya falsafah: bermimpilah terus sampai kiamat tiba. Bermimpi dan berusaha mewujudkannya pasti.

Ah, sejak semalam saya sudah menulis 3 artikel: tentang Rusia, cinta, dan satu lagi tentang impian sebagai orang Indonesia. Hiperaktif amat sih saya!

No comments: