Ia membelalakan matanya yang memang sudah besar itu ke arahku. Kenyataan yang baru saja kututurkan sangat sulit diterima otak dan hatinya. Tapi bagaimana lagi. Semua adalah fakta tak terbantah. Bahwa aku punya kakak gila dan kakak ipar tak waras. Keduanya hidup, menghirup oksigen sama di dalam rumah orang tuaku. Rumah kecil namun berisi sembilan buah kepala yang harus diberi makan setiap hari. Mirisnya hanya aku seorang yang punya pekerjaan tetap. Selebihnya serupa manusia-manusia tanpa masa depan. Apalagi kakakku yang satu itu.
Satu demi satu bayi lahir dari perut kakakku tanpa pernah merasakan menjadi ibu. Bagaimana bisa menjadi ibu kalau setelah melahirkan lantas ia tertawa seolah tak terjadi apa-apa. Padahal empat kali sudah ia melahirkan bayi-bayi tanpa ayah. Yang pertama kini telah kelas enam SD. Tumbuh sehat diadopsi oleh seorang kerabat jauh dan tak pernah tahu sejarah hidupnya. Bayi kedua langsung almarhum begitu dilahirkan. Bayi ketiga terpaksa diadopsi kakakku pertama yang sejak menikah tak juga dikaruniai anak. Dan bayi keempat kami tinggalkan begitu saja di rumah sakit bersalin sebab kami sama sekali tak punya uang untuk menebusnya.
Peristiwanya sedikit menggemparkan. Kalau saja koran ibukota ‘murahan’ itu tak memuat berita tentang bayi-bayi terlantar di rumah sakit, tentu hingga sekarang kami tak tahu bagaimana nasib si bayi. Tapi di suatu pagi seorang tetangga mengejutkanku dengan membawa sehelai koran yang memuat berita terkutuk itu. Tertera foto empat orang bayi tak beribu yang ditinggal di sebuah rumah sakit. Hatiku seperti terantuk palu godam. Sebab jelas di situ disebutkan salah satu bayi adalah anak kakakku, Rina.
Dan merebaklah berita ke pelosok kampung. Kampung kami yang memang sudah padat dan kumuh menjadi tambah riuh dengan gosip murahan macam itu. Awalnya kucoba sembunyikan kenyataan ini dari telinga orang tuaku. Namun apa daya, mulut para tetangga jauh lebih kuasa dari segalanya.
Keadaan bertambah parah ketika datang dua orang petugas dari rumah sakit ke rumah. Mereka berhasil melacak keberadaan kami. Tak lain dan tak bukan tujuan mereka adalah meminta pergantian biaya selama si bayi dirawat.
Bayi itu lahir prematur. Jadi ia harus tinggal dalam inkubator selama di rumah sakit. Biaya sebulan untuk inkubator itu plus uang susu bisa meludeskan seluruh harta kami kalau dijual. Total jendral dua bulan lebih sudah bayi itu dirawat di sana.
Kondisi rumah kami yang bobrok tak membuat gentar para petugas rumah sakit untuk menagih bayaran. Ditambah kedua orangtuaku yang jelas-jelas tak bekerja dan sakit-sakitan. Petugas tersebut tetap teguh kukuh berlapis baja berkeras bahwa kami harus melunasi seluruh biaya perawatan sang bayi selama di rumah sakit, titik.
Aku selaku ‘kepala rumah tangga’ berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami memang keluarga tak mampu.
“Tak ada maksud untuk berkelit dari tanggung jawab. Kalau tidak terpaksa kami tidak akan meninggalkan bayi itu,” begitu salah satu argumenku.
Tapi kedua petugas itu tetap ngotot.
“Lihat sendiri kondisi ibu si bayi. Sama sekali tak merasa bersalah. Ia memang tak waras dan kami tak punya cukup uang untuk membawanya ke dokter jiwa,” tambahku. Dan jadilah aku serupa pengkotbah yang panjang lebar menuturkan kondisi keluarga kami. Bapakku yang tua tak berdaya. Ia hanya melenggang keluar rumah tanpa bicara. Bermain gaplek bersama teman-teman untuk melepas stres. Sedang ibuku masuk ke kamar, menangis. Kakakku yang gila mengurung diri di kamar belakang, merokok banyak-banyak. Kakakku lain yang sudah menikah dan masih tinggal seatap cukup sibuk mengurusi anak-anaknya. Dan kakak iparku yang pengangguran berambut gondrong dengan enteng tertidur lelap sehabis begadangan semalam suntuk. Jadilah aku ujung tombak segala permasalahan ini.
Setelah mencapai perdebatan panjang tiga hari, dicapai kesepakatan. Kami, tepatnya aku, harus mengurus surat tanda tidak mampu ke RT, RW hingga kelurahan sebagai bukti bahwa keluarga kami benar-benar miskin. Dengan surat itu maka kami mendapat keringanan dari rumah sakit. Cukup membayar biaya persalinan saja. Sedang si bayi terbuka untuk diadopsi siapa saja yang berminat. Calon orang tuanya yang akan menanggung biaya perawatan rumah sakit. Sedikit lega hati ini.
Persoalan belum berakhir. Seorang perawat rumah sakit mendekatiku. Ia ingin si bayi diadopsi kerabatnya. Janji muluk disodorkan pada orangtuaku.
“Saya akan mengganti biaya persalinan, plus uang terimakasih bahwa bayi itu diizinkan kami ambil,” ujarnya. Ia meninggalkan nomor telepon dan pergi dengan hati berbunga setelah kami dengan mudah menandatangani surat persetujuan adopsi. Sehari, dua hari, tiga hari tanpa kabar jelas. Hari kelima aku datangi rumah sakit tadi. Si bayi sudah tak ada. Kuhubungi nomor telepon si perawat yang tak ada jejaknya, ternyata nomor palsu. Lemas sudah aku. Kemana bayi itu dibawa, bagaimana nasibnya, tak seorangpun tahu.
# # #
Asap rokok dalam kamar ini makin tebal. Tak terasa dua pak sudah kami habiskan bersama. Baru malam ini kuungkap seluruh uneg-uneg hati. Setelah sekian lama bersahabat dengan Ayala, tak bisa lagi kusimpan setitik rahasia darinya.
Sama denganku, Ayala adalah perempuan dengan berton-ton problem dalam hidupnya. Tak cukup satu, dua atau tiga ton bahkan. Nyaris seluruh hidup kami penuh dengan masalah tanpa henti. Susul menyusul ibarat ombak bergulung di lautan. Bertubi-tubi tanpa henti. Baru sekejap kami keluar dari satu problem, selalu disusul oleh problem lain. Begitu terus tiada habisnya. Seolah masalah adalah patner hidup kami. Dan problem merupakan nama tengah kami berdua.
Nasib Ayala tak kalah miris dari nasibku. Terlahir dari suami istri yang sudah bercerai, perempuan itu punya tiga bapak dan tiga ibu dalam hidupnya! Satu bapak-ibu kandung, satu bapak-ibu tiri dan satu bapak-ibu angkat. Kini Ayala sendiri tengah mempersiapkan perceraiannya. Berarti anaknya kelak akan punya ibu tiri dan bapak tiri kalau ia dan mantan suaminya saling menikah lagi dengan orang lain. Aneh? Apa boleh buat, inilah kenyataan. Sama anehnya dengan aku yang punya kakak perempuan gila dan kakak ipar maniak seks.
Mengenai si maniak seks ini aku juga sudah bercerita pada Ayala. Ia anjurkan agar aku menusuknya dengan pisau dapur kalau berani menggerayangi tubuhku di waktu malam. Aku belum segila itu. Mungkin kalau Ayala ada di posisiku juga takkan begitu nekad.
Pernah terobsesi untuk meninggalkan saja ‘rumah gila’ itu. Tapi siapa lagi yang akan peduli dengan orangtuaku? Kecuali aku, tak ada yang berpikir bagaimana agar kesembilan kepala penghuni rumah bisa tetap makan dan hidup. Bapakku sendiri kadang dengan batuk-batuk permanennya masih menerima tawaran menjadi supir pribadi teman SD-ku dulu yang kini sudah jadi direktur. Teman itu sama sekali tak pernah menyapaku sama sekali. Tentu saja ia malu berteman dengan anak supir kendati dulu pernah duduk sekelas denganku.
Satu-satunya hiburanku adalah menghabiskan waktu bersama Ayala. Kami bukan lesbian. Perjalanan cinta kami sama-sama terpuruk kandas. Kami berdua berusaha mencari lelaki dan cinta sejati. Kalau mendapatkan keduanya tentu hidup kami sedikit lebih berarti. Jangan seperti sekarang, pekerjaan tak membanggakan, penghasilan pas-pasan dan hidup pun sudah diganduli maslah aneh-aneh.
Maka tibalah kami di setitik kebahagiaan itu. Aku bertemu Rio dan Ayala bertemu Satho. Sejak itu kami saling asyik dengan kisah masing-masing. Hanya sesekali saja bertemu untuk bercerita. Dan ketenggelaman kami itu membuat dunia jadi sedikit berbeda. Bayangan kakakku yang gila, kakak ipar maniak seks, rumah bobrok berisi sembilan kepala minta diberi makan, hilang sudah. Hanya ada warna-warni indah. Persis seperti anak usia puber dengan cinta pertama. Diiringi lagu-lagu cengeng roman picisan kami pun meneguk setitik keindahan. Puncak, vila, hotel. Gitar, tape recorder hingga video disc. Sheryl Crow, Cranberries, The Corrs pun terdengar menggantikan Led Zeppelin, Scorpion dan Deep Purple yang muram. Tanpa cocain dan morpin kami mabuk, tenggelam dalam gelora asmara.
# # #
Brak! Dan kami pun berakhir kembali di ruang penuh asap rokok. Ayala membelalakkan matanya untuk ke sekian kali. Aku sendiri harus menerima kenyataan pahit lagi. Bukan, bukan aku dan Ayala yang mendadak hamil akibat perbuatan bebas. Tapi kakaku si gila tadi kutemui muntah-muntah di kamar mandi. Dia hamil untuk kelima kalinya. Dan aku memutar otak setengah mati bagaimana caranya agar orangtuaku tidak mati berdiri karenanya.
Bukan itu sama kejutan pada pertemuan kami di kamar sewaan Ayala. Setelah beberapa waktu kami berpisah untuk saling mereguk manisnya cinta, ternyata perempaun yang beberapa tahun lebih tua itu tak kalah dengan kisah baru. Mantan suaminya yang kupikir gila tidak terima mengetahui Ayala pacaran lagi. Pagi siang mala Ayala diteror lewa telepon. Diancam mau dibunuh dan segala macam kalau terus berpacaran.
“Dia masih mencintaimu,” pendapatku.
Tanpa ekspresi, Ayala menggeleng sembari memainkan kepulan asap rokok. Entah sudah filter keberapa membakar tenggorokan dan paru-paru kami malam itu.
“Dia cuma butuh uangku. Dia takut uangku habis untuk pacaran hingga tak tersisa buat anakku,” katanya dingin dengan terus mengepulkan asap bentuk bulat-bulat. Bibirnya memonyong.
Inilah pangkal dari permasalahan hidup kami, uang. Selalu saja uang dan uang. Kalau saja kami bisa seperti Thelma and Louise atau Calamity Jane. Tapi hidup tetap hidup. Kenyataan adalah kami warga Jakarta beserta segala tetek bengeknya: kumuh, miskin dan beruntung bisa tersenyum hari ini. Sebuah kota dimana perempuan merupakan mahluk bergincu yang bisa digodai di jalan. Dan kalau berperilaku sedikit menggoda justru berarti adalah cewek tidak beres yang harus bersedia dikerjai.
Sebuah kota panas 29 derajad celcius tapi semua orang akan memandang aneh kalau kau berjalan dengan kaos lengan buntung. Yeah, ini Jakarta,bung. Bukan Denpasar atau Singapura. Jakarta yang dimana kalau bayar ongkos bis kurang seratus perak bisa membuat kondektur naik darah dan mengeluarkan kata-kata terkotor di telingamu. Dan hari itu aku berdua Ayala kembali tenggelam dalam masalah-masalah pelik kami. Seperti biasa.
Pinggiran jakarta mei 2002.
Showing posts with label short story. Show all posts
Showing posts with label short story. Show all posts
Friday, February 12, 2010
Orang-orang di Lorong Gelap (cerpen tahun 2002)
Dari jauh sudah kukenali kepala botak mengkilap Si Rix. Diterpa sinar matahari berkilatan mirip lampu bohlam kuning menyala. Matanya menyipit menahan terik matahari. Ia berjalan gontai dengan tubuh begengnya. Dan ia bangga betul. Tidak jarang ia menahan lapar untuk menjaga kekerempengan tubuhnya.
“Anax punk gax pantez gemux,” argumennya dalam bahasa kami.
Ada Inggris British dan Inggris Amrik. Kamu pun menciptakan Indonesia British. Maksudnya, bahasa Indonesia yang dibuat aksen Bristish. Kami memakainya saat ngobrol antara kami saja. Kelamaan jadi terbiasa dan kami gunakan pula ketika ngobrol dengan orang di luar kami.
Aku sendiri tengah meratapi cat rambut unguku yang mulai luntur. Beli lagi berarti uang lagi. Tapi Onix punya formula jitu membuat cat minyak jadi cat rambut awet lagi aman. Entah bahan kimia apa ditambahkannya pada cat minyak agar bisa jadi enak jatuh di rambut. Ia sudah buktikan dengan memakaikan sendiri cat minyak warna hijau ke rambut landaknya.
“Boleh zuga,” komentarku.
“Cobha saza. Zamin gax nyesals, dech!”
Sore itu kami kumpul di Loronkz Punx, sebuah lorong kecil diapit dua gedung megah. Lorong yang menjadi ‘jalan cacing’ bagi penduduk daerah situ. Lorong dimana ada penjual majalah, CD bajakan hingga berbagai aksesoris. Lorong tempat anak punk kumpul tanpa diganggu pandangan mata aneh.
Rix ternyata bawa Psichedelic, majalah punk Eropa yang entah ia dapat darimana. Biasanya sih hasil meng-hacker*. Kami langsung mengerumuninya seperti semut melihat gula. Teman kami lain yang semula asyik menjajal-jajal CD bajakan ikut membanjiri Psichedelic .
* * *
Aku tahu kalau usiaku tidak lagi bisa dibilang muda. Maka tidak heran kalau ibuku terus bercuap-cuap sepanjang aku berada di rumah. Ia mengeluh soal rambut pink-ku yang belum lama kucat lagi jadi ungu. Belum lagi kicauan tetangga nyinyir usil soal teman-teman dan pergaulanku. Untung aku bekerja di sebuah perusahaan iklan yang membebaskan karyawan berbusana aneh-aneh selagi masih dinilai sopan. Jadilah aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengenakan jeans rombeng . Tapi anting di hidung dan jaket kulitku diizinkan. Thanks God!
Kicauan ibu bukan sebatas cara dandan dan teman-temanku, namun merembet ke soal perjodohan dan pernikahan. Huek. Mau muntah aku mendengarnya. Katanya aku ini perawan tua salah gaul dalam dandanan orang stress . Gila betul ibuku, tega nian mengataiku demikian keji. Dia tidak tahu bahwa obsesiku untuk sebesar Patty Smith** dan Cyndi Lauper belum kesampaian sejak dulu. Dia tidak paham bahwa aku serasa hidup di dekade 1970-an di kawasan kumuh Amrik kalau sudah kumpul dengan teman-teman di Loronkz Punx. Aku jadi lupa kalau hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis sumpek yang tak pernah menghargai puisi.
Di lorong itu pula aku bertemu teman-teman sealiran , seidealisme. Bisa diajak ngomong panjang lebar tentang Iggy Pop***, David Bowie, Andi Warhol, Basquiat**** sampai dengan kisah kasih Sid dan Nancy. Kami sempat punya band bernama ‘The Punxters’ yang kini tak pernah manggung lagi karena kesibukan kerja.
“Kamu sedangs apa, Nox,” suara Dex mengagetkanku. Malam minggu ini seperti biasa kami habiskan keliling kota berdua saja. Kami akan jalan-jalan atau sekedar nongrong hingga kelelahan dan berakhir di sebuah hotel murahan langganan kami.
Kupandangi wajah tirus Dex, lelakkiku dalam dua tahun belakangan ini. Sepintas ia mirip Sid Vicious*****. Karena itu juga mungkin aku dulu suka dia. Tapi aku sama sekali tak berminat punya kisah kasih mirip Nancy.
Ia mengepulkan asap rokok ke arahku, pertanda meminta jawaban segera. Aku terhenyak tak tahu harus bicara apa. Dex bukan tipe lelaki yang ingin cepat menikah. Aku hanya ingin bilang bahwa ibuku mengataiku perawan tua. Padahal sama sekali aku sudah tidak perawan, hahaha!
“Tidak apa-apa. Zuma melamun aza. Zampai kapan zinta kita terealisasi zebatas kamar hotel ini, ?”
Aku sendiri kaget dengan kelancaran kata-kata itu. Dex tidak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat
.
“Kau kira zinta kita zuma zebatas kamar ini? Crazy!”
Lelaki kerempeng itu seperti kebakaran jenggot. Ada kemarahan di wajahnya.
Aku coba tidak peduli. Terus saja mengelagut sendiri. Aku tidak mau menyebut satu kata yang dibencinya, pernikahan.
“Aku tetap zinta kamu walau tidax dalam kamar hotel ini, Nox. Camkans itu!”
Aku paham betul maksudnya. Bahwa ia mencintaiku bukan cuma untuk bergelut di atas ranjang. Namun ia seolah tak mau mengerti bahwa sebagai perempuan aku juga butuh status jelas selain sebagai pacar yang bisa diajak tidur di hotel murahan setiap birahi memuncak.
Dex punya enam bersaudara dari bapak dan ibu berbeda-beda. Bapaknya kawin dua kali, begitu juga ibunya. Kemauakannya terhadap institusi pernikahan muncul dan berkembang sejak ia menjelang pubertas. Dalam usia semuda itu ia sudah menyaksikan ratusan bahkan ribuan kali pertengkaran dua bapak dan dua ibunya. Ada semacam dorongan kuat di batin Dex untuk tidak menciptakan sebuah keluarga. Adalah dosa membentuk sebuah keluarga besar tanpa setitik kebahagiaan.
Di awal hubungan kami dua tahun lalu ia sudah utarakan itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menikah. Hari-hari pacaran kami bisa diisi dengan mendengar musik, baca buku, nonton film atau bercinta. Tapi tidak untuk membicarakan rencana pernikahan. Dan kenyataan itu baru mengusikku belakangan hari ini.
* * *
Sore menjelang malam minggu. Musik berdentam keras dari dalam kamar. Suara Nena Hagen menjerit-jerit seperti tikus terjepit pintu. Aku suka. Perempuan Jerman anti kemapanan dan meneriakan revolusi melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, malam ini aku janji dengan Dex untuk jalan-jalan keliling kota. Puncak, tujuan kami malam ini untuk double date dengan Onix dan pacar barunya. Paling-paling sewa vila bersama. Menyenangkan, daripada di hotel murahan biasa.
Aku sibuk berdandan memantas-mantaskan baju apa yang harus kukenakan nanti. Jaket kulit kesayanganku sedang dicuci. Apa boleh buat, terpaksa dengan jaket jeans belel yang ditambal emblem berbagai merek baju ternama. Itu juga kesayanganku. Sebab untuk mendapatkan emblem merek topnya aku dan teman-teman sempat mengutil, merobeki koleksi baju di butik dan plaza elit. Taruhannya tentu saja nama baik dan kebebasan. Dan kami taruhan itu kami menangkan!
Aku masih melenggak-lenggokkan pinggul mengikuti gaya Nina Hagen di depan cermin. Sebelum tiba-tiba kulihat ada kerut di kedua ujung mataku. Setengah mati kututupi dengan bedak dan eye shadow tapi tak bisa. Serta merta ketika kuperiksa akar rambutku yang tertutup cat rambut, terlihat warna putih di sana. Kucoba untuk tetap tersenyum.
Suara klakson mobil Dex terdengar berkali-kali. Aku harus bergegas, namun pinggang ini mendadak sakit. Oh, rematik-ku kumat lagi! Memang di usia setua ini aku harus kurangi keluar malam terlalu sering. Ketika berjalan keluar, kuraih kado ulang tahun untuk Dex tersayang. Hari ini tepat ulang tahunnya yang ke 45 dan aku 43.
Jakarta, 2002
“Anax punk gax pantez gemux,” argumennya dalam bahasa kami.
Ada Inggris British dan Inggris Amrik. Kamu pun menciptakan Indonesia British. Maksudnya, bahasa Indonesia yang dibuat aksen Bristish. Kami memakainya saat ngobrol antara kami saja. Kelamaan jadi terbiasa dan kami gunakan pula ketika ngobrol dengan orang di luar kami.
Aku sendiri tengah meratapi cat rambut unguku yang mulai luntur. Beli lagi berarti uang lagi. Tapi Onix punya formula jitu membuat cat minyak jadi cat rambut awet lagi aman. Entah bahan kimia apa ditambahkannya pada cat minyak agar bisa jadi enak jatuh di rambut. Ia sudah buktikan dengan memakaikan sendiri cat minyak warna hijau ke rambut landaknya.
“Boleh zuga,” komentarku.
“Cobha saza. Zamin gax nyesals, dech!”
Sore itu kami kumpul di Loronkz Punx, sebuah lorong kecil diapit dua gedung megah. Lorong yang menjadi ‘jalan cacing’ bagi penduduk daerah situ. Lorong dimana ada penjual majalah, CD bajakan hingga berbagai aksesoris. Lorong tempat anak punk kumpul tanpa diganggu pandangan mata aneh.
Rix ternyata bawa Psichedelic, majalah punk Eropa yang entah ia dapat darimana. Biasanya sih hasil meng-hacker*. Kami langsung mengerumuninya seperti semut melihat gula. Teman kami lain yang semula asyik menjajal-jajal CD bajakan ikut membanjiri Psichedelic .
* * *
Aku tahu kalau usiaku tidak lagi bisa dibilang muda. Maka tidak heran kalau ibuku terus bercuap-cuap sepanjang aku berada di rumah. Ia mengeluh soal rambut pink-ku yang belum lama kucat lagi jadi ungu. Belum lagi kicauan tetangga nyinyir usil soal teman-teman dan pergaulanku. Untung aku bekerja di sebuah perusahaan iklan yang membebaskan karyawan berbusana aneh-aneh selagi masih dinilai sopan. Jadilah aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengenakan jeans rombeng . Tapi anting di hidung dan jaket kulitku diizinkan. Thanks God!
Kicauan ibu bukan sebatas cara dandan dan teman-temanku, namun merembet ke soal perjodohan dan pernikahan. Huek. Mau muntah aku mendengarnya. Katanya aku ini perawan tua salah gaul dalam dandanan orang stress . Gila betul ibuku, tega nian mengataiku demikian keji. Dia tidak tahu bahwa obsesiku untuk sebesar Patty Smith** dan Cyndi Lauper belum kesampaian sejak dulu. Dia tidak paham bahwa aku serasa hidup di dekade 1970-an di kawasan kumuh Amrik kalau sudah kumpul dengan teman-teman di Loronkz Punx. Aku jadi lupa kalau hidup di Indonesia, sebuah negeri tropis sumpek yang tak pernah menghargai puisi.
Di lorong itu pula aku bertemu teman-teman sealiran , seidealisme. Bisa diajak ngomong panjang lebar tentang Iggy Pop***, David Bowie, Andi Warhol, Basquiat**** sampai dengan kisah kasih Sid dan Nancy. Kami sempat punya band bernama ‘The Punxters’ yang kini tak pernah manggung lagi karena kesibukan kerja.
“Kamu sedangs apa, Nox,” suara Dex mengagetkanku. Malam minggu ini seperti biasa kami habiskan keliling kota berdua saja. Kami akan jalan-jalan atau sekedar nongrong hingga kelelahan dan berakhir di sebuah hotel murahan langganan kami.
Kupandangi wajah tirus Dex, lelakkiku dalam dua tahun belakangan ini. Sepintas ia mirip Sid Vicious*****. Karena itu juga mungkin aku dulu suka dia. Tapi aku sama sekali tak berminat punya kisah kasih mirip Nancy.
Ia mengepulkan asap rokok ke arahku, pertanda meminta jawaban segera. Aku terhenyak tak tahu harus bicara apa. Dex bukan tipe lelaki yang ingin cepat menikah. Aku hanya ingin bilang bahwa ibuku mengataiku perawan tua. Padahal sama sekali aku sudah tidak perawan, hahaha!
“Tidak apa-apa. Zuma melamun aza. Zampai kapan zinta kita terealisasi zebatas kamar hotel ini, ?”
Aku sendiri kaget dengan kelancaran kata-kata itu. Dex tidak kalah kaget. Kedua alisnya terangkat
.
“Kau kira zinta kita zuma zebatas kamar ini? Crazy!”
Lelaki kerempeng itu seperti kebakaran jenggot. Ada kemarahan di wajahnya.
Aku coba tidak peduli. Terus saja mengelagut sendiri. Aku tidak mau menyebut satu kata yang dibencinya, pernikahan.
“Aku tetap zinta kamu walau tidax dalam kamar hotel ini, Nox. Camkans itu!”
Aku paham betul maksudnya. Bahwa ia mencintaiku bukan cuma untuk bergelut di atas ranjang. Namun ia seolah tak mau mengerti bahwa sebagai perempuan aku juga butuh status jelas selain sebagai pacar yang bisa diajak tidur di hotel murahan setiap birahi memuncak.
Dex punya enam bersaudara dari bapak dan ibu berbeda-beda. Bapaknya kawin dua kali, begitu juga ibunya. Kemauakannya terhadap institusi pernikahan muncul dan berkembang sejak ia menjelang pubertas. Dalam usia semuda itu ia sudah menyaksikan ratusan bahkan ribuan kali pertengkaran dua bapak dan dua ibunya. Ada semacam dorongan kuat di batin Dex untuk tidak menciptakan sebuah keluarga. Adalah dosa membentuk sebuah keluarga besar tanpa setitik kebahagiaan.
Di awal hubungan kami dua tahun lalu ia sudah utarakan itu. Tak terbersit sedikitpun untuk menikah. Hari-hari pacaran kami bisa diisi dengan mendengar musik, baca buku, nonton film atau bercinta. Tapi tidak untuk membicarakan rencana pernikahan. Dan kenyataan itu baru mengusikku belakangan hari ini.
* * *
Sore menjelang malam minggu. Musik berdentam keras dari dalam kamar. Suara Nena Hagen menjerit-jerit seperti tikus terjepit pintu. Aku suka. Perempuan Jerman anti kemapanan dan meneriakan revolusi melalui lagu-lagunya. Seperti biasa, malam ini aku janji dengan Dex untuk jalan-jalan keliling kota. Puncak, tujuan kami malam ini untuk double date dengan Onix dan pacar barunya. Paling-paling sewa vila bersama. Menyenangkan, daripada di hotel murahan biasa.
Aku sibuk berdandan memantas-mantaskan baju apa yang harus kukenakan nanti. Jaket kulit kesayanganku sedang dicuci. Apa boleh buat, terpaksa dengan jaket jeans belel yang ditambal emblem berbagai merek baju ternama. Itu juga kesayanganku. Sebab untuk mendapatkan emblem merek topnya aku dan teman-teman sempat mengutil, merobeki koleksi baju di butik dan plaza elit. Taruhannya tentu saja nama baik dan kebebasan. Dan kami taruhan itu kami menangkan!
Aku masih melenggak-lenggokkan pinggul mengikuti gaya Nina Hagen di depan cermin. Sebelum tiba-tiba kulihat ada kerut di kedua ujung mataku. Setengah mati kututupi dengan bedak dan eye shadow tapi tak bisa. Serta merta ketika kuperiksa akar rambutku yang tertutup cat rambut, terlihat warna putih di sana. Kucoba untuk tetap tersenyum.
Suara klakson mobil Dex terdengar berkali-kali. Aku harus bergegas, namun pinggang ini mendadak sakit. Oh, rematik-ku kumat lagi! Memang di usia setua ini aku harus kurangi keluar malam terlalu sering. Ketika berjalan keluar, kuraih kado ulang tahun untuk Dex tersayang. Hari ini tepat ulang tahunnya yang ke 45 dan aku 43.
Jakarta, 2002
Sang Maestro (Cerpen tahun 1993)
Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos tanpa izin saya sebagai penulisnya, dan baru tahu dari teman di sana yang ujuk2 mengucapkan selamat. Ternyata koran daerah itu mengcopy-paste dari web Cybersastra yang pernah memuat juga. Sedih...boro2 honor, dimintai izin aja ngga. Hehehe. padahal zaman itu saya lagi super gembel in the dark ages!
***
Lahir ke dunia dan ia dinamai Salvador Dali. Terlalu berat menyandang nama seniman besar. Ayahnya begitu tergila-gila pada seniman setengah waras itu. Tanpa pikir panjang, jabang bayi yang baru lahir itu diberinama panggilan Dali. Menuruni bakat ayah, Dali tumbuh sebagai pelukis. Hingga panitia lomba lukis sempat mentertawainya ketika Dali mendaftar.
“Kalau bikin nama samaran kira-kira ,donk.”
“Itu nama asli. Mau lihat KTP?” Dali berang mengeluarkan KTP-nya.
Sang panitia hanya terbahak. Dasar seniman, pikirnya.
Bagi orang awam nama Dali tidak berpengaruh apapun. Teman-temannya hanya tahu kalau Dali itu pelukis, titik. Mereka paham jika Dali tak pernah mencatat di kelas. Setiap kali kuliah, duduk, dan terus melukis sampai jam kuliah usai. Tak pernah sibuk mengerjakan tugas dari dosen.
“Dali, ikut kami yuk,” ajak seorang teman sepulang dari kampus.
“Bawa peralatan lukismu, kita akan lama di sana.”
Kertas gambar, pinsil konte dan rapido adalah peralatan perang Dali. Dan Dali ikut saja kemana temannya pergi. Mereka tiba di sebuah barisan rumah-rumah petak berhimpitan. Lalu masuk ke salah satunya. Kamar itu remang-remang. Musik keras menyambut kedatangan mereka. Suasana pengap. Asap putih berhamburan memenuhi
ruangan. Ada bau aneh yang belum pernah Dali rasa.
“She comes in colour everywhere, she combs her hair, she likes the rainbow…” suara serak Mick Jagger memekakkan telinga.
“Kenalkan teman-teman, ini Dali si pelukis,” teman Dali memperkenalkan dirinya ke semua yang hadir.
Orang-orang memandanginya dengan tatapan mata dingin. Salah satu bangkit menjabat tangan Dali. Ia lebih tua beberapa tahun dari yang lain. Tapi jelas berjiwa muda.
“Inilah surga kami. Saat otak sarat dengan beban hidup, kami lari kemari untuk meringankan. Selamat datang, Dali.”
Kemudian tanpa dikomando mulailah sebuah ritual penyambutan. Teman Dali melinting kertas yang sebelumnya diisi daun-daun kering. Yang ada di pikiran Dali itu adalah rokok biasa, seperri yang biasa dihisap kebanyakan orang. Dibantu yang lain, lintingan itu bertambah banyak. Di sekitarnya orang-orang seperti tak sabar menunggu. Musik kian keras. Udara tambah pengap. Lintingan mulai dinyalakan dan diedarkan dari satu tangan ke tangan lain.
Giliran Dali menerima. Seperti yang lain, ia harus menghisapnya. Hisapan pertama Dali terbatuk. Yang lain terbahak menyaksikan. Dali menghisap lagi, kepalanya terasa pusing. Mata berarir. Pelukis pemula itu belum tahu benda apa yang dihisapnya. Habis lintingan di tangan, seseorang menyodorkan yang baru. Begitulah Dali terus menerus dicekoki.
Sejak hari itu Dali jadi ketagihan lintingan. Selesai kuliah ia bergabung dengan teman-teman menuju tempat biasa. Untuk selanjutnya Dali harus membayar setiap linting yang dihisap. Keluarga Dali tak pernah tahu anaknya menjadi pecandu. Mereka hanya tahu kalau Dali keluyuran untuk mencari ilham lukisan. Demikian juga kalau Dali mengunci diri di kamar.
Ya, sejak menghisap lintingan itu inspirsi yang datang jadi aneh-aneh. Dali suka itu. Lukisannya jadi punya ciri tersendiri. Maka kebutuhannya akan lintingan-lintingan ajaib itu bertambah besar.
“Uang lagi? Untuk apa? Bukankah kemarin kau baru minta uang buat beli cat?” Ayah Dali heran akan seringnya Dali minta uang.
“Buat beli diktat, sebentar lagi ujian.” Dali berbohong.
Dan uang pun didapat dengan mudah. Dali langsung ke tempat biasa ia mendapat rokok ajaibnya. Teler di sana, sebagian dibawa pulang ke rumah. Ayah Dali kagum dengan hasil lukisan anaknya belakangan ini. Tambah artistik dan punya ciri.
“Dali sudah menemukan alirannya,” pikr ayahnya.
“Apa dia tak terlalu banyak melukis?” tanya Ibu Dali.
“Dia rajin kuliah, Bu. Masa kau tidak perhatikan itu,” sergah sang ayah.
“Kau harus hati-hati membawanya. Jangan sampai diketahui orang luar termasuk keluargamu,” begitu pesan seorang teman.
“Ya, sekarang aku sedang butuh sekali. Sudah beberapa hari ini aku tak pakai dan inspirasi jadi macet. Aku tak bisa melukis tanpa benda itu," Dali mendesak.
Lama Dali baru sadar bahwa lintingan-lintingan yang sangat ia butuhkan itu adalah gele alias ganja. Ada rasa takut menghinggapi. Namun kebutuhannya akan benda laknat itu membuatnya tak peduli. Setiap kali sehabis menghisap lintingan itu ada inspirsi aneh timbul. Diambilnya kuas dan cat, lalu mencorat-coret di atas kanvas. Hasilnya luar biasa. Dali puas. Hilang sudah ketakutannya.
Tanpa terasa lukisan Dali sudah banyak sekali. Hampir tak ada tempat di rumah untuk menampungnya. Ayah Dali sangat bangga. Ia mengundang beberapa teman kritikus seni untuk menilai lukisan anaknya.
“Fantastis! Luar biasa! Seorang Salvador Dali junior telah lahir!” Begitu komentarnya.
“Generasi penerus aliran surealis!” kata yang lain lagi.
Dan masih banyak komentar lain mengagungkan karya Dali. Itu membuat Dali semakin gila melukis. Kuliahnya berantakan. Bagi ayah Dali itu tak masalah, sebab karir Dali sebagai pelukis lebih penting. Kelamaan ayah Dali heran juga atas kebutuhan anaknya yang kian membengkak.
“Sebetulnya buat apa uang itu, Anakku? Jujurlah, ayah takkan marah.”
Dali tak berani berterus terang. Sama saja bunuh diri. Dan ia terus berbohong. Mungkin ayahnya tak percaya tapi uang itu tetap diberikan.
Teman-teman Dali selalu berbaik hati memberi berapa saja jumlah lintingan ganja yang dibutuhkan. Pelukis itu jadi pemasok dana terbesar. Kebutuhannya akan lintingan itu melebihi yang lain. Dali jadi seratus persen tergantung pada benda laknat itu. Bahkan ia tak bisa lagi berbuat apa-apa tanpanya. Apalagi ayah Dali terus mendesak agar anaknya berkarya lebih baik lagi. Dali semakin terperosok dalam kekuasaan asap-asap putih.
“Sebuah pameran, kau dengar itu Dal? Kau akan menggelar pameran bersama beberapa seniman muda ternama lain. Kau dan karya terbaikmu!” Ayah Dali menyampaikan kabar baik dengan wajah berbinar di suatu hari.
“Siapa yang membuat, Yah?”
“Kau tak tahu hampir semua kritikus seni mengakui kehebatanmu, Nak?”
Dali hanya terdiam tanpa ekspresi. Dia serupa robot yang digerakkan ayahnya dengan bahan bakar ganja.
“Dan kalau pameran itu sukses mereka menjanjikan pameran tunggal buatmu…”
Entah apalagi yang diucapkan ayahnya. Dali tak bisa menangkap jelas kata-katanya. Pikirannya hanya mengelangut jauh. Pameran? Itu berarti karyanya akan dinilai banyak orang. Ia harus menghasilkan karya yang lebih baik. Itu berarti semakin banyak membutuhkan lintingan ganja untuk memancing inspirasi. Semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk membeli. Dali memutar otak. Apalagi cara untuk mendapat uang? Ia sudah terlalu banyak berbohong pada ayah. Lalu diputuskan untuk mengambil uang tabungan. Sebetulnya itu simpanan untuk masa depan. Persetan masa depan, yang penting sekarang.
Begitulah, Dali menggerogoti uang tabungan hingga ludes sama sekali. Pamerannya sukses. Beberapa lukisannya terjual dengan harga tinggi. Uang yang didapat langsung dibelikan ganja dan mentraktir teman-teman.
“Tidak percuma kita punya teman pelukis ulung. Ayo kita fly sampai pagi!” Teman-teman Dali mengagungkan dirinya. Juga semua orang yang mengenalnya. Ayahnya, keluarga, pecinta seni, hingga para berandal tengik jalanan yang sering ditraktirnya.
Mau tak mau Dali harus memenuhi keinginan ayahnya untuk mengadakan pameran tunggal. Semua sudah tersedia. Tinggal karya-karya Dali yang ditunggu. Untuk itu Dali butuh banyak sekali ganja demi lancarnya inspirasi. Tapi uang sudah ludes.
“Ayolah, akan kubayar nanti setelah pameran,” Dali mendesak temannya.
“Ya, aku percaya pameranmu pasti sukses. Oke, ambil berapapun yang kau butuhkan. Akan kucatat semua hutangmu.” Dali terlibat hutang cukup besar. Semua temannya yakin ia mampu membayar, bahkan lebih dari harga biasa.
Dan begitulah hidup Dali terus berlangsung. Teler, melukis, berpameran. Berhutang, teler lagi, melukis lagi. Kuliah sudah lama ditinggalkan. Tidak masalah, karena ia seorang seniman besar. Semua bangga pada Dali. Tak ada hal lain yang dipikirkan Dali selain melukis dan mabuk. Ia menarik diri dari pergaulan anak muda. Melukis adalah pekerjaan mencari nafkah. Semua menjulukinya jenius. Tapi ia sendiri merasa tak lebih sebagai mesin produksi. Keadaan ini membuat Dali frustasi. Untuk mecari jalan keluar, dicarinya cara lebih ampuh.
Seorang teman menyodorkan serbuk putih lembut. Jika dihirup akan membuat perasaan jadi nyaman. Dali bisa melupakan semuanya. Hidup jadi lebih ringan.
“Barang ini lebih mahal dari yang biasa. Mendapatkannya juga lebih susah.”
“Berapapun harganya akan kubayar sesudah pameran,” Dali tertarik setelah mencoba beberapa saat.
“Pameran? Pameran apa? Kau tak pernah lagi melukis. Kerjaanmu hanya teler di sini.”
“Lukisanku masih banyak, jadi tak perlu melukis. Akan kubayar sesudah pameran seperti biasa!” Dali mendesak geram.
Setelah mendapatkan serbuk kristal putih itu, ia asyik tenggelam dalam dunianya sendiri. Tapi kini ia tak mampu melukis lagi. Inspirasi datang dan pergi tanpa memberi kesempatan untuk menuangkannya dalam kanvas. Itu justru membuat Dali menambah dosis serbuk putih yang dihirup. Ia lupa bahwa sebentar lagi pameran tunggalnya yang entah keberapa akan segera dibuka di sebuah hotel bintang lima.
Sementara itu ayah Dali kebingungan. Pameran akan dimulai beberapa menit lagi tapi Dali tak kunjung pulang. Akhirnya mereka sekeluarga menuju ke hotel dengan harapan Dali sudah berada di sana.
Ternyata ruang pameran sudah ramai pengunjung. Semua orang menunggu sang pelukis tiba untuk peresmian pembukaan pameran karyanya. Menteri, pejabat, selebriti, seniman dan pencinta lukisan hadir.
Satu jam, dua jam. Dali tak kunjung muncul. Pengunjung mulai kehilangan kesabaran. Keluarga Dali yang paling panik. Tak lama terdengar bisik-bisik antar pengunjung. Wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata ada yang baru datang. Seorang pria tegap tampil di tengah podium.
“Mohon perhatian, para pengunjung sekalian. Acara pembukaan pameran lukisan karya Salvador Dali terpaksa dibatalkan. Izinnya dicabut beberapa jam lalu.” Suaranya tegas terdengar jelas. Hadirin gempar. Keributan terjadi. Wartawan mengerumuni pria yang tertnyata adalah polisi itu.
“Apa alasan pembatalan izin itu, Pak?”
“Dimana Salvador Dali?” Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan.
“Tenang…tenang…semua akan dijawab satu-satu,” orang itu menjawab lantang.
“Dengan berat hati saya sampaikan, terutama untuk keluarga yang bersangkutan. Seniman Salvador Dali ditemukan overdosis sejam yang lalu. Ia bersama teman-temannya dipergoki menggunakan obat terlarang. Kini mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.”
Ayah Dali ambruk. Ibu Dali menjerit histeris lalu pingsan. Pengunjung gempar luar biasa. Wartawan sibuk menjepretkan kamera sana-sini. Suasana jadi rusuh.
***
pinggiran jakarta, oktober 1993
***
Lahir ke dunia dan ia dinamai Salvador Dali. Terlalu berat menyandang nama seniman besar. Ayahnya begitu tergila-gila pada seniman setengah waras itu. Tanpa pikir panjang, jabang bayi yang baru lahir itu diberinama panggilan Dali. Menuruni bakat ayah, Dali tumbuh sebagai pelukis. Hingga panitia lomba lukis sempat mentertawainya ketika Dali mendaftar.
“Kalau bikin nama samaran kira-kira ,donk.”
“Itu nama asli. Mau lihat KTP?” Dali berang mengeluarkan KTP-nya.
Sang panitia hanya terbahak. Dasar seniman, pikirnya.
Bagi orang awam nama Dali tidak berpengaruh apapun. Teman-temannya hanya tahu kalau Dali itu pelukis, titik. Mereka paham jika Dali tak pernah mencatat di kelas. Setiap kali kuliah, duduk, dan terus melukis sampai jam kuliah usai. Tak pernah sibuk mengerjakan tugas dari dosen.
“Dali, ikut kami yuk,” ajak seorang teman sepulang dari kampus.
“Bawa peralatan lukismu, kita akan lama di sana.”
Kertas gambar, pinsil konte dan rapido adalah peralatan perang Dali. Dan Dali ikut saja kemana temannya pergi. Mereka tiba di sebuah barisan rumah-rumah petak berhimpitan. Lalu masuk ke salah satunya. Kamar itu remang-remang. Musik keras menyambut kedatangan mereka. Suasana pengap. Asap putih berhamburan memenuhi
ruangan. Ada bau aneh yang belum pernah Dali rasa.
“She comes in colour everywhere, she combs her hair, she likes the rainbow…” suara serak Mick Jagger memekakkan telinga.
“Kenalkan teman-teman, ini Dali si pelukis,” teman Dali memperkenalkan dirinya ke semua yang hadir.
Orang-orang memandanginya dengan tatapan mata dingin. Salah satu bangkit menjabat tangan Dali. Ia lebih tua beberapa tahun dari yang lain. Tapi jelas berjiwa muda.
“Inilah surga kami. Saat otak sarat dengan beban hidup, kami lari kemari untuk meringankan. Selamat datang, Dali.”
Kemudian tanpa dikomando mulailah sebuah ritual penyambutan. Teman Dali melinting kertas yang sebelumnya diisi daun-daun kering. Yang ada di pikiran Dali itu adalah rokok biasa, seperri yang biasa dihisap kebanyakan orang. Dibantu yang lain, lintingan itu bertambah banyak. Di sekitarnya orang-orang seperti tak sabar menunggu. Musik kian keras. Udara tambah pengap. Lintingan mulai dinyalakan dan diedarkan dari satu tangan ke tangan lain.
Giliran Dali menerima. Seperti yang lain, ia harus menghisapnya. Hisapan pertama Dali terbatuk. Yang lain terbahak menyaksikan. Dali menghisap lagi, kepalanya terasa pusing. Mata berarir. Pelukis pemula itu belum tahu benda apa yang dihisapnya. Habis lintingan di tangan, seseorang menyodorkan yang baru. Begitulah Dali terus menerus dicekoki.
Sejak hari itu Dali jadi ketagihan lintingan. Selesai kuliah ia bergabung dengan teman-teman menuju tempat biasa. Untuk selanjutnya Dali harus membayar setiap linting yang dihisap. Keluarga Dali tak pernah tahu anaknya menjadi pecandu. Mereka hanya tahu kalau Dali keluyuran untuk mencari ilham lukisan. Demikian juga kalau Dali mengunci diri di kamar.
Ya, sejak menghisap lintingan itu inspirsi yang datang jadi aneh-aneh. Dali suka itu. Lukisannya jadi punya ciri tersendiri. Maka kebutuhannya akan lintingan-lintingan ajaib itu bertambah besar.
“Uang lagi? Untuk apa? Bukankah kemarin kau baru minta uang buat beli cat?” Ayah Dali heran akan seringnya Dali minta uang.
“Buat beli diktat, sebentar lagi ujian.” Dali berbohong.
Dan uang pun didapat dengan mudah. Dali langsung ke tempat biasa ia mendapat rokok ajaibnya. Teler di sana, sebagian dibawa pulang ke rumah. Ayah Dali kagum dengan hasil lukisan anaknya belakangan ini. Tambah artistik dan punya ciri.
“Dali sudah menemukan alirannya,” pikr ayahnya.
“Apa dia tak terlalu banyak melukis?” tanya Ibu Dali.
“Dia rajin kuliah, Bu. Masa kau tidak perhatikan itu,” sergah sang ayah.
“Kau harus hati-hati membawanya. Jangan sampai diketahui orang luar termasuk keluargamu,” begitu pesan seorang teman.
“Ya, sekarang aku sedang butuh sekali. Sudah beberapa hari ini aku tak pakai dan inspirasi jadi macet. Aku tak bisa melukis tanpa benda itu," Dali mendesak.
Lama Dali baru sadar bahwa lintingan-lintingan yang sangat ia butuhkan itu adalah gele alias ganja. Ada rasa takut menghinggapi. Namun kebutuhannya akan benda laknat itu membuatnya tak peduli. Setiap kali sehabis menghisap lintingan itu ada inspirsi aneh timbul. Diambilnya kuas dan cat, lalu mencorat-coret di atas kanvas. Hasilnya luar biasa. Dali puas. Hilang sudah ketakutannya.
Tanpa terasa lukisan Dali sudah banyak sekali. Hampir tak ada tempat di rumah untuk menampungnya. Ayah Dali sangat bangga. Ia mengundang beberapa teman kritikus seni untuk menilai lukisan anaknya.
“Fantastis! Luar biasa! Seorang Salvador Dali junior telah lahir!” Begitu komentarnya.
“Generasi penerus aliran surealis!” kata yang lain lagi.
Dan masih banyak komentar lain mengagungkan karya Dali. Itu membuat Dali semakin gila melukis. Kuliahnya berantakan. Bagi ayah Dali itu tak masalah, sebab karir Dali sebagai pelukis lebih penting. Kelamaan ayah Dali heran juga atas kebutuhan anaknya yang kian membengkak.
“Sebetulnya buat apa uang itu, Anakku? Jujurlah, ayah takkan marah.”
Dali tak berani berterus terang. Sama saja bunuh diri. Dan ia terus berbohong. Mungkin ayahnya tak percaya tapi uang itu tetap diberikan.
Teman-teman Dali selalu berbaik hati memberi berapa saja jumlah lintingan ganja yang dibutuhkan. Pelukis itu jadi pemasok dana terbesar. Kebutuhannya akan lintingan itu melebihi yang lain. Dali jadi seratus persen tergantung pada benda laknat itu. Bahkan ia tak bisa lagi berbuat apa-apa tanpanya. Apalagi ayah Dali terus mendesak agar anaknya berkarya lebih baik lagi. Dali semakin terperosok dalam kekuasaan asap-asap putih.
“Sebuah pameran, kau dengar itu Dal? Kau akan menggelar pameran bersama beberapa seniman muda ternama lain. Kau dan karya terbaikmu!” Ayah Dali menyampaikan kabar baik dengan wajah berbinar di suatu hari.
“Siapa yang membuat, Yah?”
“Kau tak tahu hampir semua kritikus seni mengakui kehebatanmu, Nak?”
Dali hanya terdiam tanpa ekspresi. Dia serupa robot yang digerakkan ayahnya dengan bahan bakar ganja.
“Dan kalau pameran itu sukses mereka menjanjikan pameran tunggal buatmu…”
Entah apalagi yang diucapkan ayahnya. Dali tak bisa menangkap jelas kata-katanya. Pikirannya hanya mengelangut jauh. Pameran? Itu berarti karyanya akan dinilai banyak orang. Ia harus menghasilkan karya yang lebih baik. Itu berarti semakin banyak membutuhkan lintingan ganja untuk memancing inspirasi. Semakin banyak pula uang yang dibutuhkan untuk membeli. Dali memutar otak. Apalagi cara untuk mendapat uang? Ia sudah terlalu banyak berbohong pada ayah. Lalu diputuskan untuk mengambil uang tabungan. Sebetulnya itu simpanan untuk masa depan. Persetan masa depan, yang penting sekarang.
Begitulah, Dali menggerogoti uang tabungan hingga ludes sama sekali. Pamerannya sukses. Beberapa lukisannya terjual dengan harga tinggi. Uang yang didapat langsung dibelikan ganja dan mentraktir teman-teman.
“Tidak percuma kita punya teman pelukis ulung. Ayo kita fly sampai pagi!” Teman-teman Dali mengagungkan dirinya. Juga semua orang yang mengenalnya. Ayahnya, keluarga, pecinta seni, hingga para berandal tengik jalanan yang sering ditraktirnya.
Mau tak mau Dali harus memenuhi keinginan ayahnya untuk mengadakan pameran tunggal. Semua sudah tersedia. Tinggal karya-karya Dali yang ditunggu. Untuk itu Dali butuh banyak sekali ganja demi lancarnya inspirasi. Tapi uang sudah ludes.
“Ayolah, akan kubayar nanti setelah pameran,” Dali mendesak temannya.
“Ya, aku percaya pameranmu pasti sukses. Oke, ambil berapapun yang kau butuhkan. Akan kucatat semua hutangmu.” Dali terlibat hutang cukup besar. Semua temannya yakin ia mampu membayar, bahkan lebih dari harga biasa.
Dan begitulah hidup Dali terus berlangsung. Teler, melukis, berpameran. Berhutang, teler lagi, melukis lagi. Kuliah sudah lama ditinggalkan. Tidak masalah, karena ia seorang seniman besar. Semua bangga pada Dali. Tak ada hal lain yang dipikirkan Dali selain melukis dan mabuk. Ia menarik diri dari pergaulan anak muda. Melukis adalah pekerjaan mencari nafkah. Semua menjulukinya jenius. Tapi ia sendiri merasa tak lebih sebagai mesin produksi. Keadaan ini membuat Dali frustasi. Untuk mecari jalan keluar, dicarinya cara lebih ampuh.
Seorang teman menyodorkan serbuk putih lembut. Jika dihirup akan membuat perasaan jadi nyaman. Dali bisa melupakan semuanya. Hidup jadi lebih ringan.
“Barang ini lebih mahal dari yang biasa. Mendapatkannya juga lebih susah.”
“Berapapun harganya akan kubayar sesudah pameran,” Dali tertarik setelah mencoba beberapa saat.
“Pameran? Pameran apa? Kau tak pernah lagi melukis. Kerjaanmu hanya teler di sini.”
“Lukisanku masih banyak, jadi tak perlu melukis. Akan kubayar sesudah pameran seperti biasa!” Dali mendesak geram.
Setelah mendapatkan serbuk kristal putih itu, ia asyik tenggelam dalam dunianya sendiri. Tapi kini ia tak mampu melukis lagi. Inspirasi datang dan pergi tanpa memberi kesempatan untuk menuangkannya dalam kanvas. Itu justru membuat Dali menambah dosis serbuk putih yang dihirup. Ia lupa bahwa sebentar lagi pameran tunggalnya yang entah keberapa akan segera dibuka di sebuah hotel bintang lima.
Sementara itu ayah Dali kebingungan. Pameran akan dimulai beberapa menit lagi tapi Dali tak kunjung pulang. Akhirnya mereka sekeluarga menuju ke hotel dengan harapan Dali sudah berada di sana.
Ternyata ruang pameran sudah ramai pengunjung. Semua orang menunggu sang pelukis tiba untuk peresmian pembukaan pameran karyanya. Menteri, pejabat, selebriti, seniman dan pencinta lukisan hadir.
Satu jam, dua jam. Dali tak kunjung muncul. Pengunjung mulai kehilangan kesabaran. Keluarga Dali yang paling panik. Tak lama terdengar bisik-bisik antar pengunjung. Wartawan sibuk mencari informasi. Ternyata ada yang baru datang. Seorang pria tegap tampil di tengah podium.
“Mohon perhatian, para pengunjung sekalian. Acara pembukaan pameran lukisan karya Salvador Dali terpaksa dibatalkan. Izinnya dicabut beberapa jam lalu.” Suaranya tegas terdengar jelas. Hadirin gempar. Keributan terjadi. Wartawan mengerumuni pria yang tertnyata adalah polisi itu.
“Apa alasan pembatalan izin itu, Pak?”
“Dimana Salvador Dali?” Bertubi-tubi pertanyaan dilontarkan.
“Tenang…tenang…semua akan dijawab satu-satu,” orang itu menjawab lantang.
“Dengan berat hati saya sampaikan, terutama untuk keluarga yang bersangkutan. Seniman Salvador Dali ditemukan overdosis sejam yang lalu. Ia bersama teman-temannya dipergoki menggunakan obat terlarang. Kini mereka dalam perjalanan ke rumah sakit.”
Ayah Dali ambruk. Ibu Dali menjerit histeris lalu pingsan. Pengunjung gempar luar biasa. Wartawan sibuk menjepretkan kamera sana-sini. Suasana jadi rusuh.
***
pinggiran jakarta, oktober 1993
Lithany Membunuh Sepi (Cerpen tahun 2002)
Kenapa hari berlalu begitu cepat? Lagi-lagi hari ini sudah Sabtu dan besoknya lagi Minggu.
Lithany kesal benar dengan dua hari tersebut. Kalau bisa meminta, ia ingin hari Sabtu dan Minggu ditiadakan dari kalender. Dan semua orang harus bekerja terus menerus seumur hidup tanpa kenal tanggal merah dan akhir pekan.
Kebanyakan orang menunggu-nunggu akhir pekan, tidak bagi Lithany. Akhir pekan serasa neraka waktu tiada akhir yang mesti dirasa. Pada dua hari biadab itu ia akan berjalan seorang diri di lorong-lorong kota membunuhi waktu yang berjalan begitu pelan. Demikian lambatnya hingga dua hari serasa dua tahun penuh durjana.
Di Jumat malam Lithany akan menekuni buku alamat. Mencari-cari nama teman, baru atau lama, yang bisa dihubungi. Sesudahnya ia akan sibuk menekan tombol telepon menghubungi mereka satu-satu.
“Halo, bisa bicara dengan Nani? Oh, sedang keluar? Kapan kembali? Oh ya, baiklah,” diletakkan gagang telepon.
“Halo, Dani? Besok ada acara? Baiklah, tak apa. Oh aku baik-baik saja. Sampai jumpa.”
“Halo? Tidak, saya temannya. Biar besok saya hubungi lagi.”
“Arta? Selamat berakhir pekan kalau begitu.”
Lithany kesal benar dengan dua hari tersebut. Kalau bisa meminta, ia ingin hari Sabtu dan Minggu ditiadakan dari kalender. Dan semua orang harus bekerja terus menerus seumur hidup tanpa kenal tanggal merah dan akhir pekan.
Kebanyakan orang menunggu-nunggu akhir pekan, tidak bagi Lithany. Akhir pekan serasa neraka waktu tiada akhir yang mesti dirasa. Pada dua hari biadab itu ia akan berjalan seorang diri di lorong-lorong kota membunuhi waktu yang berjalan begitu pelan. Demikian lambatnya hingga dua hari serasa dua tahun penuh durjana.
Di Jumat malam Lithany akan menekuni buku alamat. Mencari-cari nama teman, baru atau lama, yang bisa dihubungi. Sesudahnya ia akan sibuk menekan tombol telepon menghubungi mereka satu-satu.
“Halo, bisa bicara dengan Nani? Oh, sedang keluar? Kapan kembali? Oh ya, baiklah,” diletakkan gagang telepon.
“Halo, Dani? Besok ada acara? Baiklah, tak apa. Oh aku baik-baik saja. Sampai jumpa.”
“Halo? Tidak, saya temannya. Biar besok saya hubungi lagi.”
“Arta? Selamat berakhir pekan kalau begitu.”
Subscribe to:
Posts (Atom)