Friday, February 12, 2010

Sang Maestro (Cerpen tahun 1993)

Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos tanpa izin saya sebagai penulisnya, dan baru tahu dari teman di sana yang ujuk2 mengucapkan selamat. Ternyata koran daerah itu mengcopy-paste dari web Cybersastra yang pernah memuat juga. Sedih...boro2 honor, dimintai izin aja ngga. Hehehe. padahal zaman itu saya lagi super gembel in the dark ages!
***

Lahir ke dunia dan ia dinamai Salvador Dali. Terlalu berat menyandang nama seniman besar. Ayahnya begitu tergila-gila pada seniman setengah waras itu. Tanpa pikir panjang, jabang bayi yang baru lahir itu diberinama panggilan Dali. Menuruni bakat ayah, Dali tumbuh sebagai pelukis. Hingga panitia lomba lukis sempat mentertawainya ketika Dali mendaftar.

“Kalau bikin nama samaran kira-kira ,donk.”
“Itu nama asli. Mau lihat KTP?” Dali berang mengeluarkan KTP-nya.
Sang panitia hanya terbahak. Dasar seniman, pikirnya.

Bagi orang awam nama Dali tidak berpengaruh apapun. Teman-temannya hanya tahu kalau Dali itu pelukis, titik. Mereka paham jika Dali tak pernah mencatat di kelas. Setiap kali kuliah, duduk, dan terus melukis sampai jam kuliah usai. Tak pernah sibuk mengerjakan tugas dari dosen.
“Dali, ikut kami yuk,” ajak seorang teman sepulang dari kampus.
“Bawa peralatan lukismu, kita akan lama di sana.”
Kertas gambar, pinsil konte dan rapido adalah peralatan perang Dali. Dan Dali ikut saja kemana temannya pergi. Mereka tiba di sebuah barisan rumah-rumah petak berhimpitan. Lalu masuk ke salah satunya. Kamar itu remang-remang. Musik keras menyambut kedatangan mereka. Suasana pengap. Asap putih berhamburan memenuhi
ruangan. Ada bau aneh yang belum pernah Dali rasa.
“She comes in colour everywhere, she combs her hair, she likes the rainbow…” suara serak Mick Jagger memekakkan telinga.
“Kenalkan teman-teman, ini Dali si pelukis,” teman Dali memperkenalkan dirinya ke semua yang hadir.
Orang-orang memandanginya dengan tatapan mata dingin. Salah satu bangkit menjabat tangan Dali. Ia lebih tua beberapa tahun dari yang lain. Tapi jelas berjiwa muda.
“Inilah surga kami. Saat otak sarat dengan beban hidup, kami lari kemari untuk meringankan. Selamat datang, Dali.”

Kemudian tanpa dikomando mulailah sebuah ritual penyambutan. Teman Dali melinting kertas yang sebelumnya diisi daun-daun kering. Yang ada di pikiran Dali itu adalah rokok biasa, seperri yang biasa dihisap kebanyakan orang. Dibantu yang lain, lintingan itu bertambah banyak. Di sekitarnya orang-orang seperti tak sabar menunggu. Musik kian keras. Udara tambah pengap. Lintingan mulai dinyalakan dan diedarkan dari satu tangan ke tangan lain.

Giliran Dali menerima. Seperti yang lain, ia harus menghisapnya. Hisapan pertama Dali terbatuk. Yang lain terbahak menyaksikan. Dali menghisap lagi, kepalanya terasa pusing. Mata berarir. Pelukis pemula itu belum tahu benda apa yang dihisapnya. Habis lintingan di tangan, seseorang menyodorkan yang baru. Begitulah Dali terus menerus dicekoki.
Sejak hari itu Dali jadi ketagihan lintingan. Selesai kuliah ia bergabung dengan teman-teman menuju tempat biasa. Untuk selanjutnya Dali harus membayar setiap linting yang dihisap. Keluarga Dali tak pernah tahu anaknya menjadi pecandu. Mereka hanya tahu kalau Dali keluyuran untuk mencari ilham lukisan. Demikian juga kalau Dali mengunci diri di kamar.
Ya, sejak menghisap lintingan itu inspirsi yang datang jadi aneh-aneh. Dali suka itu. Lukisannya jadi punya ciri tersendiri. Maka kebutuhannya akan lintingan-lintingan ajaib itu bertambah besar.

“Uang lagi? Untuk apa? Bukankah kemarin kau baru minta uang buat beli cat?” Ayah Dali heran akan seringnya Dali minta uang.
“Buat beli diktat, sebentar lagi ujian.” Dali berbohong.
Dan uang pun didapat dengan mudah. Dali langsung ke tempat biasa ia mendapat rokok ajaibnya. Teler di sana, sebagian dibawa pulang ke rumah. Ayah Dali kagum dengan hasil lukisan anaknya belakangan ini. Tambah artistik dan punya ciri.
“Dali sudah menemukan alirannya,” pikr ayahnya.
“Apa dia tak terlalu banyak melukis?” tanya Ibu Dali.
“Dia rajin kuliah, Bu. Masa kau tidak perhatikan itu,” sergah sang ayah.
“Kau harus hati-hati membawanya. Jangan sampai diketahui orang luar termasuk keluargamu,” begitu pesan seorang teman.
“Ya, sekarang aku sedang butuh sekali. Sudah beberapa hari ini aku tak pakai dan inspirasi jadi macet. Aku tak bisa melukis tanpa benda itu," Dali mendesak.

Lama Dali baru sadar bahwa lintingan-lintingan yang sangat ia butuhkan itu adalah gele alias ganja. Ada rasa takut menghinggapi. Namun kebutuhannya akan benda laknat itu membuatnya tak peduli. Setiap kali sehabis menghisap lintingan itu ada inspirsi aneh timbul. Diambilnya kuas dan cat, lalu mencorat-coret di atas kanvas. Hasilnya luar biasa. Dali puas. Hilang sudah ketakutannya.

Tanpa terasa lukisan Dali sudah banyak sekali. Hampir tak ada tempat di rumah untuk menampungnya. Ayah Dali sangat bangga. Ia mengundang beberapa teman kritikus seni untuk menilai lukisan anaknya.

“Fantastis! Luar biasa! Seorang Salvador Dali junior telah lahir!” Begitu komentarnya.
“Generasi penerus aliran surealis!” kata yang lain lagi.

Dan masih banyak komentar lain mengagungkan karya Dali. Itu membuat Dali semakin gila melukis. Kuliahnya berantakan. Bagi ayah Dali itu tak masalah, sebab karir Dali sebagai pelukis lebih penting. Kelamaan ayah Dali heran juga atas kebutuhan anaknya yang kian membengkak.
“Sebetulnya buat apa uang itu, Anakku? Jujurlah, ayah takkan marah.”
Dali tak berani berterus terang. Sama saja bunuh diri. Dan ia terus berbohong. Mungkin ayahnya tak percaya tapi uang itu tetap diberikan.

Teman-teman Dali selalu berbaik hati memberi berapa saja jumlah lintingan ganja yang dibutuhkan. Pelukis itu jadi pemasok dana terbesar. Kebutuhannya akan lintingan itu melebihi yang lain. Dali jadi seratus persen tergantung pada benda laknat itu. Bahkan ia tak bisa lagi berbuat apa-apa tanpanya. Apalagi ayah Dali terus mendesak agar anaknya berkarya lebih baik lagi. Dali semakin terperosok dalam kekuasaan asap-asap putih.

“Sebuah pameran, kau dengar itu Dal? Kau akan menggelar pameran bersama beberapa seniman muda ternama lain. Kau dan karya terbaikmu!” Ayah Dali menyampaikan kabar baik dengan wajah berbinar di suatu hari.
“Siapa yang membuat, Yah?”
“Kau tak tahu hampir semua kritikus seni mengakui kehebatanmu, Nak?”
Dali hanya terdiam tanpa ekspresi. Dia serupa robot yang digerakkan ayahnya dengan bahan bakar ganja.
“Dan kalau pameran itu sukses mereka menjanjikan pameran tunggal buatmu…”
Entah apalagi yang diucapkan ayahnya. Dali tak bisa menangkap jelas kata-katanya. Pikirannya hanya mengelangut jauh. Pameran? Itu berarti karyanya akan dinilai banyak orang. Ia harus menghasilkan karya yang lebih baik. Itu berarti semakin banyak membutuhkan lintingan ganja untuk memancing inspirasi. Semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk membeli. Dali memutar otak. Apalagi cara untuk mendapat uang? Ia sudah terlalu banyak berbohong pada ayah. Lalu diputuskan untuk mengambil uang tabungan. Sebetulnya itu simpanan untuk masa depan. Persetan masa depan, yang penting sekarang.

Begitulah, Dali menggerogoti uang tabungan hingga ludes sama sekali. Pamerannya sukses. Beberapa lukisannya terjual dengan harga tinggi. Uang yang didapat langsung dibelikan ganja dan mentraktir teman-teman.

“Tidak percuma kita punya teman pelukis ulung. Ayo kita fly sampai pagi!” Teman-teman Dali mengagungkan dirinya. Juga semua orang yang mengenalnya. Ayahnya, keluarga, pecinta seni, hingga para berandal tengik jalanan yang sering ditraktirnya.

Mau tak mau Dali harus memenuhi keinginan ayahnya untuk mengadakan pameran tunggal. Semua sudah tersedia. Tinggal karya-karya Dali yang ditunggu. Untuk itu Dali butuh banyak sekali ganja demi lancarnya inspirasi. Tapi uang sudah ludes.

“Ayolah, akan kubayar nanti setelah pameran,” Dali mendesak temannya.
“Ya, aku percaya pameranmu pasti sukses. Oke, ambil berapapun yang kau butuhkan. Akan kucatat semua hutangmu.” Dali terlibat hutang cukup besar. Semua temannya yakin ia mampu membayar, bahkan lebih dari harga biasa.
Dan begitulah hidup Dali terus berlangsung. Teler, melukis, berpameran. Berhutang, teler lagi, melukis lagi. Kuliah sudah lama ditinggalkan. Tidak masalah, karena ia seorang seniman besar. Semua bangga pada Dali. Tak ada hal lain yang dipikirkan Dali selain melukis dan mabuk. Ia menarik diri dari pergaulan anak muda. Melukis adalah pekerjaan mencari nafkah. Semua menjulukinya jenius. Tapi ia sendiri merasa tak lebih sebagai mesin produksi. Keadaan ini membuat Dali frustasi. Untuk mecari jalan keluar, dicarinya cara lebih ampuh.
Seorang teman menyodorkan serbuk putih lembut. Jika dihirup akan membuat perasaan jadi nyaman. Dali bisa melupakan semuanya. Hidup jadi lebih ringan.

“Barang ini lebih mahal dari yang biasa. Mendapatkannya juga lebih susah.”
“Berapapun harganya akan kubayar sesudah pameran,” Dali tertarik setelah mencoba beberapa saat.
“Pameran? Pameran apa? Kau tak pernah lagi melukis. Kerjaanmu hanya teler di sini.”
“Lukisanku masih banyak, jadi tak perlu melukis. Akan kubayar sesudah pameran seperti biasa!” Dali mendesak geram.

Setelah mendapatkan serbuk kristal putih itu, ia asyik tenggelam dalam dunianya sendiri. Tapi kini ia tak mampu melukis lagi. Inspirasi datang dan pergi tanpa memberi kesempatan untuk menuangkannya dalam kanvas. Itu justru membuat Dali menambah dosis serbuk putih yang dihirup. Ia lupa bahwa sebentar lagi pameran tunggalnya yang entah keberapa akan segera dibuka di sebuah hotel bintang lima.
Sementara itu ayah Dali kebingungan. Pameran akan dimulai beberapa menit lagi tapi Dali tak kunjung pulang. Akhirnya mereka sekeluarga menuju ke hotel dengan harapan Dali sudah berada di sana.

Ternyata ruang pameran sudah ramai pengunjung. Semua orang menunggu sang pelukis tiba untuk peresmian pembukaan pameran karyanya. Menteri, pejabat, selebriti, seniman dan pencinta lukisan hadir.

Satu jam, dua jam. Dali tak kunjung muncul. Pengunjung mulai kehilangan kesabaran. Keluarga Dali yang paling panik. Tak lama terdengar bisik-bisik antar pengunjung. Wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata ada yang baru datang. Seorang pria tegap tampil di tengah podium.

“Mohon perhatian, para pengunjung sekalian. Acara pembukaan pameran lukisan karya Salvador Dali terpaksa dibatalkan. Izinnya dicabut beberapa jam lalu.” Suaranya tegas terdengar jelas. Hadirin gempar. Keributan terjadi. Wartawan mengerumuni pria yang tertnyata adalah polisi itu.
“Apa alasan pembatalan izin itu, Pak?”
“Dimana Salvador Dali?” Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan.
“Tenang…tenang…semua akan dijawab satu-satu,” orang itu menjawab lantang.
“Dengan berat hati saya sampaikan, terutama untuk keluarga yang bersangkutan. Seniman Salvador Dali ditemukan overdosis sejam yang lalu. Ia bersama teman-temannya dipergoki menggunakan obat terlarang. Kini mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Ayah Dali ambruk. Ibu Dali menjerit histeris lalu pingsan. Pengunjung gempar luar biasa. Wartawan sibuk menjepretkan kamera sana-sini. Suasana jadi rusuh.
***

pinggiran jakarta, oktober 1993

No comments: