Sunday, February 7, 2010

Menohok Keimanan Tanpa Ceramah Bawel

Semalam saya menonton Le Grande Voyage, film Perancis besutan sutradara Ismaël Ferroukhi di Metro TV. Keren pisan. Film religius yang dibalut dengan cara tidak norak, tidak bawel penuh pesan sok alim atau jual tampang cantik dan ganteng tapi cupu seperti film atau sinetron Islami Indonesia. Tidak ada wajah cantik berkerudung dan aktor tampan berbaju koko, simbol keislaman yang ditonjolkan di sinetron dan film religius kita. Ferroukhi hanya memasang segelintir aktor dengan karakter kuat.

Reda, remaja Moroko yang lahir dan besar di Perancis, mendadak ditugaskan mengantar ayahnya pergi haji. Ia tak habis pikir kenapa harus melalui jalan darat, yang tentunya sangat panjang dan melelahkan. Ia benci tugas itu, karena harus berpisah dengan kekasihnya, kehidupan kampusnya yang ceria. Dengan mobil tua, Reda mengantar ayahnya yang juga tua. Ia pun menjalankan tugas dengan berat hati, kesal, dan tentu saja bete beraaaat.

Ayah Reda rajin sholat, ortodoks, berkeras bahwa perjalanan ke tanah suci jauh lebih bagus ditempuh dengan darat, bukan udara. Kita tidak akan menemukan ceramah, dialog mendikte atau kutipan kitab suci di film ini. Namun siapapun yang menontonnya akan tertohok pada hati kecilnya yang paling dalam. Bagaimana ayah Reda tak pernah memaksa anaknya sholat, marah saat memergoki Reda berciuman dengan perempuan di hotel, atau murka ketika menyadari uang mereka dicuri oleh Mustafa, teman sok akrab di perjalanan (tapi akhirnya diberi plot lucu bahwa uang itu jatuh di bawah jok mobil).

Kita tidak menemui pesan moral eksplisit yang disampaikan oleh ceramah bawel si ayah atau teman-teman hajinya. Tidak sama sekali. Tidak ada juga wanita cantik berjilbab yang sok ceramah ajaran agama. Ferroukhi sungguh sutradara hebat. Tanpa itu semua ia mampu membuat penonton memahami hakekat Islam sesungguhnya, ibadah naik haji, dan menjadi muslim.

Adegan bagian terakhir sungguh memilukan, sebab Reda yang bengal dan sebal dengan perjalanan itu harus menemui fakta bahwa ayahnya ada di barisan jemaah haji yang meninggal. Ia hanya mampu tersungkur di depan jasad sang ayah sambil menangis tergukguk tanpa sepatah kata.

Mobil dijual, Reda kembali ke Perancis dengan pesawat terbang. Itulah akhir film yang diperankan oleh Nicolas Cazalé (Réda) dan Mohamed Majd (ayah) ini.

Tak ada kisah romantis, tak ada baju koko dan jilbab menaungi wajah cantik. Tak ada kutipan kitab suci. Tapi mencabik-cabik hakekat keimanan kita dengan sangat luar biasa. Bahkan bagi penonton yang non muslim sekalipun. Saya yakin itu.

Kapan ya sutradara kita bisa menghasilkan film sejenis? Hmm jangan salahkan sutradaranya juga sih. Mungkin memang publik kita masih perlu pesan-pesan eksplisit dan kemasan wajah cantik, dan ganteng.

No comments: