Sunday, February 7, 2010

Berawal dari Status Iseng Soal Atheis...

Tadi saya iseng menuliskan status ini:

Negara yang mengizinkan atheisme saja rakyatnya bisa makmur. Kenapa negara kita yg ngaku berkeTUHANan yang Maha Esa tidak kunjung makmur? Ada yg bisa jawab?

Pertanyaan saya ini diinspirasikan dari aneka cerita mengenai betapa warga negara sejumlah negara maju di Eropa saja bisa hidup sejahtera. Pengangguran dapat tunjangan. Setiap keluarga yang ketambahan anak, mendapat tambahan tunjangan lagi dari negara, komplit dengan bingkisan manis, dan ucapan selamat yang hangat. Betapa mereka yang masuk usia pensiun bisa hidup layak, leyeh-leyeh tanpa kerja, bahkan plesir keliling dunia dengan uang tabungan dan pensiunnya, dan itu bukan hal luar biasa di negaranya. Itu hal lumrah, wajar, biasa saja.

Padahal orang Indonesia yang kerja banting tulang dari subuh sampai magrib bahkan isya pun kerap kali masa tuanya nelangsa masih harus menarik gerobak bubur ayam atau menambal ban demi bisa menyambung hidup.

Negara maju yang rakyatnya sejahtera itu pada pada kondisi dimana agama bukan hal heboh yang layak diperdebatkan. Mereka tidak punya Pancasila dimana sila pertamanya berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa". Mereka juga tidak mewajibkan warga negaranya beragama tertentu. Atheis, agnostik, apapun itu dibebaskan berkeliaran selama tidak mengganggu ketentraman publik.

Bagaimana di Indonesia? Ow, beranikah Anda mencantumkan strip saja pada kolom agama di KTP Anda? Atau sekalian mengisinya dengan kata "atheis" atau "agnostik"? Tidak usah muluk begitu. Menulis agama yang bukan 5 agama yang diakui di Indonesia saja, Anda sudah cari masalah. Hehehe. Dan apakah dengan pewajiban melabelkan agama pada setiap warganegaranya sudah menjamin rakyatnya hidup sejahtera? Silakan Anda jawab sendiri.

Pertanyaan pada status saya tadi, saya ulangi deh:
Negara yang mengizinkan atheisme saja rakyatnya bisa makmur. Kenapa negara kita yg ngaku berkeTUHANan yang Maha Esa tidak kunjung makmur? Ada yg bisa jawab?

Status iseng itu memicu sejumlah komentar dari teman-teman. Okay, coba saya analisa satu-satu ya komentarnya:

Yayan R. Triyansyah:
"Karena tuhan telah mati, mer."

Analisa saya: Hmm ini Yayan sekadar mengutip Nietzche secara asal atau memang ia meyakini teori yang sama? Atau Yayan sekadar becanda saja, nyeletuk asal saja?
Tuhan sudah mati? Jadi Yayan ini bukan atheis, sebab masih meyakini Tuhan walau dianggapnya sudah mati.

Ovi Oktaviani:
"mereka liberal, tapi bukan ateis..lagian mereka dulu termasuk bagus yg beragama,setelah kemudian menganut sekularisme (kalo gak salah lho... :)"

Analisa saya: Betul Ovi, negara maju yang makmur dan mengizinkan atheisme itu memang bukan negara atheis. Mereka liberal. Bahkan di masa lalu mereka sangat religius, bisa dikatakan demikian. Kini mereka sekuler, mungkin sudah cukup "muntah" pada ajaran agama di masa lalu. Sejumlah orang sana yang saya kenal selalu bilang bahwa tempat ibadah di negaranya itu hanya dikunjungi oleh orang-orang usia lanjut. Sangat jarang anak muda yang ke gereja, mesjid atau kuil atau sinagog.

Affan Pasaribu:
"Karena kita tidak menggunakan akal yang disediakan Tuhan. Tuhan tentu saja tidak bersalah -- kita saja yang menyia-nyiakan karunia-Nya."

Analisa saya: Hmm apakah pernyataanmu ini sama artinya dengan bahwa negara yang mengizinkan atheis lebih menggunakan akal dan tidak menyia-nyiakannya? Saya lumayan setuju. Mungkin bisa dikatakan, orang yang tidak terlalu berpegang pada agama akan berpikir lebih logis, mengutamakan akal budi daripada kepercayaan yang kadang tidak masuk akal. Negara maju yang mentoleransi atheisme dan agnostik adalah negara yang sains dan pengetahuannya maju, sebab masyarakatnya terbiasa berpikir serba logis, rasional, tidak percaya hal-hal mistis dan klenik.

Andy Arnold:
"Disini TUHAN jadi dagangan mer....."

Analisa saya: Ini statemen yang mendekati fakta. Tuhan dan agama sebagai mediator manusia dengan Tuhannya sudah menjadi semacam produk politik dan ekonomi. Orang menggunakan label agama dan mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan politik, ekonomi, dan bisnis semata. Bukan hanya di Indonesia, hal ini juga terjadi di negara lain. Di negara maju mungkin hal ini juga pernah terjadi, atau masih, hanya angkanya sudah menurun seiring dengan kemuakkan manusia pada tipudaya sesamanya yang mengatasnamakan agama dan Tuhan. Istilahnya, di sono udah kagak laku lagi luh kalo mau intrik-intrikan pake nama Tuhan dan agama, udah kaga mempan. Tapi di Indonesia masih mempan.

Wahyu Awaludin:
"Karena ateis,berketuhanan,atau paham apapun,tidak ada hubungannya dengan kemakmuran.Itu jawabannya.Titik.Selesai."

Analisa saya: Lho tapi bukankah dalam semua agama diajarkan mengenai bagaimana menuju kemakmuran, kesejahteraan, kenyamanan hidup umat manusia? Bagaimana mungkin tidak ada hubungan antara berketuhanan dan kemakmuran? Setahu saya di Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hidup, 5 agama yang diakui di negara ini, semuanya mengajarkan bagaimana mencapai hidup makmur dan sejahtera bagi umatnya bukan? Di agama itu diatur mengenai rizki, sedekah, amal, untuk kesejahteraan umat manusia bukan? Kok bisa ngga ada hubungannya? Nah, Wahyu sangat lemah logikanya. Bisa tolong kembali dijelaskan?

Setiajie Cahyadi:
"Keakehan dosa !"

Analisa saya: Kebanyakan dosa? Lho kok bisa? Apa artinya di negara yang menoleransi atheis tidak kebanyakan dosa? Apakah kaum atheis tidak mengenal dosa sehingga otomatis di sana pun tak ada dosa? Hahaha.

Haryo Yudho Sedewo:
"Soalnya orang atheis bertanggung jawab penuh akan dirinya sendiri. In a contrary, we pray a lot but lack of effort and responsibility. What a shame..."

Analisa saya: Nah, saya agak setuju dengan Haryo. Atheis atau agnostik cenderung tidak akan menyalahkan siapa-siapa termasuk Tuhan dan kitab suci jika terjadi cobaan atau mala petaka. Jika mendapatkan masalah misalnya, mereka hanya akan menyalahkan diri sendiri, dan berusaha memperbaikinya. Beda dengan orang religius yang kadang keceplosan bilang "Ya Tuhan, mengapa kau beri aku cobaan ini!" atau misalnya ada bencana alam, seorang religius akan bilang, "Ini pasti hukuman dari Tuhan!", padahal orang yang tidak religius akan berkata, "Wah, lingkungan makin rusak akibat ulah manusia. Ayo coba kita cari solusinya bersama."

Petrus Wijayanto:
"Karena Pancasila ada 5 sila, lha kalau urusan sila pertama saja nggak pernah beres, kapan sampai sila ke-5 ?"

Analisa saya: Hmm komentar ini agak melenceng dari pertanyaan di status saya. Jadi saya juga agak bingung menganalisanya. Hehehe.

Ronald Andersen:
"Buat legitimasi kalo mo bikin KTP ama SKKB doak si gw denger2..."

Analisa saya: Bisa jadi agama di Indoenesia itu hanya formalitas buat ngisi KTP dan SKKB saja. Sebab faktanya banyak Islam KTP, Kristen KTP, Katholik KTP, Budha KTP, Hindu KTP. Tapi tidak ada atheis KTP, sebab atheisme dan agnostisme hanya dipendam dalam hati, tak perlu digemborkan. Lha, siapa yang berani gembor2 sebagai atheis atau agnostik di Indonesia? Sudah bosan hidup?

Annas Komta:
"Dunia itu surganya org atheis, nerakanya org beriman... org beragama n berilmu tapi muna lebih dulu masuk neraka drpd org atheis.. ( sama2 masuk neraka akhirnya.. )"

Nah, konsep pemikiran macam ini saya temukan juga di ajaran Budha dan Katholik (komik Budha dan Da Vinci Code-nya Dan Brown menyebutnya). Bahwa hidup di dunia ini adalah layak ditebus dengan penderitaan. Maka di ajaran Budha kita mengenal kaum fakir yang sengaja hidup susah menyiksa diri, tidur di atas paku. Atau para pengikut Katholik yang menyiksa diri dengan memukuli dirinya sendiri. Saya tidak tahu Annas ini merujuk konsep yang mana. Namun pemikiran bahwa dunia adalah nerakanya orang beriman ini banyak dikenal di beberapa keyakinan. Akan datang Imam Mahdi, Ratu Adil, Sang Juru Selamat, dimana kaum tertindas yang beriman di dunia ini akan diselamatkan dan mendapatkan surga. pada dasarnya akar dari konsep ini adalah Zoroaster.


Jusananda Ganteng Asal Sombong:
"Karena korupsi,pasti!"

"Jadi, tak peduli atheis atau beragama, kalau korupsi sudah pasti rakyatnya ngga makmur ya? Setuju! Jadi tak ada beda antara agama dan kaum atheis, sebab yang membedakan adalah perbuatannya, bukan labelnya."


Arli Aditya Parikesit:
"Come on....
Di Indo, kita harus milih satu dari lima agama, sementara di Jerman, kita org Indo dicurigai sebagai teroris :P. Interview dg imigrasi jerman itu, sangat memuakkan, karena terang2an kita dituduh sebagai anggota Al-kaidah, dan harus membuktikan kalo kita bukan bagian dari mereka. Ndak peduli beragama atau atheis, kalo dari Indo, pasti unt perpanjangan residence permit Jerman, harus menghadapi interview tolol itu. Mana yang lebih buruk? Hehehe..."

Analisa saya: Kembali pada masalah agama sebagai label. Kita di Indonesia susah payah menciptakan label bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan maha esa, religius, beriman, namun apa daya tetap saja dunia barat menciptakan label yang jauh lebih besar di jidat kita: TERORIS. Hiks! Pathetic!


Lantas bagaimana dong solusinya? Saya bukan pakar politik, apalagi pakar agama. Saya cuma berusaha menarik kesimpulan saja dari komentar banyak orang, didukung sekelumit pengalaman sekitar, serta secuil pengetahuan dan referensi.

Mungkin memang negara kita tercinta ini masih pada level membentuk label, branding, yang sesuai dengan kepentingan banyak pihak. Sedang mencari-cari jati diri, ibarat anak usia pra puber. Agama masih dianggap sebagai label yang digdaya, maka itu Indonesia sering mengklaim diri sebagai negara dengan pemeluk muslim mayoritas, negara dengan kebebasan beragama dimana setiap agama mendapatkan hari liburnya. Negara dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua simbol itu adalah usaha keras pemerintah untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan pemeluk agama yang kuat. Branding macam ini bisa jadi bertujuan untuk menggandeng sesama agama berkembang lain yang juga punya filosofi sama, yaitu mengukuhkan label agama.

Mengenai apakah ajaran agama yang baik itu diimplementasikan juga oleh pemerintah dan rakyatnya, itu utusan belakangan. Mengenai apakah korupsi, pembunuhan, penipuan, fitnah, iri, dengki, sirik, musrik, masih merajalela di tengah label agama, itu nomor ke sekian. Yang penting branding dan label dulu. Padahal keduanya tidak selamanya menang di tataran politik internasional.

Ah sudahlah, saya capai bicara soal fakta yang menyedihkan ini. Sebab saya sendiri pun juga masih belum mengimplementasikan ajaran agama saya. Walau saya tak terlalu pusing dengan label...Capek ah ngetik...silakan dilanjutkan yang mau...hehehe.
Wong tulisan ini cuma berawal dari status iseng...kekekekekekek!

No comments: