Sunday, February 7, 2010

Ayah: The Best Father You Can Ever Imagine

'The best father you can ever imagine," demikian kata Paris Jackson diselingi isak tangis mengenai mendiang ayahnya, Michael Jackson, saat penghormatan terakhir jenazah sang legenda di Stapless Center, awal Agustus silam.

Saat menontonnya di layar TV, tak terbersit sedikitpun rasa haru saya. Ah, biasa saja. Anak seleb ini, mewarisi harta tak terhingga, buat apa dipikirin. Mending mikirin anak gelandangan di luar sana. Namun kalimat itu kembali terngiang ketika pekan silam saya mengunjungi ayah kandung saya di desanya yang tenang di Boyolali, Solo.

Ayah saya memang bukan Pop Star idola dunia. Dia juga bukan tipe ayah yang terlalu ideal, mengingat pola hidup senimannya di masa muda dulu. Saya justru baru bersua dengannya saat duduk di bangku SMP. "Ooo ini toh ayah kandungku." Itu saja komentarku dulu. Jelas jauhlah jika mau disandingkan dengan Michael Jackson.

Tapi jika kamu bertandang ke rumahnya yang nyaman, maka kamu akan menemukan aneka lukisan bergaya naturalis yang luar biasa. Mulai dari lukisan potret para anggota keluarga, eyang yang mantan pejuang dengan baju seragam veterannya, sampai lukisan Adam dan Hawa berukuran raksasa di kamar atas dalam adegan panas, pahatan The Last Supper, dan lukisan diri ayahku dalam kostum Gajah Mada (seperti yang ada di foto artikel ini), Warok Suromenggolo. Lalu serangkaian bingkai foto merekam adegan pentas ayah dalam beragam kostum ketoprak, termasuk foto diri saat masih muda dengan body mirip Ade Rai. Ya, ayahku adalah seniman sekaligus olahragawan. Sebuah bakat yang jarang dimiliki orang kebanyakan. Biasanya kalau seniman ya seniman saja, atau olahragawan ya olahragawan saja. Ayahku bisa melakukan keduanya secara mengagumkan.

Mengagumkan? Tunggu dulu, itu semua bukan apa-apa. Yang lebih mengagumkan adalah ekspresi beliau yang sangat biasa saja saat seorang anaknya mengatakan bahwa ia sudah berpindah keyakinan. Ayah hanya santai saja menasihati, "Ya, ngga apa. Itu kan urusan keyakinan dan hati masing-masing."

Oh ya, aku baru ingat, zaman dahulu kala juga pernah ada anak ayah yang berpindah keyakinan, dan itu diangap hal lumrah saja.

Lalu aku jadi membandingkan dengan seorang teman yang pernah diusir, dihardik, dimaki-maki takkan diaku anak seumur hidup ketika sang ayah tahu anaknya berpindah keyakinan. Atau bahkan ada yang digebuki habis-habisan waktu tahu si anak pacaran dengan lelaki beda agama.

Jadi, dari semua "prestasi" mengagumkan ayahku sebagai pelukis, pemain ketoprak, dan olahragawan, prestasi paling membanggakan buatku adalah pandangannya mengenai keyakinan. Bahkan pernah suatu waktu dulu sekali ia menyeletuk, "Kalau jadi Islam, jadilah Islam yang baik. Jadi Kristen ya Kristen yang baik. Budha ya Budha yang baik." Dulu sih aku ngga paham apa maksudnya ngomong begitu, karena masih SMP atau SMA. Setidaknya kalimat itu mengingatkanku pada ucapan salah satu tokoh di buku karya Martin Aleida, Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi: "Kalau jadi komunis, jadilah komunis yang baik, nak".

Ya ayah, kamu adalah ayah terbaik yang pernah aku bayangkan. Lengkap dengan semua kekurangan dan kelebihanmu.

No comments: