Monday, July 9, 2012

Aktivis, Profesi yang Tak Pernah Saya Cita-citakan


Bersama teman-teman blogger se-Nusantara saat FGD2012 ICT Watch
Menjadi aktivis, tak pernah terbersit di benak saya sama sekali. Selama menjadi jurnalis sains, teknologi, dan lingkungan dulu, saya beberapa kali berurusan dengan yang namanya aktivis, entah itu dari Greenpeace, WWF, Walhi, dan banyak lagi. Di mata saya dulu, mereka identik dengan suara lantang,  gemar memprotes ini itu, senang diliput media. Tidak terlalu simpati rasanya, dan tak pernah bercita-cita ingin menjadi aktivis. Sampai akhirnya saya ada di titik jenuh bekerja di industri media. Bahkan sudah mencapai posisi puncak di ranah jurnalistik, yakni sebagai pemimpin redaksi. Ya, amat sangat jenuh.

Saya memutuskan bergabung dengan ICT Watch, yang terkenal dengan program Internet Sehat. Bukan karena ini organisasi non pemerintah yang top atau banyak duitnya, sama sekali bukan. ICT Watch tidak terlalu top, kalah gaung dibanding ICW, WWF, Walhi, yang sudah lama berkibar. Tapi ICT Watch dapat dikatakan sebagai satu-satunya organisasi non pemerintah yang konsisten di bidang pemberdayaan teknologi informasi. 

Saturday, March 17, 2012

Merpati Kembali Terbang Bebas (dan Tinggi)


Pemimpin redaksi alias Chief Editor alias Editor in Chief, katanya merupakan jabatan puncak dalam karier jurnalistik.  Awalnya dulu ketika ditawari posisi itu, saya berharap akan punya lebih banyak waktu untuk menulis, terutama menulis buku fiksi, sebuah obsesi yang belum kesampaian, sebab semua buku saya selalu non fiksi.
Kebebasan menuangkan ide, konsep, gaya bahasa, memang diberi ruang cukup luas pada mulanya.   

Tapi seiring waktu berlalu, baru saya sadari bahwa memimpin tim redaksi lebih dari perkara memberi ide, menuangkan konsep, bermain dengan gaya bahasa, melainkan juga mengatur sumber daya manusia.  Hal ini sudah saya sebut di postingan terdahulu.

Thursday, January 12, 2012

Berselancar Sepuasnya

Menerbitkan majalah itu jauh lebih sulit dari sekedar menulis buku.  Itu pelajaran yang saya dapat sejak memimpin redaksi Top Career Magazine, sebuah majalah bisnis berbasis isu-isu Human Resources (HR).  Saat SMP, bisa saja saya dengan enteng bermimpi membuat majalah sendiri.  Dan ketika sudah terjun ke industri ini saat usia dewasa, wow, tak seindah mimpinya.

Ada rasa puas, penasaran, antusias, optimis, ketika sukses melalui deadline.  Tapi sekaligus juga kecewa, down, kala hasilnya tak sesuai yang diharapkan.  Lalu berusaha bangkit memperbaiki di edisi berikutnya, dengan pola bongkar pasang, mencari-cari formula yang pas.  Semua dilakukan tiada henti bersama tim, bukan sendirian.