Sunday, February 7, 2010

Orang Indonesia Genius, Tapi Kok Negaranya Kere?

Bingung kenapa Indonesia yang punya banyak segudang juara olimpiade sains dunia, kok negaranya ngga maju-maju? Bingung kenapa di koran banyak berita soal ilmuwan kita dapat penghargaan internasional, meraih medali emas bertruk-truk dari ajang dunia, tapi kok kita masih megimpor garam, gandum, kedelai, bahkan juga pernah beras? Padahal yang namanya laut ampun-ampunan luasnya, sawah dan kebun pun tak terhingga.

Jawabannya sederhana sekali: ilmuwan kita yang genius-genius itu tidak peduli apakah hasilpenelitiannya bisa dinikmati sekitar atau tidak. Mereka cukup puas dengan penghargaan, medali, sertifikat, hak paten, dan popularitas di dunia sains. Jelas saja dunia industri kita "tak sudi" menggunakan hasil temuan mereka, sebab ngga layak dikomersilkan, ngga layak jual, masih butuh pengembangan yang buth waktu dan biaya banyak banget. Daripada capek-capek membantu pengembangan inovasi itu, bukankah lebih baik kalangan industri mengimpor saja produk luar yang bisa langsung menghasilkan uang sekejap mata?

Sad but true, itulah yang terjadi di Indonesia. Dari sekian banyak hasil penelitian oleh ilmuwan kita, hanya seupiiiiiiiilllllsekali yang benar-benar bisa dikomersilkan. Sisanya adalah produk impor, adopsi dari temuan luar, atau kita sekadar sebagai pabrik semata, bukan penemu.

Siang tadi saya bersua Franz Gelbke, German Advisor fo Business Developement and Technology Transfer di kantornya yang nyaman, lantai 23 gedung BPPT. Saya tak akan mengupas terlalu banyak obrolan dengan lelaki simpatik ini, karena diskusi kami sesungguhnya adalah materi untuk buku yang kini tengah saya tulis.

Pak Franz yang ramah ini berbagi cerita tentang bagaimana negaranya bisa semaju sekarang. Ia memaparkan, Jerman menganut konsep dimana ilmuwan dan industri disatukan dalam satu wadah, agar bisa saling berkomunikasi satu sama lain, saling memahami kebutuhan. Ilmuwan butuh dana untuk melakukan R&D-nya, industri butuh inovasi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pemerintah memiliki kekuatan untuk mendukung keduanya saling bersinergi. Bahkan pemerintah menyediakan anggaran besar untuk program tersebut. Kelamaan, ketika para ilmuwan sudah mampu mandiri secara perlahan berkat ditunjang dunia industri, pemerintah pelan-pelan mulai lepas tangan dengan mengurangi anggaran.

Terjadilah sinergi hebat antara ilmuwan dan industri, seperti kita tahu Jerman kini menjadi negara yang cukup terkenal dengan kemajuan sains dan teknologinya.

Mampukah Indonesia menerapkan konsep serupa?

Maaf, saya harus menyensor sejumlah obrolan kami demi kepentingan bersama. Hehehe. Yang jelas, Franz wanti-wanti berpesan agar saya bersabar untuk jawabannya.

"Sabar dulu, sebab kami sudah memulai lebih dulu. Indonesia kurang anggaran, infrastruktur kurang memadai, dan banyak lagi masalah lain seperti luasnya wilayah dengan budaya dan etnis berbeda. Be patient," ujarnya. Bahkan ia dengan polos mengatakan bahwa di Jerman pun masih banyak problem dimana UKM setempat masih susah menerima inovasi teknologi. Jadi jangan heran kalau Indonesia pun kesulitan dalam hal itu.

Tapi ada satu kalimat yang saya takkan pernah lupa dari Herr Gelbke ini: "Pemerintah Indonesia kurang mendukung pengembangan R&D. Negara lain seperti China, Thailand, Singapura, Malaysia, saya lihat pemerintahnya mendukung R&D sains dan teknologi secara besar-besaran. Itu yang tidak terjadi di Indonesia."

Yeah, terima kasih, Pak Franz. Terjawab sudah kenapa negara kita menjadi pengimpor segalanya.

No comments: