Showing posts with label My Projects. Show all posts
Showing posts with label My Projects. Show all posts

Sunday, February 7, 2010

Sekolah Gratis Online Itu Bernama Netsains.Com

Ilmu pengetahuan itu semestinya bisa diakses gratis oleh semua orang.

Knowledge based society alias masyarakat berbasis ilmu pengetahuan sudah lama diwacanakan pemerintah dan orang-orang pintar negeri ini. Entah sampai dimana usaha mereka menuju ke arah itu, saya kurang paham. Sebab daripada nyinyir menggosipkan orang lain, lebih baik kita berjuang sesuai kompetensi kita.

Bagi saya yang setiap hari melihat anak-anak kecil mengamen di jalanan, mengemis, tidur di emper toko, tidak kenal sekolah, pengangguran merokok di pinggiran jalan, menggodai atau bahkan mencopet orang lewat, merasa bahwa mereka bisa hidup layak suatu hari nanti andai saja mengenyam pendidikan. Tidak selalu pendidikan formal, sebab yah kita tahu sendiri biaya pendidikan kian hari kian tak terjangkau rakyat kecil. Iklan sekolah gratis sudah pasti hanya ada di iklan atau entah apakah itu nyata, saya belum bertemu orang yang menikmatinya. kalaupun gratis hanya SPP-nya saja, sedangkan buku, seragam dan iuran macam-macam masih belum gratis.

Lupakan saja pendidikan formal buat anak jalanan atau mereka yang memang tak suka pendidikan formal, termasuk saya. Ya, sejak dulu saya benci sekolah. Tapi saya paham bahwa ilmu pengetahuan itu wajib dimiliki semua orang.

Mengembangkan bakat untuk menjadi kompetensi yang mampu dijadikan penghasilan hidup, adalah yang utama. Memang tidak semua minat bisa dikembangkan dari pendidikan formal. Untuk bakat seperti menyanyi, menulis, belajar bahasa asing, berbisnis, dan sejenisnya, okelah bisa kita asah tanpa pendidikan formal. Tapi bagaimana dengan mereka yang berminat di bidang fisika, biologi, kimia, matematika, yang pastinya harus didalami di pendidikan formal?

Untuk itulah kenapa saya menghadirkan nyaris semua cabang ilmu di Netsains.Com. Sains memang selama ini identik dengan ilmu eksak saja, biologi, filsafat, kimia, matematika. Orang lupa bahwa bahasa, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya juga bagian dari sains. Saya ingin membuat orang sadar bahwa sains sesungguhnya tak mengenal batasan eksak dan non eksak. Sains adalah segala pengetahua yang berhubungan dengan keseharian kita, kebutuhan kita.

Sampai hari ini ada sekitar 800 tulisan di Netsains.Com, dari beragam cabang ilmu. Penulisnya adalah ilmuwan, pengajar, mahasiswa, jurnalis, pebisnis, bahkan ada yang mentri dan guru besar. Semua berupa sharing pengalaman dan ilmu yang mereka miliki, sesuai dengan kompetensi dan minatnya. Dan jumlah itu akan terus bertambah, sebab kiriman tulisan dari para kontributor terus berdatangan tanpa henti.

Semua bisa diakses gratis, kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja. Cukup pilih saja apa cabang ilmu yang jadi minatmu, kamu bisa dapatkan di Netsains.Com.


Ketika mendirikan Netsains.Com dulu, tak terbayang web ini bisa menjadi semacam sekolah atau kampus online gratis buat siapa saja. Dulu tujuan saya hanya ingin agar semua orang sudi berbagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, lalu saya iseng mengkategorikannya ke dalam cabang-cabang ilmu. Siapa duga kini sudah nyaris 1000 artikel kami bagikan secara gratis, dari para kontributor yang luar biasa dari pelosok negeri. Merekalah dosen-dosen luar biasa Netsains.Com yang hanya bisa saya beri honorarium dalam bentuk doa dan terimakasih semoga amalnya membuahkan pahala.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Hadis Nabi Muhammad itu kami pegang teguh di Netsains.Com. Kami ingin web ini bisa memintarkan semua orang, memberi ilmu pengetahuan gratis tanpa henti.

Andai Tuhan mengizinkan, saya ingin kelak Netsains.Com bisa menjadi sekolah gratis online sungguhan yang diakui. Yah, sebuah mimpi di siang bolong. Sekarang cukup puas dulu menjadi sekolah gratis di dunia maya secara informal.

Boleh dong bermimpi?

Bagaimana Saya Jatuh Cinta pada Sains

Sekitar 7 tahun lalu, sebuah SMS bertuit di ponsel Nokia sejuta umat saat saya di atas bus Metro Mini. Kira-kira bunyinya: "Mau ngisi rubrik Iptek dan Lingkungan di Sinar Harapan?". Itu dari Santi, istri Afandi, teman saya. Dalam posisi hanya sebagai penerjemah freelancer, mau dong ditawari yang berhubungan dengan menulis, di sebuah harian terkenal pula.

Sejak itulah saya kecemplung di dunia sains dan teknologi. Meliput jumpa pers Menristek, Mentri Lingkungan Hidup, peluncuran ponsel canggih terbaru, launching laptop gres, antivirus, server komputer, sampai ke pelosok kebun kapas transgenik di Sulawesi Selatan, ngintip badak kawin di pedalaman Lampung, bahkan menghadiri GSM World Forum di Cannes, Perancis, dan banyak lagi.

Awal liputan dulu, saya banyak bengong, kayak sapi ompong. Istilah teknis komputer, biologi, fisika, lingkungan, berseliweran di sana-sini, menuntut saya membuka Google dan WIkipedia sebelum berani menulis berita atau artikel feature. Kalau mewawancara ilmuwan LIPI, BPPT, BATAN dan sejenisnya, saya banyakan bingung, sebenarnya mereka ngomong apa? Untung kelamaan bisa nyambung juga.

Akhirnya jadilah saya mencintai bidang ini, sains, teknologi dan lingkungan. Ketiganya saling terkait, berhubungan dengan keseharian kita. Tantangannya adalah, bagaimana membuat sains dan teknologi bisa terus maju tanpa merusak lingkungan. Saya selalu menjadikan pemikiran itu sebagai acuan dalam menulis. Tidak ingin dicap sebagai pro pengrusakan lingkungan karena kemajuan teknologi. Sains sebagai penolong kerusakan bumi seisinya juga sering saya angkat sebagai isu utama tulisan feature saya saat itu.

Apa daya, tiga itu itu dianggap kurang menjual oleh media tempat saya bekerja. Dan akhirnya halaman khusus Sains dan Ilmu Pengetahuan dihapus total. Jelas saya patah hati!

Tak kurang akal, saya membuat Netsains.Com. Waktu itu hanya ide gila saja, ingin membuat web sains popular yang bisa menjembatani ilmuwan, pebisnis, dan pemerintah, serta publik umum. Ide ini saya bahas dengan Amir, yang saat itu masih menjadi asisten pribadi Pak Kusmayanto Kadiman, Menristek saat itu.

Lantas ada sejumlah nama terlibat dalam jatuh bangunnya ide ini. Sony AK, Syariful Anwar alias Kecoak, Mas Romi Satria Wahono, I Made Wiryana, Muhamad Sutiyadi, Bona Simanjuntak, Moses Kurniawan. Netsains.Com mengalami pasang surut, pergantian personil, desain, program. Akhirnya Soetrisno dan Didik Wicaksono datang membantu saya, sampai hari ini. Dua teman yang memahami passion saya, dan semoga bisa awet dalam kerjasama ini.

Semua yang berhubungan dengan Netsains.Com dikerjakan secara volunteer, bermodalkan semangat dan dukungan dari teman-teman. Pak Kusmayanto alias KK, Menristek ketika itu, sangat membantu dengan mempromosikan Netsains.Com ke banyak pihak. Lantas bermunculanlah nama-nama kontributor seperti Hosea Saputro Handoyo, Arli Aditya Parikesit, Ilma Pratidina, Dewi Retno Siregar, bahkan Kang Onno W Purbo!

Waktu berlalu, jumlah kontributor makin banyak. Hits dan trafik web kami kian menanjak. Puncak prestasinya adalah ketika menjadi wakil Indonesia ke World Summit Award 2009 kategori E-Science. Walau akhirnya tidak menang, kami tetap bangga.

Kini Netsains juga punya rubrik TANYA DOKTER, konsultasi kesehatan gratis yang diasuk Dr. Dito Anurogo dan Dr Muchlis Achsan Udji Sofro. Iklan terus ramai, walau hanya bisa membiayai operasional web saja. Setidaknya biaya server dan hosting mulai tertutupi.

Secara materi, saya memang tidak mendapat apapun dari Netsains.Com. Namun saya jadi kenal dengan banyak ilmuwan Indonesia yang luar biasa. Haryo Sumowidagdo, Hosea Saputra Handoyo sendiri, Merlyna Lim, Roby Muhamad, Gea O Parikesit, Arli Aditya Parikesit, Hawis Madupa, Terry Mart, Rovicky Dwi Putrohari, dan pastinya banyak lagi nama lain yang tak mungkin saya sebut satu-satu di sini. Dari mereka saya belajar banyak hal, dan untungnya juga bisa ngobrol dengan asyik walau pendidikan saya tak sehebat mereka.

Tidak hanya orang-orang besar, saya juga bersua sejumlah teman-teman yang walau bukan ilmuwan tapi juga punya pengetahuan luar biasa, seperti Jaki Umam, Ferdy Sandika Tri Setya, Fajar Ramadhitya Putera, dan banyak lagi.

Tantangan saat ini adalah bagaimana agar semua ilmuwan dan sumber daya manusia berpotensi Indonesia bisa membantu bangsa kita bangkit dari keterpurukannya. So far saya baru bisa melakukan publikasi opini dan sharing pengalaman mereka, meng-update berita sains dan teknologi dari luar, mengadakan acara kecil-kecilan buat saling memperkenalkan mereka satu sama lain, berbagi info beasiswa, juga menulis buku-buku dengan tema sains populer. Baru itu yang bisa saya lakukan. Belum berarti banyak memang.

Kira-kira itulah latar belakang kenapa saya mencintai dunia sains, dan menjadi penulis sains, walaupun saya bukan saintis.
Semoga kalian memahaminya. Atau mungkin kalian ingin membantu saya dalam proyek idealis ini?

PS: Oh ya, saya sudah tidak di Sinar Harapan lagi sejak 2 tahun silam. Tapi Netsains.com tetap berjalan. Berkat Sinar Harapan juga saya jadi jatuh cinta pada dunia sains, walau halaman sains sudah dihapus dari koran itu. Thanks buat Mas Adiseno, Sulung, dan Santi, rekan2 saya sesama penulis sains di sana dulu.

Cerpen tahun 2002: The Punk Couple

Wow, cerpen ini umurnya sudah 7 tahun! Ya, cerpen bergaya punk ini kutulis tahun 2002, saat aku belum kenal Rosa Liksom, cerpenis punk asal Finlandia. Tapi setelah aku mengenalnya beberapa waktu kemudian, kutemui kami memiliki banyak kesamaan gaya.

Waktu menulisnya dulu, aku berusaha memberi kejutan di akhir cerita. Entah sukses atau tidak. Di cerpen yang belum pernah terpublikasikan di media manapun ini, kuharap kejutan itu bisa sedikit mengejutkan pembaca. Nah, tolong komentari ya apakah kalian terkejut dengan bagian akhirnya. ****


The Punk Couple

Merry Magdalena


Dari jauh sudah kukenali kepala botak mengkilap Si Rix. Diterpa sinar matahari berkilatan mirip lampu bohlam kuning menyala. Matanya menyipit menahan terik matahari. Ia berjalan gontai dengan tubuh begengnya. Dan ia bangga betul. Tidak jarang ia menahan lapar untuk menjaga kekerempengan tubuhnya.

“Anax punk gax pantez gemux,” argumennya dalam bahasa kami.

Ada Inggris British dan Inggris Amrik. Kamu pun menciptakan Indonesia British. Maksudnya, bahasa Indonesia yang dibuat aksen Bristish. Kami memakainya saat ngobrol antara kami saja. Kelamaan jadi terbiasa dan kami gunakan pula ketika ngobrol dengan orang di luar kami.

Aku sendiri tengah meratapi cat rambut unguku yang mulai luntur. Beli lagi berarti uang lagi. Tapi Onix punya formula jitu membuat cat minyak jadi cat rambut awet lagi aman. Entah bahan kimia apa ditambahkannya pada cat minyak agar bisa jadi enak jatuh di rambut. Ia sudah buktikan dengan memakaikan sendiri cat minyak warna hijau ke rambut landaknya.

“Boleh zuga,” komentarku.
“Cobha saza. Zamin gax nyesals, dech!”

Sore itu kami kumpul di Loronkz Punx, sebuah lorong kecil diapit dua gedung megah. Lorong yang menjadi ‘jalan cacing’ bagi penduduk daerah situ. Lorong dimana ada penjual majalah, CD bajakan hingga berbagai aksesoris. Lorong tempat anak punk kumpul tanpa diganggu pandangan mata aneh.

Rix ternyata bawa Psichedelic, majalah punk Eropa yang entah ia dapat darimana. Biasanya sih hasil meng-hacker*. Kami langsung mengerumuninya seperti semut melihat gula. Teman kami lain yang semula asyik menjajal-jajal CD bajakan ikut membanjiri Psichedelic .

* * *

Aku tahu kalau usiaku tidak lagi bisa dibilang muda. Maka tidak heran kalau ibuku terus bercuap-cuap sepanjang aku berada di rumah. Ia mengeluh soal rambut pink-ku yang belum lama kucat lagi jadi ungu. Belum lagi kicauan tetangga nyinyir usil soal teman-teman dan pergaulanku. Untung aku bekerja di sebuah perusahaan iklan yang membebaskan karyawan berbusana aneh-aneh selagi masih dinilai sopan. Jadilah aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengenakan jeans rombeng . Tapi anting di hidung dan jaket kulitku diizinkan. Thanks God!

Kicauan ibu bukan sebatas cara dandan dan teman-temanku, namun merembet ke soal perjodohan dan pernikahan. Huek. Mau muntah aku mendengarnya. Katanya aku ini perawan tua salah gaul dalam dandanan orang stress . Gila betul ibuku, tega nian mengataiku demikian keji. Dia tidak tahu bahwa obsesiku untuk sebesar Patty Smith** dan Cyndi Lauper belum kesampaian sejak dulu. Dia tidak paham bahwa aku serasa hidup di dekade 1970-an di kawasan kumuh Amrik kalau sudah kumpul dengan teman-teman di Loronkz Punx. Aku jadi lupa kalau hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis sumpek yang tak pernah menghargai puisi.

Di lorong itu pula aku bertemu teman-teman sealiran , seidealisme. Bisa diajak ngomong panjang lebar tentang Iggy Pop***, David Bowie, Andi Warhol, Basquiat**** sampai dengan kisah kasih Sid dan Nancy. Kami sempat punya band bernama ‘The Punxters’ yang kini tak pernah manggung lagi karena kesibukan kerja.

“Kamu sedangs apa, Nox,” suara Dex mengagetkanku. Malam minggu ini seperti biasa kami habiskan keliling kota berdua saja. Kami akan jalan-jalan atau sekedar nongrong hingga kelelahan dan berakhir di sebuah hotel murahan langganan kami.
Kupandangi wajah tirus Dex, lelakkiku dalam dua tahun belakangan ini. Sepintas ia mirip Sid Vicious*****. Karena itu juga mungkin aku dulu suka dia. Tapi aku sama sekali tak berminat punya kisah kasih mirip Nancy.
Ia mengepulkan asap rokok ke arahku, pertanda meminta jawaban segera. Aku terhenyak tak tahu harus bicara apa. Dex bukan tipe lelaki yang ingin cepat menikah. Aku hanya ingin bilang bahwa ibuku mengataiku perawan tua. Padahal sama sekali aku sudah tidak perawan, hahaha!

“Tidak apa-apa. Zuma melamun aza. Zampai kapan zinta kita terealisasi zebatas kamar hotel ini, ?”
Aku sendiri kaget dengan kelancaran kata-kata itu. Dex tidak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat
.
“Kau kira zinta kita zuma zebatas kamar ini? Crazy!”

Lelaki kerempeng itu seperti kebakaran jenggot. Ada kemarahan di wajahnya.
Aku coba tidak peduli. Terus saja mengelagut sendiri. Aku tidak mau menyebut satu kata yang dibencinya, pernikahan.

“Aku tetap zinta kamu walau tidax dalam kamar hotel ini, Nox. Camkans itu!”

Aku paham betul maksudnya. Bahwa ia mencintaiku bukan cuma untuk bergelut di atas ranjang. Namun ia seolah tak mau mengerti bahwa sebagai perempuan aku juga butuh status jelas selain sebagai pacar yang bisa diajak tidur di hotel murahan setiap birahi memuncak.

Dex punya enam bersaudara dari bapak dan ibu berbeda-beda. Bapaknya kawin dua kali, begitu juga ibunya. Kemauakannya terhadap institusi pernikahan muncul dan berkembang sejak ia menjelang pubertas. Dalam usia semuda itu ia sudah menyaksikan ratusan bahkan ribuan kali pertengkaran dua bapak dan dua ibunya. Ada semacam dorongan kuat di batin Dex untuk tidak menciptakan sebuah keluarga. Adalah dosa membentuk sebuah keluarga besar tanpa setitik kebahagiaan.

Di awal hubungan kami dua tahun lalu ia sudah utarakan itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menikah. Hari-hari pacaran kami bisa diisi dengan mendengar musik, baca buku, nonton film atau bercinta. Tapi tidak untuk membicarakan rencana pernikahan. Dan kenyataan itu baru mengusikku belakangan hari ini.

* * *
Sore menjelang malam minggu. Musik berdentam keras dari dalam kamar. Suara Nena Hagen menjerit-jerit seperti tikus terjepit pintu. Aku suka. Perempuan Jerman anti kemapanan dan meneriakan revolusi melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, malam ini aku janji dengan Dex untuk jalan-jalan keliling kota. Puncak, tujuan kami malam ini untuk double date dengan Onix dan pacar barunya. Paling-paling sewa vila bersama. Menyenangkan, daripada di hotel murahan biasa.
Aku sibuk berdandan memantas-mantaskan baju apa yang harus kukenakan nanti. Jaket kulit kesayanganku sedang dicuci. Apa boleh buat, terpaksa dengan jaket jeans belel yang ditambal emblem berbagai merek baju ternama. Itu juga kesayanganku. Sebab untuk mendapatkan emblem merek topnya aku dan teman-teman sempat mengutil, merobeki koleksi baju di butik dan plaza elit. Taruhannya tentu saja nama baik dan kebebasan. Dan kami taruhan itu kami menangkan!

Aku masih melenggak-lenggokkan pinggul mengikuti gaya Nina Hagen di depan cermin. Sebelum tiba-tiba kulihat ada kerut di kedua ujung mataku. Setengah mati kututupi dengan bedak dan eye shadow tapi tak bisa. Serta merta ketika kuperiksa akar rambutku yang tertutup cat rambut, terlihat warna putih di sana. Kucoba untuk tetap tersenyum.

Suara klakson mobil Dex terdengar berkali-kali. Aku harus bergegas, namun pinggang ini mendadak sakit. Oh, rematik-ku kumat lagi! Memang di usia setua ini aku harus kurangi keluar malam terlalu sering. Ketika berjalan keluar, kuraih kado ulang tahun untuk Dex tersayang. Hari ini tepat ulang tahunnya yang ke 45 dan aku 43.

Jakarta, 2002

Catatan Kopdar Mini Netsains.Com

"Gue bingung, Jakarta kok isinya mall semua ya. Terus, apartemen segitu banyak, apa ada yang beli?". Tanya itu dilontarkan Hosea, temanku yang masih menderita jetlag karena baru mendarat dari Skotlandia.Ini temu keduaku dengan lajang belia di awal usia 20-an, namun sudah siap mengantongi gelar PhD bidang lifescience. Ya, ini kali kedua dia ke Jakarta setelah sekian lama di negeri empat musim, melompat-lompat dari Belanda, Inggris, Skotlandia.

Jadi jangan heran kalau Hoho, begitu sapaan akrabku ke dia, sedikit shock menyaksikan betapa crowded dan kontroversinya kondisi di Jakarta. Ya, di Eropa dia terbiasa dengan jalanan lengang, suasana kafe yang tenang, dan kondisi perkotaan yang kalem, tidak hingar bingar dengan mall dan apartemen yang masih berupa proyek full dengan kebisingan deru traktor.

"Tenang aja Ho, apartemen megah dibangun di sana-sini, tapi sekolah ambruk juga banyak," sahutku dengan gaya sarkastis untuk menggambarkan sekilas keadaan negara kita tercinta. Memang fakta kan, mall-mall dan apartemen serta perumahan mewah gencar dibangung, sementara di sisi lain sekolah ambruk dan gelandangan tidak kalah maraknya.

Hosea adalah sosok generasi muda dengan otak cemerlang, mewakili generasi Indonesia masa kini yang berpikiran kritis, progresif, memandang segala masalah dari beragam pendekatan, bukan satu dimensi saja seperti kebanyakan generasi terdahulu. Maka ngga heran saya nyambung banget ngobrol sama dia walau usia kami terpaut lumayan jauh, latar belakang pendidikan berbeda, karakter pun tak bisa dibilang sama. Benang merah yang mempersatukan kami adalah keyakinan bahwa kami mampu mengubah Indonesia dengan bidang kami masing-masing. Saya mengenal Hosea gara-gara Netsains.Com, dimana dulu lelaki yang aktif di banyak organisasi sains Eropa ini banyak mengirim tulisan untuk kami.

Jaki Umam berbeda lagi. Di tengah mini kopdar Netsains.Com di Citos kemarin sore, ia lebih banyak diam. Saya paham, dengan kondisi keluarga dan lingkungan yang sangat kontradiksi dengan Hosea, Jaki pasti agak mati gaya. Di keseharian, Jaki adalah pekerja keras yang juga kuliah. Ia meminati sains fisika, suka menulis, mengutak-ngatik teori quantum sampai filsafat.

Yang patut diacungi jempol dari Jaki adalah ketekunannya meraih pendidikan tinggi. Walau berasal dari keluarga dengan ekonomi sangat sederhana, cita-citanya untuk sekolah sampai S3 tak pernah padam. Dia sangat rajin menulis mengenai seluk beluk fisika dan filsafat. Saya yang membaca dan memuatnya ke Netsains.Com sampai ternganga-nganga, bagaimana mungkin tulisan itu ditulis oleh seseorang yang mengaku berasal dari keluarga sederhana?

Berkat kegigihannya menulis itu juga, Jaki mendapatkan sponsor kuliah, memberi laptop, bahkan sponsor itu berkomitmen membiayai kuliahnya sampai S3.

"Saya memamerkan tulisan-tulisan saya di Netsains ke dia, dan dia terkesan, sampai memberi saya laptop," ujar Jaki dengan dengan kepolosannya.

Didik, rekan saya programmer web berseloroh, "Nah, itu satu alasan kenapa Netsains harus jalan terus."

Oh ya, Didik adalah admin dan desainer Netsains.com yang dengan sabar dan baik hati membantu saya mengelola web sains popular ini sejak nyaris dua tahun lalu. Usianya juga masih belia, di awal 20-an, namun profesionalitas kerjanya jangan ditanya.

Sebelum Didik ada Syariful Anwar alias Kecoak yang sempat membantu awal-awal dirintisnya Netsains.Com ini. Walau akhirnya kini ia tenggelam dalam kesibukannya, Kecoak tak pernah henti menyemangati saya menjalankan Netsains.

Mereka inilah Netsainers yang hadir di kopdar mini kami. Hosea yang baru mudik ke Indonesia banyak sharing mengenai bagaimana pelajar-pelajar Indonesia di Eropa saja aktif mengadakan kegiatan yang isinya membahas isu politik Indonesia, bagaimana agar mereka bisa membantu generasi muda Indonesia yang terpuruk. Intinya adalah, para pemudia kita di negeri rantau sana ternyata masih memiliki nasionalisme luar biasa.

"Kita bisa saja mengkompilasi semua info tentang kesempatan beasiswa di luar negeri, dalam bentuh PDF dan dijadikan ebook, lantas diupload ke Netsains," ujar Hosea.

Ya, sebuah ide cemerlang! Mungkin ebook itu bisa dijual dengan harga murah, misalnya sekali download cukup Rp.5000 saja, dan diupdate secara berkala. Didik dan saya menyambut ide itu dengan antusias.

Jaki yang baru mengenyam D3 jadi sangat ngiler dengan sepak terjang Hosea yang sudah melanglangbuana menuntut ilmu. "Apa saya juga bisa punya kesempatan?"

Oh tentu bisa, Jaki! Hosea dan saya menyemangatinya untuk belajar bahasa Inggris lebih tekun lagi, sebab kini syarat skor TOEFL bagi pelajar yang ingin ke luar negeri sudah terus merayap tinggi. "Inggris mensyaratkan minimal skor TOEFL 600," ujar Hosea. Jika bahasa Inggris sudah cas cis cus dan ketekunan belajar cukup keras, maka tak ada yang tak mungkin untuk bisa mendapatkan beasiswa ke luar sampai S3 sekalipun!

Jaki makin berseri-seri ketika Hosea janji akan memberinya info lebih banyak mengenai beasiswa ke luar negeri. Ayo Jaki, kamu pasti bisa jadi fisikawan unggul seperti harapanmu selama ini! Tak peduli kamu mengaku sebagai anak desa atau apapun itu!

Kopdar kemarin memang terkesan dadakan dan tanpa rencana panjang. Hanya ide dadakan karena Hosea ingin bersua dengan sesama Netsainers saja. Maka banyak Netsainers yang berhalangan hadir. Apa lagi banyak Netsainers yang tinggal di luar Jakarta dan tentu saja luar negeri.

Saya yakin, di luar sana banyak sekali Jaki-Jaki lain, generasi muda kita dengan otak brilian, semangat meraih cita-cita, namun sayangnya tidak mendapatkan akses pendidikan layak. Atau kurang didukung keluarga dan lingkungan. Banyak orang Indonesia yang berasal dari kalangan ekonomi pas-pasan beranggapan bahwa mereka ditakdirkan hidup sederhana saja, tak perlu bermimpi muluk sekolah tinggi atau bahkan menjadi ilmuwan unggul.

Come on, Jaki sudah bisa membuktikan bahwa cita-cita yang dikejar dengan kerja keras pasti akan mendapatkan jalannya. Dan dia sudah ada di jalan itu kini.

Di luar sana juga banyak Hosea-Hosea lain, generasi muda yang beruntung didukung keluarga dan lingkungan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan mereka sudah bisa berlaga di kancah internasional, membawa harun nama Indonesia. Membuktikan pada dunia bahwa Indonesia juga penuh dengan manusia brilian. Kepada Hosea-Hosea inilah generasi muda Indonesia yang masih terpuruk menggantungkan harapan agar mereka mau berbagi ilmu, pengalaman, link, network, demi mencapai cita-cita mulia mereka.

Oh kenapa saya jadi bertingkah kayak Mendiknas kesiangan yang ngga kepilih akibat ngga ada lobi ke presiden dan ngga gablek gelar profesor begini?

Hmm jujur saja, dalam hati kecil saya, saya masih percaya bahwa Indonesia bisa menjadi lebih baik, andai saja komunitas yang saling tolong menolong seperti Netsains.com ini bisa makin kuat.

Buat Netsainers lain yang kemarin tidak bisa hadir, semoga di lain waktu kita bisa bersua ya. Kontribusi kalian mengirim tulisan atau sekadar rajin mengkliknya saja sangat berguna bagi generasi muda Indonesia yang haus ilmu.

Ayo generasi muda, jangan tiru teladan buruk para generasi tua kita yang hobi korupsi, berebut kekuasaan dan bermain politik busuk. Kita bisa kok membuat Indonesia lebih baik!

Just Another Teaser "Petualangan John & Kund"

Nukilan draft novel yang di bawah ini akan saya ubah menjadi skrip komik. Ichan tadi baru mengirim raw sketch karakter utamanya. Total ada 4, tapi saya grab 2 dulu. Nanti saya akan deskripsikan karakter mereka satu-satu setelah sket final karakter jadi.

Biar penasaran, ini kutipan salah 1 bab novelnya. One again I tell you, this story will be release as a graphic novel. Kalau ada yang berminat memfilmkannya, silakan hubungi saya (PEDE BERAAAAAAATTTtttttt). Wakakakakak!

***

Johnkecops tak sabar memikirkan bagaimana rupa laki-laki aneh yang selama ini hanya dijumpa di dunia maya. Kunderemp Narkaulepsy. Satu-satunya manusia yang ia tahu juga mengalami nasib sama persis dengannya. Entah apakah ada yang lain lagi di luar sana. Suasana kafe itu lengang, sebab ini jam kerja. Hanya dia dan sejumlah pengangguran saja yang berkeliaran ngga jelas jam 10 pagi gini. Musik jazz ngga jelas mengiringi tenggakan kopinya.

Dan muncullah sosok cowok, melangkah menggayut ala demonstran kecapean. Mata tajam mereka beradu, langsung saling mengenali.

“Kund?”
“John?”
Lalu bersalaman erat.

“Udah lama John? Sori, mobil butut gue mogok. Maklum, warisan bokap,” Kund yang berkemeja flanel merangsek di sebelah John.

“Santai aja, Kund. Kita bisa balapan mobil butut kapan-kapan,” John memberi kode pada waiter untuk membuatkan minuman buat Kund.

“Jadi gimana, mulai ada memori-memori aneh berkelebatan di kepalamu?” Kund langsung ke pokok persoalan.

“Bikin aku gila! Masak setiap satu jam sekali muncul memori aneh yang menyiratkan bahwa kita ini adalah utusan seseorang bernama The Boss. Kita agen mereka. Untung bukan agen iklan sekalian!” Johnkecops juga langsung ke pelampiasan emosinya.

Sejak mendaratkan kaki ke rumahnya di kota Dodolipet, keduanya sama-sama menerima kembali email aneh yang secara otomatis menginstal sejumlah program tak kalah aneh ke komputer mereka. Setelah membaca secara acak pesan-pesan email tersebut, John dan Kund juga mengalami lamunan super aneh yang secara kontinyu menganggu mereka setiap satu jam sekali kecuali sedang tidur.

Memori itu seolah membawa mereka ke suatu masa dimana sekitar mereka adalah laboratorium serba canggih, dengan dua orang tokoh utama yang bergaya ala bos belum jadi. Dandanannya sangat meragukan bahwa mereka orang sukses, tapi apa boleh buat, harus diakui mereka lah pemilik gedung megah beserta laboratorium tersebut.

“Yang cewek kalo ngomong ngga pernah ngeliat ke mata kita kan?” Kunderemp menggambakan sosok salah satunya.

“Bener banget. Yang cowok kerempeng, pucet, rambut kucai, mata kayak abis begadang seminggu,” sahut John.

“Mereka ngaku sebagai bos kita, mengirim kita dari masa depan ke masa kini dengan misi utama memperbaiki negara. Sungguh dodol!” Kunderemp menyeruput kopinya.

“Ya, dan sudah satu bulan ini kita ngga nemu penjelasan logisnya. Apa kita percaya saja sama ocehan mereka? Atau mau kita cuekin aja, menjalani hidup normal, ikutin kemauan ortu buat cari kerja, cari pacar, kawin, dan punya anak,” John mulai bimbang.

“Weks, itu terlalu membosankan, Bung John!” Kund menepuk bahu John. “Oke, katakanlah ini ulah iseng sejumlah oknum jahil yang mau mengerjai kita. Apa untungnya buat mereka, sih? Dan apa ruginya bagi kita kalau mengikutinya? Ini petualangan yang asyik, kan?”

John terdiam. Sudah sebulan ini dia terombang-ambing antara mengikuti naluri pertualangannya atau menjalani hidup selayaknya manusia kebanyakan. Sebulan ini juga ibunya nyap-nyap mengeluhkan kebiasaannya mengurung diri di kamar, tepekur di depan komputer nyaris 23 jam sehari. Saat makan pun ia melamun. Tidur mengigau. Mirip orang sakit demam tinggi.

Mimpi-mimpinya selalu berputar-putar di hal serupa: ia adalah agen dari masa depan dengan suatu misi khusus maha penting. Ia harus mengikuti semua instruksi yang dikirim melalui email, SMS, situs gaul, atau bahkan memori yang datang mendadak, berkelebatan mengganggu jalan pikirannya. Ia merasa mendadak jadi paranormal, mampu melihat ke masa depan, berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak berwujud nyata di keseharian. Sekuat tenaga ia berjuang mengusir semua memori itu, tapi tak pernah sukses. Email-email juga terus memborbardir.

Belum lagi program tak dikenal yang tahu-tahu sudah terinstal di komputer rumah dan laptopnya. Program itu isinya sebuah instruksi, muncul begitu saja setiap kali komputer dinyalakan. Begitu teraktivasi, program serupa langsung terkoneksi ke ponselnya. Ada semacam panel-panel mirip kalender yang jika diklik menampilkan instruksi lanjutan. John tidak pernah mengikuti semua intsruksi itu. Lebih tepatnya, belum.

Kunderemp mengeluarkan ponselnya. Ia membuka program aneh tersebut.

“Aku sudah membuka semua panel-panel itu. Intinya, kita akan dikirim ke waktu tertentu yang ada di tanggal panel itu, lalu mengikuti semua petunjuknya. Kita akan ke tahun 1980, dimana terjadi perjanjian kerjasama antara presiden kita dengan negara Kanoa, yaitu penjualan tambang gas. Transaksi itu sangat merugikan negara kita, sebab tambang dijual dengan harga sangat murah, padahal saat ini, 25 tahun kemudian, gas menjadi sumber energi langka dan mahal sekali. Negara kita rugi sekitar 500 triliun dolar!” Kunderemp menyerocos.

“Ooo kamu sudah menggeratak sejauh itu?” John agak terkejut.

“Ya, ponsel kita ini sudah terprogram dengan ..hmmmmm mesin waktu. Kalau ngga salah sebut namanya aplikasi ExiteR. Hmm ya, ya, benar itu namanya,” Kund mencermati fitur di ponselnya.

John ikutan mengoprek ponselnya. Keduanya larut dalam obrolan aneh yang sama sekali tak dimengerti oleh orang yang mencoba mengupingnya.

Setelah dua jam lebih mereka mengoprek-oprek ponsel, akhirnya keduanya mencapai kata sepakat, kemudian bersalaman erat sekali.

“Oke, petualangan segera dimulai!” John memantapkan diri.

“Ngga jadi cari kerja, cari pacar, lalu kawin dan punya anak?” Kund menggoda.

“Itu bisa kapan-kapan. Dengan ExiteR, kita bisa kawin 100 kali dan punya 200 anak!”

Novel yang Aneh, Chapter "Sistem Pencaplokan Hak Milik"

Masih ingat petualangan Johnkecops Kleinsteuber dan Kunderemp Narkaulepsy dalam Novel yang Aneh? Kalau lupa tidak apa, sebab memang sudah terlalu lama saya tidak memberi teasernya. Berikut adalah petikan salah satu chapter-nya, sebuah pesan yang ditulis Bluepisceslady untuk John dan Kund sebelum dikirim ke tahun 2000, dimana tren kartu kredit mulai mewabah di kalangan generasi muda Republik Endonez.

Sistem pencaplokan kepemilikan manusia oleh manusia lain sudah berjalan di tataran negara atas negara. Negara yang peradabannya tertinggal atau pernah maju namun mendadak mogok dan akhirnya tergilas negara lain seperti Endoneez, seluruh kekayaannya akan dicaplok oleh negara lain. Secara kronologis, pencaplokan itu terjadi pada:

*Sumber daya alam
Sudah terjadi sejak bangsa maju menjajah bangsa tertinggal. Rempah-rempah, semua tanaman, buah, bunga, fauna, dikeruk, dipelajari, dibudidayakan di negara pendatang, sementara negara terjajah mangguk-mangguk.

*Sumber daya manusia
Tenaga bangsa terjajah diborong dengan gratis, dibawa ke negara penjajah, dijadikan budak-budak, dimanfaatkan peluh keringatnya untuk kerja kasar di sana.

*Sumber energi dan mineral
Eh, negara maju sadar bahwa negara terjajah kaya energi, mineral, emas, berlian, yang tak sanggup diolah oleh warganya. Didirikanlah tambang-tambang, dimana bangsa terjajah menjadi kulinya, bangsa penjajah menjadi bosnya.

*Sumber daya intelektual
Di antara pribumi bangsa terjajah ada juga yang pintar, lho. Bangsa penjajah tahu betul, lantas diboyonglah mereka ke negaranya, diberi pendidikan dan gelar hebat. Tapi dengan catatan, mereka harus mengerjakan proyek-proyek untuk bangsa maju.

*Sumber daya materi
Bangsa maju tahu betul mental bangsa terjajah itu norak. Dijuallah gadget-gadget hebat, produk mentereng, agar mereka rela berbuat apa saja demi memilikinya. Bangsa maju senang produknya laku, uang mengalir deras. Sementara bangsa terjajah senang-senang saja uangnya habis demi bisa memakai produk si bangsa maju.

*Sumber daya kreativitas
Bangsa yang kere itu kadang cukup kreatif juga, hanya sayang terlalu bodoh untuk bisa mengembangkan kreativitasnya. Maka bangsa maju memodali mereka, membayari semuanya, tapi dengan catatan kreativitas itu harus menguntungkan bangsa maju a.k.a sang investor. Kreativitas pun disetir habis-habisan menuruti sang bos pemilik uang.

*Sumber daya budaya dan seni
Bangsa yang miskin secara ekonomi itu ternyata kaya akan seni budaya yang tak dimiliki bangsa maju. Maka dicaplok juga lah seni dan budaya itu, diberi label paten oleh sang bangsa maju. Bangsa terjajah tak sanggup berbuat apa-apa karena hutangnya pada bangsa maju beserta agen-agennya sudah segudang.

*Sumber daya hak milik
Akhirnya karena bangsa kere tadi sudah sangat kecanduan semua produk luar negeri, maka diciptakanlah sistem kredit dengan uang plastik bernama kartu kredit. Semua produk keren dari bangsa maju bisa didapat secara kredit. Setiap gesekkan kartu, tanpa disadari oleh pemiliknya, adalah semacam “penggadaian” hak kepemilikannya terhadap semua materi yang ia punya.

Nah, poin terakhir ini adalah yang paling berbahaya dan sudah menjadi kenyataan di masa depan bahwa kartu kredit membuat manusia kehilangan semua hak miliknya, termasuk baju yang menempel di dirinya. Dan mereka tidak sadari itu.

Hutang telah dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu yang glamour, mewah, indah, nyaman, hebat, keren, elit. Penghutang akan dininabobokan oleh segudang promosi menawan hati. Setelah jumlah mereka kian bertambah banyak, atau bahkan seluruh warga dunia bangsa terjajah terjerat hutang, maka sistem itu kian mencengkeram mereka. Ada satu klausul yang tak mereka sadari, bahwa jika mereka tidak mampu membayar tagihan dalam tempo tertentu, maka seluruh hak miliknya akan diambil alih bank. Ah, bank hanya salah satu perpanjangan tangan dari sistem tersebut. Dan sistem ini berjalan tidak hanya di tataran individu, melainkan juga tataran negara. Negara-negara terjajah tadi, mau tak mau akan mengikuti sistem yang ada, sebab mereka tak sanggup menciptakan sistem sendiri akibat ketidakberdayaan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan banyak lagi. Negara terjajah akan terus terlilit hutang, demikian pula warganya yang tiada henti menggesek uang plastiknya secara bangga.

Dalam tempo kurang dari satu abad, semua negara miskin sudah dimiliki negara kaya sepenuhnya. Di bawah satu pemerintahan adi daya. Tak ada lagi Republik Endonez, sebab dia hanya menjadi salah satu koloni negara kaya. Semua warganya telah ditanami chip pada otaknya, dikendalikan serupa robot. Apakah kalian mau itu terjadi? Tugas kalianlah menyadarkan agar warga Endonez tidak terbius oleh tipu daya uang plastik bernama kartu kredit itu!


“Ah tapi apa gunanya mencegah sistem itu berjalan di tataran individu jika di tataran negara sudah berjalan sistem yang lebih kuat?” Johnkecops bertanya.

Nah, jawabannya hanya ada di versi final Novel yang Aneh. Sebuah novel semi grafis dimana nama-nama tokohnya sungguhan ada di sekitar kita, sehingga kita merasa mereka sangat nyata. Sebuah cara indah menertawakan kegilaan bangsa kita. Doakan saja agar cepat selesai, sebab imajinasi dan waktu luang saya tak pernah bisa diajak kompromi belakangan ini.

Novel yang Aneh–Sub Chapter Idiotisasi Melalui TV

Ini adalah salah satu partikel Novel yang Aneh, Chapter tentang Republik Endonez. Tidak ada tokoh yang disebutkan di chapter ini sebab memang hanya deskripsi mengenai Endonez, negara tempat Johnkecops Kleinsteuber dan Kunderemp Narkaulepsy dikirim ke masa lalu dengan mesin waktu, untuk meralat sejumlah kesalahan yang diperbuat petinggi-petingginya. Pada situasi dunia yang full konspirasi, hanya ada satu solusi: mesin waktu.

* * * *

“Bunuhkan TV. Benda itu sudah bikin otak buntu. Isinya hanya selebritas yang tak peduli perut pemirsanya merintih minta diisi atau uang SPP anak belum dibayar. Lebih kejam lagi, mereka menyanyi tentang sekolah gratis yang tak pernah ada di kampung kami,” keluhan warga miskin Republik Endonez.

Kalau sadar benda itu sudah mengidiotkan rakyat, kenapa diizinkan? Ya jelaslah, sebab TV hanya media program idiotisasi rakyat jelata, hasil kolaborasi pemerintah dan pemilik modal yang ingin mereka terus berjaya sepanjang masa.

Jadi apa tujuan dari TV?

1. Meninabobokan rakyat dengan aneka video klip berisi penyanyi dan groups musik idola mereka beserta lagu menyek-menyek plus penari jungkir balik yang udelnya kemana-mana. Syukur kalau ada yang tanktopnya melorot atau branya putus, kan amal.

2. Merayu rakyat agar membeli produk-produk canggih walau faktanya tak secanggih yang dijanjikan, agar pemilik modal untung terus dagangannya laku. “Mau putih dan cantik? Oleskan saja krim cap Bidadari Kentut di sekujur tubuh Anda setiap pagi, siang, sore, malam, tengah malam, subuh, kalau perlu ngga usah tidur dan kerja, oles-oles krim terus biar cepat habis dan beli lagi.”

3. Memberi mimpi-mimpi basi tentang sekolah gratis, program pemerintah nan canggih dan selangit, tentang masa Republik Endonez yang cerah ceria, agar rakyat tak henti berharap dan berfantasi hidup mereka akan lebih baik dari hari ini tanpa usaha apapun, cukup bengong di depan TV. “Sekolah gratis ada dimana-manaaaaaaaa.........mau jadi presiden? Mau tak? Gampang! Sekolah kan gratis kalau pemiliknya nenek moyang elo.”

4. Menghibur rakyat dengan infotainmen soal artis kawin cerai, selingkuh, KDRT, narkoba, rebutan warisan, agar rakyat merasa hidup mereka lebih bahagia daripada para artis yang kemana-mana naik BMW dan Mercy, Blackberry berceceran dimana-mana, berlian membungkus tubuh, tas Prada dijadikan tas bungkus pampers, dan sejenisnya.

5. Menghipnotis rakyat dengan sinetron striping penuh wajah kinclong, full make up di tempat tidur, adegan tampar menampar, sofa Da Vinci, Blackberry dibawa ke kamar mandi (saking kayanya dan stok dimana-mana), sepatu Manolo buat ke pasar induk beli tempe bongkrek, hantu cantik bergaun Versace, berakhir dengan plot rintihan anak tiri. Tiada habisnya sampai mata pecandu sinetron rabun ayam.

6. Mencandui rakyat dengan reality show berskenario full adegan penguntitan suami/istri/pacar/tunangan/selingkuhan yang ke hotel kelas melati lalu dilabrak, digebuki, menangis, merintih, serta pembawa acara berceramah singkat tentang moralitas kehidupan. Ihik ihik..

7. Menggurui rakyat dengan tayangan motivasi diri untuk selalu berbuat baik, berpikir positif, bekerja lebih giat, berusaha lebih keras kalau perlu sampai mati. Sementara pejabat, bos-bos, pengusaha, tak pernah henti mengoleksi istri simpanan, kasak-kusuk menutupi korupsi, bagi-bagi kursi kekuasaan, bikin UU agar dapat proyek tambahan, dan sejenisnya.

8. Aneka berita dan informasi sepak terjang penegak hukum, menteri, pejabat, pengusaha berhati mulia, sumbangan sekian miliar buat korban banjir dan bencana bom, janji Pemilu, reporter bergaya pakar mengomentari tetek bengek peristiwa, seolah pemirsa adalah mahluk bodoh dengan otak di dengkul yang akan menelan apa saja yang mereka katakan.

9. Kuis berhadiah sekian ratus juta miliar triliun bagi pengirim SMS dan penelepon tebakan bodoh seputar merk celana dalam yang dikenalan pemain bola ternama atau ukuran bra penyanyi dangdut goyang buldoser. Ayo rakyat miskin, tambah miskin dan mampus sana demi membeli pulsa untuk impian hadiah menjadi jutawan sableng.

10. Iklan ramalan jitu Mama Loreng atau Ki Joko Gemblung seputar nasib, jodoh, arti nama, arti bentuk betis, arti lekukan puser, jumlah bulu ketiak, tahi lalat, tahi kucing, dan tahi babi. Terus saja ketik REG spasi NGIBUL kirim ke 666 dan dijamin Anda bangkrut kelaparan karena utang numpuk buat beli pulsa bahlul.

Novel yang Aneh, Chapter Johnkecops Kleinsteuber

Ini sedikit teaser Novel yang Aneh. Tenang Kunderemp, kamu akan kebagian juga di-teaser-kan di Notes FB. Juga tokoh-tokoh lainnya.

***

Seekor burung gereja mematuki remah roti yang sengaja disebarkan Johnkecops Kleinsteuber di taman sunyi itu. Demikian sunyi sampai ia kangen sama hiruk pikuk kota kelahirannya, Dodolipet, nun jauh di seberang benua. Kangen sama semua makanan berkolesterol tinggi yang bikin perutnya membuncit sekian lama. Dan untungnya di negeri rantau yang peradabannya jauh lebih maju ini John bersua makanan sehat rendah kalori yang dimasak tidak dengan minyak jelantah hitam legam seperti yang dipakai mayoritas abang gorengan di Dodolipet sana. Jadi kalau dia pulang kampung nanti dalam kondisi perut kempis dan badan begeng, bukan berarti dia kurang makan atau ngirit, melainkan memang makanan di Jeropa, negeri perantauannya, jauh lebih sehat.

Tapi ia akan pulang kok sebentar lagi. Dalam hitungan hari saja. Setelah menerima email aneh berulang-ulang yang dianggapnya sebagai spam norak-norak bergembira, Johnkecops tidak sabar untuk membuktikannya segera.

Email apa?

Sejak setahun ini ia dihantui email-email aneh yang isinya bikin ngga percaya atau kalau dia cerita ke orang lain akan dibilang gila. Intinya email itu mengatakan bahwa Johnkecops Kleinstueber adalah manusia kiriman dari masa depan dengan suatu misi. Najis kan noraknya? Email pertama langsung dihapus tanpa pikir panjang. Pengirimnya kayaknya tahu bahwa emailnya ngga digubris, jadi mengirim email kedua.

“Sudah dihapus dan kamu kategorikan alamat emailku sebagai spam? Thanks! Jalan pikiranmu sangat sesuai dengan skenario kami.

Baiklah kalau kamu tidak percaya pada email pertama, coba katakan kenapa aku bisa tahu bahwa waktu kecil kamu hobi makan lolipop rasa moka, dan gigi serimu rontok karenanya, untungnya itu gigi susu dan kamu tumbuh dewasa bukan sebagai lelaki bergigi ompong? Lalu kamu pernah punya anjing bernama Kipul yang mati tertabrak sepeda BMX anak tetangga.

Ibumu suka makan rujak tanpa nanas dan sambelnya harus pedas sekali. Adikmu punya tompel di pahanya, hal memalukan sampai hari ini, ia berpikir buat operasi plastik menghilangkannya. Apakah aku salah? Kamu masih tidak mau percaya dengan email pertamaku?”

Tidak bernama pengirim. Jijay deh, gerutu Johnkecops. Paling seorang keluarga yang iseng mau mengerjai, gitu pikirnya. Secepat kita diklik tombol “Delete”.

Dan email ketiga, empat, lima, enam, tujuh terus berdatangan menyusul. Seolah berusaha keras membuktikan bahwa Si Pengirim adalah orang hebat yang mengirim John ke masa kini dari masa depan dengan suatu misi. “Lu kira gue Terminator?” Begitu John iseng membalas salah satunya. “Kalo iya, mana pestolan canggih gue????”

"Johnkecops Kleinstueber, tidakkah kamu penasaran bagaimana mungkin kami bisa tahu semua detil dirimu dari bayi sampai hari ini? Tadi pagi kamu mencret kan, langsung minum teh hangat demi menyamankan perutmu. Percayalah, kami tahu semua yang kamu lakukan, sebab kami sudah memasang chip pada tubuhmu.

Begini saja, kalau tidak percaya silakan kamu buktikan sesampai di negaramu, Republik Sontoloyo. Kamu akan menemukan program khusus di komputer rumahmu yang memang otomatis baru aktif begitu kamu tiba di sana. Di sana kamu akan tahu apa misimu sesungguhnya. Sampai jumpa di kota Dodolipet!"

Pet. Hilang begitu saja, email tak lagi berdatangan.

Di taman sepi itu John merenungi semua peristiwa itu. Apa iya benar dia adalah agen khusus dari masa depan yang diutus ke masa kini kayak Terminator atau semua fiksi sains Hollywood membosankan itu? Kalau iya, kenapa tidak dikabari dari dulu? Kenapa harus menunggu sekian lama? Si Pengirim email dalam salah satu emailnya menyatakan bahwa studinya di Jeropa ini adalah bagian dari skenario mereka. “Anjrit, gue udah kan susah payah ikut tes beasiswa doktor ini, masak dibilang skenario mereka! Buat apa gue belajar bahasa Jeropa yang aksennya mirip mesin disel itu sampe nungging-nunging kalau dibilang semua cuma skenario yang sudah diatur?”

*penasaran? hahaha doakan aja ya buruan beres nih mengkhayal dan nulisnya..sebab selalu banyakan mengkhayalnya daripada nulisnya..hahaha*

Obsesi yang Belum Kesampaian...

Saya selalu mengkhayal bahwa buku pertama saya adalah sebuah novel. Sebab sejak SD sudah hobi bikin cerita sendiri, sampai cerita yang saya khayalkan menjadi film. Weleh. Tapi suwer deh. Mesin tik tua Brothers milik kakek saya jadi saksi sudah berapa halaman kertas HVS saya korbankan untuk disiksa dengan ketak ketik yang brisik itu. Yang kalau salah harus modal tipex kertas atau kadang penghapus yang dipaksakan sampai kadang kertasnya bolong.

Waktu pertama cerita bersambung saya dimuat di Hai kelas 1 SMA dulu, ada senang ada sebelnya juga. Senang melihat nama saya terpampang di majalah idola saya itu. Sebal karena ngirimnya sudah dari SMP dolo kaleeeee, kok dimuatnya pas gue udah SMA. Ngga sekalian aja dimuat pas gue udah nenek-nenek aja? Xixixixix! (Ketawa sok imut niru abege masa kini ah).

Lalu sejak itu saya memutuskan bahwa menulis adalah jalan hidup saya. Sempat sih kepikiran mau ambil kuliah desain grafis, secara ada sedikit bakat dari bokap yang pelukis. Tapi saya malas belajar memperdalam seni lukis, modalnya mahal dan ribet: kanvas, cat minyak, kuas, dan semua tetek bengek yang bakal bikin repot itu. Mendingan nulis. Cuma modal mesin tik sama kertas aja. Zaman itu komputer masih segede gajah dan mahal banget, jadi ngga kepikiran pengen beli buat saya yang masih kelas 1 SMA. Astaga jangan bayangkan saya hidup di tahun 70-an ya. Ngga sejompo itu kok. Saya SMA yah sekitaran dekade 90-an. Hohoho. Zaman itu laptop belom kebayang di kepala.

Komputer pertama saya dibeli dengan hasil keringat saya sendiri sekitar 6 tahun lalu. Dulu waktu belom gablek komputer selalu bilang, "saya harus bikin novel dengan komputer itu!". Tapi boong ding. Faktanya kerjaan sampingan saya sebagai jurnalis adalah bantuin orang atau LSM bikin buku. Kebanyakan diterbitkan tanpa menyertakan nama saya, sebab saya sudah dibayar gede, alias saya menjual hak cipta ke mereka. Ngga apa deh, demi bisa beli rumah someday, demikian kata saya waktu itu.

Tapi saya tetap nulis beberapa novel, dan ngga selesai. Ada yang saya taruh di blog dan pembacanya penasaran kapan tuh cerita mau selesai. Embuh deh, udah kehilangan mood dan waktu dan energi dan apapun itu yang bisa saya jadikan alasa. Xixixixi (lagi). Buku saya selanjutnya lagi-lagi non fiksi dan berbau teknologi. Akibat jadi jurnalis sains dan teknologi selama enam tahun, bikin saya mau ngga mau akrab sama yang namanya ilmuwan deh. Dan dunia itu sampai sekarang jadi dekat banget sama saya yang sehari-hari ngurusin web sains populer. Dan buku saya selanjutnya masih berkutat tentang teknologi, walau saya sudah memulasnya dengan bahasa ngepop dan gaul abis sesuai kemauan penerbit.

Soal penerbit ini saya juga agak bingung. Saya ngga pernah mau yang namanya melamar kerja atau ajukan ide penulisan ke perusahaan besar. Alasannya simpel saja, saya malas kecewa ditolak. Eh ndilalah malah mereka yang mengontak saya dan meminta saya menulis. Ya alhamdulilah aja. Sekarang saya sudah diuber lagi disuruh nulis buku selanjutnya, dan oleh penerbit lain lagi juga. Jadilah hari-hari saya diuber-uber deadline nulis buku non fiksi. Ngurusin web pun ya web yang non fiksi bahkan sangat eksak.

LALU KAPAN SAYA BISA NULIS NOVEL?????!!!!!!!! (Teriak nih asli)

Menulis novel sampai selesai berwujud buku (kalau yang cuma 50 halaman lalu nggantung di laptop sih udah banyak) adalah impian yang belum kesampaian sampai hari ini.

Eh ada satu lagi obsesi lain. Jadi vokalis group rock! Oh yeah baby! Let's rock n roll tonight!!!! Yeaaah!!!
PS: Buat Mbak Eni: Maaf, aku ndak layak kasih endorsement buat novelmu sebab aku sendiri belom pernah membrojolkan novel..huhuhuhuhuhuhuuhuhu
h!!! Ntar yang ada diketawain orang mbak!

Obsesi yang Belum Kesampaian...

Saya selalu mengkhayal bahwa buku pertama saya adalah sebuah novel. Sebab sejak SD sudah hobi bikin cerita sendiri, sampai cerita yang saya khayalkan menjadi film. Weleh. Tapi suwer deh. Mesin tik tua Brothers milik kakek saya jadi saksi sudah berapa halaman kertas HVS saya korbankan untuk disiksa dengan ketak ketik yang brisik itu. Yang kalau salah harus modal tipex kertas atau kadang penghapus yang dipaksakan sampai kadang kertasnya bolong.

Waktu pertama cerita bersambung saya dimuat di Hai kelas 1 SMA dulu, ada senang ada sebelnya juga. Senang melihat nama saya terpampang di majalah idola saya itu. Sebal karena ngirimnya sudah dari SMP dolo kaleeeee, kok dimuatnya pas gue udah SMA. Ngga sekalian aja dimuat pas gue udah nenek-nenek aja? Xixixixix! (Ketawa sok imut niru abege masa kini ah).

Lalu sejak itu saya memutuskan bahwa menulis adalah jalan hidup saya. Sempat sih kepikiran mau ambil kuliah desain grafis, secara ada sedikit bakat dari bokap yang pelukis. Tapi saya malas belajar memperdalam seni lukis, modalnya mahal dan ribet: kanvas, cat minyak, kuas, dan semua tetek bengek yang bakal bikin repot itu. Mendingan nulis. Cuma modal mesin tik sama kertas aja. Zaman itu komputer masih segede gajah dan mahal banget, jadi ngga kepikiran pengen beli buat saya yang masih kelas 1 SMA. Astaga jangan bayangkan saya hidup di tahun 70-an ya. Ngga sejompo itu kok. Saya SMA yah sekitaran dekade 90-an. Hohoho. Zaman itu laptop belom kebayang di kepala.

Komputer pertama saya dibeli dengan hasil keringat saya sendiri sekitar 6 tahun lalu. Dulu waktu belom gablek komputer selalu bilang, "saya harus bikin novel dengan komputer itu!". Tapi boong ding. Faktanya kerjaan sampingan saya sebagai jurnalis adalah bantuin orang atau LSM bikin buku. Kebanyakan diterbitkan tanpa menyertakan nama saya, sebab saya sudah dibayar gede, alias saya menjual hak cipta ke mereka. Ngga apa deh, demi bisa beli rumah someday, demikian kata saya waktu itu.

Tapi saya tetap nulis beberapa novel, dan ngga selesai. Ada yang saya taruh di blog dan pembacanya penasaran kapan tuh cerita mau selesai. Embuh deh, udah kehilangan mood dan waktu dan energi dan apapun itu yang bisa saya jadikan alasa. Xixixixi (lagi). Buku saya selanjutnya lagi-lagi non fiksi dan berbau teknologi. Akibat jadi jurnalis sains dan teknologi selama enam tahun, bikin saya mau ngga mau akrab sama yang namanya ilmuwan deh. Dan dunia itu sampai sekarang jadi dekat banget sama saya yang sehari-hari ngurusin web sains populer. Dan buku saya selanjutnya masih berkutat tentang teknologi, walau saya sudah memulasnya dengan bahasa ngepop dan gaul abis sesuai kemauan penerbit.

Soal penerbit ini saya juga agak bingung. Saya ngga pernah mau yang namanya melamar kerja atau ajukan ide penulisan ke perusahaan besar. Alasannya simpel saja, saya malas kecewa ditolak. Eh ndilalah malah mereka yang mengontak saya dan meminta saya menulis. Ya alhamdulilah aja. Sekarang saya sudah diuber lagi disuruh nulis buku selanjutnya, dan oleh penerbit lain lagi juga. Jadilah hari-hari saya diuber-uber deadline nulis buku non fiksi. Ngurusin web pun ya web yang non fiksi bahkan sangat eksak.

LALU KAPAN SAYA BISA NULIS NOVEL?????!!!!!!!! (Teriak nih asli)

Menulis novel sampai selesai berwujud buku (kalau yang cuma 50 halaman lalu nggantung di laptop sih udah banyak) adalah impian yang belum kesampaian sampai hari ini.

Eh ada satu lagi obsesi lain. Jadi vokalis group rock! Oh yeah baby! Let's rock n roll tonight!!!! Yeaaah!!!
PS: Buat Mbak Eni: Maaf, aku ndak layak kasih endorsement buat novelmu sebab aku sendiri belom pernah membrojolkan novel..huhuhuhuhuhuhuuhuhu
h!!! Ntar yang ada diketawain orang mbak!

Petualangan Johncekops dan Kunderemp

Buat teman yang sesekali memergoki status FB saya belakangan ini mungkin heran kenapa saya menulis secuil-cuil paragraf yang mirip penggalan cerita. Lalu ada dalam kurung: Novel yang Aneh. Sony Set, penulis skenario tangguh Trans TV bertanya apakah itu novel beneran atau cuma nulis di Wall.

Iya, itu novel beneran, tapi sementara baru berputar-putar di kepala dan hati saya. Belum ada waktu buat mewujudkannya, sebab 3 buku non fiksi menanti untuk dituntaskan lebih dulu. Setelah itu saya akan menolak semua tawaran nulis non fiksi dan fokus pada Novel yang Aneh. Ya semoga saya punya kekuatan buat menolak iming-iming penerbit atau klien, sebab biasanya susah banget.

Johnkecops Kleinstueber dan Kunderemp Narkaulepsy adalah dua tokoh utama di Novel yang Aneh. Soal opo to iki? Ini sahibul hikayat milenium cyber tentang Republik Sontoloyo. Demi menjaga mood, saya kadang menuliskannya di dtatus FB. Agar selalu ada yang penasaran dan komentar, agar saya ngga lupa. Agar saya tetap punya spirit buat menuntaskannya. Sebab yang sudah-sudah ada beberapa novel yang ngga pernah selesai teronggok di laptop dan desktop saya, akibat kesibukan diuber-uber penerbit yang lebih menyukai tulisan non fiksi saya.
Tapi kali ini petualangan Johnkecops dan Kunderemp harus diwujudkan.

Hmm siapa mereka? John dan Kund sungguhan ada, lho. Kalau ngga percaya silakan googling saja, kamu akan mendapatkan jawabannya. Selain mereka akan ada juga beberapa teman yang nama cybernya saya pakai di sini, biar novel ini ada nyawanya. Fromastermutn, Labelleanjuna, Stanislavkotsky, Bluepisceslady, Albatross Aora, Sarinande, mungkin ada beberapa lagi. Notes ini sekalian sebagai permintaan izin buat teman yang namanya tersebut di atas buat "dihidupkan" dalam novel saya. Boleh ya? Sssrrooooootttttt *masih tersisa pilek sejak minggu lalu*.