Sunday, February 7, 2010

Journalist: Great Outside, Small Inside?

Besar di luar, kecil di dalam? Jangan ngelantur dulu ya pikiran aneh2nya. Hahaha. Itu bukan guyonan porno, tapi super serius lho.

Buat teman-teman jurnalis, istilah "besar di luar tapi kecil di dalam" pasti sudah pernah didengar. Minimal merasakan lah. Ya, buat yang bukan jurnalis, pasti agak bingung.

Karena saya pernah jadi jurnalis di sebuah harian nasional, maka saya bisa bersaksi (cie) bahwa perasaan "besar di luar tapi kecil di dalam" dirasakan semua jurnalis. Maksudnya?

Jurnalis dihormati banyak kalangan. Menteri, CEO terkenal, pejabat teras, presiden, politikus, ilmuwan, akan berusaha tampil manis dan baik hati kalau bertemu jurnalis. Kalau punya salah ya ketakutan kabur dari pintu belakang. Artis top pun takut salah ngomong kalo ketemu jurnalis. Silap lidah sedikit bisa jadi berita kacau yang menurunkan imej. Jadi jurnalis kadang ditakuti, dihormati, namun juga disebeli. Intinya, jurnalis punya pengaruh BESAR pada hidup banyak orang penting di dunia ini.
Apresiasi terhadap jurnalis juga BESAR di luar. Ini saya dan teman-teman alami sendiri. Jika tulisan kita bagus, yang memuji adalah para pembaca dan narasumber. "Wah, kok bisa ya nulis begitu, hebat kami." atau "Tulisanmu edisi kemarin bagus banget, sangat menginsipirasi," dan seterusnya.

Eits, jangan salah, di perusahaan media tempat mereka bekerja, jurnalis justru kecil banget! Apanya? Semuanya! Buat apa Aliansi Jurnalis Independen (AJI) teriak-teriak mempromosikan UMR jurnalis? Sebab gaji sebagian besar jurnalis kita KECIL.

Bukan cuma itu, kebebasan, penghormatan, penghargaan, kepada jurnalis di perusahaannya sendiri juga tidak kalah KECIL. Jurnalis yang di level reporter dianggap cuma tukang cari berita. Ditelepon, disuruh liputan ke sana-sini, lalu ditagih mana beritanya. Eh bukan cuma itu, masih ada pesan sponsornya lho : "Kamu nulisnya begini ya, jangan begitu, sebab si anu itu mau pasang iklan di kita," atau "Kamu mesti nanya begini, rayu ini itu, biar dia mau pasang iklan di media kita.", atau, "Kamu goblok amat sih nulisnya, gitu aja gak becus", dan seterusnya.

Padahal kalo media banjir iklan, jurnalis ngga pernah kecipratan. Gaji ya segitu2 ajalah, kudu nunggu kenaikan tahunan dan bonus ngga janji lha yao.

Apresiasi? KECIL juga! Kalo ada reporter punya ide cemerlang, diakuisisi oleh redaktur atau redaktur pelaksana, lalu diwujudkan oleh keputusan bos. Dan si reporter cuma gigit jari. Kalau memang lomba penulisan jurnalistik, dimintain traktiran tapi ngga ada insentif apapun. *Ehm, saya sih dulu diem2 aja kalo menang, wong ngga ngaruh di gaji atau jabatan*.

Bos besar yang terkenal dan disegani banyak orang di luar malah tidak mengenal siapa itu reporter kelas cerenya. Namanya pun ngga tau. Ketemu di liputan ya ngga disapa, wong ngga dikenal.

Dan yang pasti, jurnalis juga ngga punya keberanian apapun buat minta kenaikan gaji atau jabatan. Dianggap sudah cukup bahagia dengan privilege liputan ke luar negeri, dapat souvenir atau door prize, dan sejenisnya.

Mau banyak cuap-cuap di kantor? Dilepehin! Dianggep buruh kecil, cuma layak disuruh-suruh aja. Kalau tulisan bagus ngga dipuji, tulisan jelek dimaki-maki abis.

Ohhhh jurnalis. Itu hanya sebagian kecil dari kondisi jurnalistik kita yang membuat saya menggantungkan kartu pers saya sejak awal 2008 silam. Memang tidak bisa disamaratakan semua media, namun dari curhat bersama teman-teman sesama jurnalis, saya menemukan banyak kesamaan nasib. Hiks. Semoga kelak ada perbaikan ya.. *standar deh doanya*.


Kondisi lain? Hahaha...omong kosong ada jargon yang mengatakan bahwa media harus netral, Tak boleh berpihak! Bullshit BESAR!

Tanya kenapa Budiarto Sambazy Kompas jadi bintang iklan kampanye JK.

Tanya kenapa banyak jurnalis dan orang media terjun ke partai.

No comments: