Friday, February 12, 2010

Dua Perempuan (cerpen tahun 2002)

Ia membelalakan matanya yang memang sudah besar itu ke arahku. Kenyataan yang baru saja kututurkan sangat sulit diterima otak dan hatinya. Tapi bagaimana lagi. Semua adalah fakta tak terbantah. Bahwa aku punya kakak gila dan kakak ipar tak waras. Keduanya hidup, menghirup oksigen sama di dalam rumah orang tuaku. Rumah kecil namun berisi sembilan buah kepala yang harus diberi makan setiap hari. Mirisnya hanya aku seorang yang punya pekerjaan tetap. Selebihnya serupa manusia-manusia tanpa masa depan. Apalagi kakakku yang satu itu.

Satu demi satu bayi lahir dari perut kakakku tanpa pernah merasakan menjadi ibu. Bagaimana bisa menjadi ibu kalau setelah melahirkan lantas ia tertawa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal empat kali sudah ia melahirkan bayi-bayi tanpa ayah. Yang pertama kini telah kelas enam SD. Tumbuh sehat diadopsi oleh seorang kerabat jauh dan tak pernah tahu sejarah hidupnya. Bayi kedua langsung almarhum begitu dilahirkan. Bayi ketiga terpaksa diadopsi kakakku pertama yang sejak menikah tak juga dikaruniai anak. Dan bayi keempat kami tinggalkan begitu saja di rumah sakit bersalin sebab kami sama sekali tak punya uang untuk menebusnya.

Peristiwanya sedikit menggemparkan. Kalau saja koran ibukota ‘murahan’ itu tak memuat berita tentang bayi-bayi terlantar di rumah sakit, tentu hingga sekarang kami tak tahu bagaimana nasib si bayi. Tapi di suatu pagi seorang tetangga mengejutkanku dengan membawa sehelai koran yang memuat berita terkutuk itu. Tertera foto empat orang bayi tak beribu yang ditinggal di sebuah rumah sakit. Hatiku seperti terantuk palu godam. Sebab jelas di situ disebutkan salah satu bayi adalah anak kakakku, Rina.

Dan merebaklah berita ke pelosok kampung. Kampung kami yang memang sudah padat dan kumuh menjadi tambah riuh dengan gosip murahan macam itu. Awalnya kucoba sembunyikan kenyataan ini dari telinga orang tuaku. Namun apa daya, mulut para tetangga jauh lebih kuasa dari segalanya.

Keadaan bertambah parah ketika datang dua orang petugas dari rumah sakit ke rumah. Mereka berhasil melacak keberadaan kami. Tak lain dan tak bukan tujuan mereka adalah meminta pergantian biaya selama si bayi dirawat.

Bayi itu lahir prematur. Jadi ia harus tinggal dalam inkubator selama di rumah sakit. Biaya sebulan untuk inkubator itu plus uang susu bisa meludeskan seluruh harta kami kalau dijual. Total jendral dua bulan lebih sudah bayi itu dirawat di sana.

Kondisi rumah kami yang bobrok tak membuat gentar para petugas rumah sakit untuk menagih bayaran. Ditambah kedua orangtuaku yang jelas-jelas tak bekerja dan sakit-sakitan. Petugas tersebut tetap teguh kukuh berlapis baja berkeras bahwa kami harus melunasi seluruh biaya perawatan sang bayi selama di rumah sakit, titik.

Aku selaku ‘kepala rumah tangga’ berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami memang keluarga tak mampu.
“Tak ada maksud untuk berkelit dari tanggung jawab. Kalau tidak terpaksa kami tidak akan meninggalkan bayi itu,” begitu salah satu argumenku.
Tapi kedua petugas itu tetap ngotot.

“Lihat sendiri kondisi ibu si bayi. Sama sekali tak merasa bersalah. Ia memang tak waras dan kami tak punya cukup uang untuk membawanya ke dokter jiwa,” tambahku. Dan jadilah aku serupa pengkotbah yang panjang lebar menuturkan kondisi keluarga kami. Bapakku yang tua tak berdaya. Ia hanya melenggang keluar rumah tanpa bicara. Bermain gaplek bersama teman-teman untuk melepas stres. Sedang ibuku masuk ke kamar, menangis. Kakakku yang gila mengurung diri di kamar belakang, merokok banyak-banyak. Kakakku lain yang sudah menikah dan masih tinggal seatap cukup sibuk mengurusi anak-anaknya. Dan kakak iparku yang pengangguran berambut gondrong dengan enteng tertidur lelap sehabis begadangan semalam suntuk. Jadilah aku ujung tombak segala permasalahan ini.

Setelah mencapai perdebatan panjang tiga hari, dicapai kesepakatan. Kami, tepatnya aku, harus mengurus surat tanda tidak mampu ke RT, RW hingga kelurahan sebagai bukti bahwa keluarga kami benar-benar miskin. Dengan surat itu maka kami mendapat keringanan dari rumah sakit. Cukup membayar biaya persalinan saja. Sedang si bayi terbuka untuk diadopsi siapa saja yang berminat. Calon orang tuanya yang akan menanggung biaya perawatan rumah sakit. Sedikit lega hati ini.

Persoalan belum berakhir. Seorang perawat rumah sakit mendekatiku. Ia ingin si bayi diadopsi kerabatnya. Janji muluk disodorkan pada orangtuaku.

“Saya akan mengganti biaya persalinan, plus uang terimakasih bahwa bayi itu diizinkan kami ambil,” ujarnya. Ia meninggalkan nomor telepon dan pergi dengan hati berbunga setelah kami dengan mudah menandatangani surat persetujuan adopsi. Sehari, dua hari, tiga hari tanpa kabar jelas. Hari kelima aku datangi rumah sakit tadi. Si bayi sudah tak ada. Kuhubungi nomor telepon si perawat yang tak ada jejaknya, ternyata nomor palsu. Lemas sudah aku. Kemana bayi itu dibawa, bagaimana nasibnya, tak seorangpun tahu.

# # #

Asap rokok dalam kamar ini makin tebal. Tak terasa dua pak sudah kami habiskan bersama. Baru malam ini kuungkap seluruh uneg-uneg hati. Setelah sekian lama bersahabat dengan Ayala, tak bisa lagi kusimpan setitik rahasia darinya.

Sama denganku, Ayala adalah perempuan dengan berton-ton problem dalam hidupnya. Tak cukup satu, dua atau tiga ton bahkan. Nyaris seluruh hidup kami penuh dengan masalah tanpa henti. Susul menyusul ibarat ombak bergulung di lautan. Bertubi-tubi tanpa henti. Baru sekejap kami keluar dari satu problem, selalu disusul oleh problem lain. Begitu terus tiada habisnya. Seolah masalah adalah patner hidup kami. Dan problem merupakan nama tengah kami berdua.

Nasib Ayala tak kalah miris dari nasibku. Terlahir dari suami istri yang sudah bercerai, perempuan itu punya tiga bapak dan tiga ibu dalam hidupnya! Satu bapak-ibu kandung, satu bapak-ibu tiri dan satu bapak-ibu angkat. Kini Ayala sendiri tengah mempersiapkan perceraiannya. Berarti anaknya kelak akan punya ibu tiri dan bapak tiri kalau ia dan mantan suaminya saling menikah lagi dengan orang lain. Aneh? Apa boleh buat, inilah kenyataan. Sama anehnya dengan aku yang punya kakak perempuan gila dan kakak ipar maniak seks.

Mengenai si maniak seks ini aku juga sudah bercerita pada Ayala. Ia anjurkan agar aku menusuknya dengan pisau dapur kalau berani menggerayangi tubuhku di waktu malam. Aku belum segila itu. Mungkin kalau Ayala ada di posisiku juga takkan begitu nekad.

Pernah terobsesi untuk meninggalkan saja ‘rumah gila’ itu. Tapi siapa lagi yang akan peduli dengan orangtuaku? Kecuali aku, tak ada yang berpikir bagaimana agar kesembilan kepala penghuni rumah bisa tetap makan dan hidup. Bapakku sendiri kadang dengan batuk-batuk permanennya masih menerima tawaran menjadi supir pribadi teman SD-ku dulu yang kini sudah jadi direktur. Teman itu sama sekali tak pernah menyapaku sama sekali. Tentu saja ia malu berteman dengan anak supir kendati dulu pernah duduk sekelas denganku.

Satu-satunya hiburanku adalah menghabiskan waktu bersama Ayala. Kami bukan lesbian. Perjalanan cinta kami sama-sama terpuruk kandas. Kami berdua berusaha mencari lelaki dan cinta sejati. Kalau mendapatkan keduanya tentu hidup kami sedikit lebih berarti. Jangan seperti sekarang, pekerjaan tak membanggakan, penghasilan pas-pasan dan hidup pun sudah diganduli maslah aneh-aneh.

Maka tibalah kami di setitik kebahagiaan itu. Aku bertemu Rio dan Ayala bertemu Satho. Sejak itu kami saling asyik dengan kisah masing-masing. Hanya sesekali saja bertemu untuk bercerita. Dan ketenggelaman kami itu membuat dunia jadi sedikit berbeda. Bayangan kakakku yang gila, kakak ipar maniak seks, rumah bobrok berisi sembilan kepala minta diberi makan, hilang sudah. Hanya ada warna-warni indah. Persis seperti anak usia puber dengan cinta pertama. Diiringi lagu-lagu cengeng roman picisan kami pun meneguk setitik keindahan. Puncak, vila, hotel. Gitar, tape recorder hingga video disc. Sheryl Crow, Cranberries, The Corrs pun terdengar menggantikan Led Zeppelin, Scorpion dan Deep Purple yang muram. Tanpa cocain dan morpin kami mabuk, tenggelam dalam gelora asmara.



# # #



Brak! Dan kami pun berakhir kembali di ruang penuh asap rokok. Ayala membelalakkan matanya untuk ke sekian kali. Aku sendiri harus menerima kenyataan pahit lagi. Bukan, bukan aku dan Ayala yang mendadak hamil akibat perbuatan bebas. Tapi kakaku si gila tadi kutemui muntah-muntah di kamar mandi. Dia hamil untuk kelima kalinya. Dan aku memutar otak setengah mati bagaimana caranya agar orangtuaku tidak mati berdiri karenanya.

Bukan itu sama kejutan pada pertemuan kami di kamar sewaan Ayala. Setelah beberapa waktu kami berpisah untuk saling mereguk manisnya cinta, ternyata perempaun yang beberapa tahun lebih tua itu tak kalah dengan kisah baru. Mantan suaminya yang kupikir gila tidak terima mengetahui Ayala pacaran lagi. Pagi siang mala Ayala diteror lewa telepon. Diancam mau dibunuh dan segala macam kalau terus berpacaran.

“Dia masih mencintaimu,” pendapatku.

Tanpa ekspresi, Ayala menggeleng sembari memainkan kepulan asap rokok. Entah sudah filter keberapa membakar tenggorokan dan paru-paru kami malam itu.

“Dia cuma butuh uangku. Dia takut uangku habis untuk pacaran hingga tak tersisa buat anakku,” katanya dingin dengan terus mengepulkan asap bentuk bulat-bulat. Bibirnya memonyong.

Inilah pangkal dari permasalahan hidup kami, uang. Selalu saja uang dan uang. Kalau saja kami bisa seperti Thelma and Louise atau Calamity Jane. Tapi hidup tetap hidup. Kenyataan adalah kami warga Jakarta beserta segala tetek bengeknya: kumuh, miskin dan beruntung bisa tersenyum hari ini. Sebuah kota dimana perempuan merupakan mahluk bergincu yang bisa digodai di jalan. Dan kalau berperilaku sedikit menggoda justru berarti adalah cewek tidak beres yang harus bersedia dikerjai.

Sebuah kota panas 29 derajad celcius tapi semua orang akan memandang aneh kalau kau berjalan dengan kaos lengan buntung. Yeah, ini Jakarta,bung. Bukan Denpasar atau Singapura. Jakarta yang dimana kalau bayar ongkos bis kurang seratus perak bisa membuat kondektur naik darah dan mengeluarkan kata-kata terkotor di telingamu. Dan hari itu aku berdua Ayala kembali tenggelam dalam masalah-masalah pelik kami. Seperti biasa.


Pinggiran jakarta mei 2002.

No comments: