Sunday, February 7, 2010

Obama dan Saya

Kami sama-sama lahir dan besar dalam keluarga berbudaya dan agama majemuk. Sama-sama dibesarkan oleh kakek dan nenek, akibat orang tua bercerai. Kami juga punya saudara-saudara tiri dari pernikahan selanjutnya para orang tua kami. Saudara-saudara kami itu berasal dari etnis, agama, yang beragam, membuat kami lebih menghargai perbedaan.

Di masa kecil, ia banyak mengalami guncangan mental akibat menjadi mulato, anak hasil pernikahan campuran kulit putih dan kulit hitam. Saat kecil saya dulu juga bingung, saya ini pribumi asli atau China, karena saya memang perpaduan keduanya.

Di kalangan kaum putih, ia dianggap terlalu hitam, rambutnya juga kriting, sama sekali tak mirip bule. Di kerabat yang hitam, ia tetap dianggap bukan hitam murni. Di kalangan teman pribumi Indonesia, saya tidak disebut pribumi, sebab mata saya kurang besar dan kulit terlalu putih. Tapi di kalangan teman yang China murni, saya juga dikucilkan karena kulit saya tak seputih mereka dan mata saya tak sesipit mereka.

Kamu yang bukan hasil kawin campuran dua negara berbeda tak pernah mengalami itu.

Obama remaja makin mirip ayahnya, bukan ibunya yang bule abis. "Jika saya berdiri di depan kafe menunggu seseorang, maka akan ada orang melemparkan kunci mobilnya ke saya, menyuruh memarkirkannya," kata Obama dalam buku Dreams from My Father. Hanya karena ia hitam, dia identik dengan valet parkir. Seolah tak pernah pantas menjadi tamu sebuah tempat mewah.

Peristiwa yang sama persis saya alami saat berkunjung ke kerabat yang masih China totok asli. Mereka kedatangan famili lain sesama China totok. Dan saya dikira pembantu karena kulit saya kurang putih dan mata saya kurang sipt. Apalagi cara berpakaian saya sudah sangat pribumi Indonesia banget, kaos dan jeans.

Waktu nama Obama mulai menanjak sebagai calon presiden Amerika Serikat, saya sama sekali tak tertarik, sebab terlalu banyak orang Indonesia memuja-mujanya hanya karena ia pernah tinggal di Indonesia. Saya bukan manusia mainstream yang suka mengikuti arus. Jadi walau saya agak berminat dengan kisah hidupnya, saya bersikap biasa saja. Apalagi saya sempat terpengaruh pola pikir bahwa Amerika itu negara belagu, sok kuasa, ikut campur urusan negara lain, pusat kapitalisme, dan segala hal buruk tentang sebuah negara yang menyetir negara berkembang.

Apa daya, media memborbardir saya dengan aneka informasi tentang lelaki dengan gaya orasi memikat itu. Fakta bahwa ia orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika, tak bisa dibantah memang layak disaluti. Ia mendobrak hegemoni kaum White Anglo Saxon Protestant (WASP) di Amrik.

Di saar banyak pro dan kontra mengenai Obama sebagai presiden Amrik, apakah ia akan membawa kedamaian dunia, apakah dia berbeda dengan presiden Amerika sebelumnya, apakah ia hanya bermulut manis pada negara musuh, saya punya pola pandang lain.

Obama di mata saya terlalu hebat untuk menjadi presiden Amerika, presiden negara yang terlanjur dikenal adidaya dan pusat kapitalisme, menjajah dunia dengan gaya hidup dan dolarnya. Obama yang idealis, punya banyak tautan batin dengan bangsa luar Amerika, kaya pengalaman budaya dan agama, humanis universal, seolah menjadi simbol keragaman umat manusia. Mampukah Obama mengubah citra Amerika? Sulit!

Ingat bagaimana keluarga John F Kennedy dihabisi? Kennedy adalah orang non WASP pertama yang menjadi presiden AS. Ia katolik, sebuah anomali karena sebelumnya semua presiden AS adalah protestan. Dan kini Obama jauh lebih anomali lagi. Saya melihat Obama sudah dijadikan simbol keberagaman ras dan agama oleh orang Amerika dan sebagian dunia. Ya, itu bagus. Hanya masalahnya, ia justru akan dijadikan bulan-bulanan politik juga.

Mampukah Obama seorang diri memperjuangkan humanisme? Ia dikelilingi para senat, kabinet, pendukungnya, yang tentu saja masih didominasi kaum WASP. Dengan pandangan mereka yang ingin mempertahankan Amerika sebagai negara adidaya dan pusat kapitalisme, citra antimuslim, imej ingin menguasai semua sumber minyak di Timur Tengah, saya sedikit pesimis Obama mampu berjuang seorang diri.

Saya justru simpati plus iba, idealisme seorang Obama sudah dijadikan semacam "model iklan" oleh politikus di sekitarnya. Saya justru menduga ada skenario khusus mengapa Obama terpilih sebagai presiden AS, yakni sebagai upaya memperbaiki citra buruk AS, upaya meraih simpati umat muslim radikal, simpati negara-negara berkembang seperti Kenya dan Indonesia. Dengan kata lain, para politikus Amerika memanfaatkan latar belakang Obama demi tujuan lain.

Obama terlalu bagus untuk Amerika.
Sebagai sesama anak dengan latarbelakang sama, saya tahu pasti itu.

*lho baru ingat hari ini, 4 Juli, bertepatan dengan kemerdekaan AS*

No comments: