Friday, February 12, 2010

Mesin Tik Tua yang Tutsnya Menguning...

Dulu sekali, seorang cewek abege tergila-gila menulis. Hanya bermodal mesin tik Brother milik kakek, ia mampu menghabiskan sekian rim kertas folio A4. Kala itu masih kelas 3 SMP, sudah cukup nekad mengirimkan cerbungnya ke majalah remaja Hai. Tapi apa daya berbulan-bulan penuh harap dinanti kabar baik pemuatannya, tak kunjung datang. Cewek abege yang berkhayal ingin jadi Lupus perempuan itu pun patah hati.

Baru ketika di kelas 1 SMA, ia terkejut luar biasa mendapati cerbungnya dimuat di majalah mingguan itu. Si Pion, judul cerbung itu, dipecah menjadi empat bagian. Sejak itu ia makin rajin memantul-mantulkan jemari mungilnya ke tuts mesin tik tua.

Sejak itu berlahiranlah aneka cerita serial, novelet, yang setiap hari dia ketik dan ketik dan ketik sepulang sekolah hingga malam hari. Zaman itu belum ada email, hingga cewek ABG itu malas sekali mengirimkan naskah-naskahnya karena harus ke kantor pos. Nanti saja, kalau sudah banyak sekalian akan kukirim sekaligiu, begitu ia berencana.

Rencana tinggal rencana. Kelas 2 SMA, perempuan yang mengasuhnya sejak kecil, sang nenek, menghembuskan nyawa terakhir. Si cewek tadi sedemikian dirundung duka, sebab nenek itu lah satu-satunya manusia di muka bumi ini yang mendukungnya menjadi penulis. Lain tidak ada. ia menjadi begitu kacau, melupakan semua manuskrip yang sudah diketiknya bertahun-tahun. Menganggapnya hanya tumpukan sampah. Dan merantaulah ia ke kota lain untuk melupakan semuanya.

Hari ini dia berusaha mengais-ngais satu demi satu karya lawasnya yang sempat terekam komputer. dia menemukan beberapa, dan tercengang-cengang, betapa dulu ia punya imajinasi sedemikian indahnya. Ia sedikit menyesal tak menyimpan semua manuskrip lama itu. Ia menyesal melupakan fantasinya menjadi penulis fiksi. Ia justru sudah menikung ke non fiksi, menjadi jurnalis, ghostwriter, menulis buku teknologi, membuat website sains, menulis untuk orang lain, mengedit naskah orang, dan semua bidang yang kian jauh dari jalur awalnya dulu.

Cewek abege itu adalah saya. Malam in, belasan tahun kemudian,i saya membaca satu-satu cerpen lawas saya, dan nyaris menitikkan air mata. Saya rindu mesin tik tua merk Brother yang tuts putihnya sudah menguning itu...saya rindu semua manuskrip yang pernah dihasilkannya dan kini pasti sudah membusuk dimakan usia..

1 comment:

Unknown said...

Hhmm, kadang-kadang nasib membawa ke arah lain, tapi kayaknya, nasib telah memandu bakat mbak dengan sangat baik. Buktinya? nah, semua ini...