Sunday, February 7, 2010

Kami Tidak Diistimewakan, Tapi Kami Memang ISTIMEWA!

*Tulisan ini saya persembahkan buat semua anak yatim piatu sedunia, baik yatim piatu secara harfiah atau hanya kiasan, seperti misalnya dibuang ortunya dan diasuh oleh keluarga lain.*

Masih ingat betul seorang kerabat curhat ketika ayahnya belum lama wafat. "Setelah ayah ngga ada, perilaku orang sama kami anak-anaknya jadi beda. Ngga sehormat kayak waktu dulu ayah hidup." Waktu dengar curhat sekilas itu aku masih usia SD atau SMP, jadi ngga paham. Nenekku menjelaskan bahwa jika orang tua meninggal, maka anak-anak akan diperlakukan beda oleh orang sekitarnya. Saat itu, kerabatku tadi resmi menjadi yatim piatu.

Lebih jauh ia bertutur tentang tetangga, famili jauh, teman-teman almarhum ayahnya yang pelan tapi pasti menjauh. Kalaupun masih bersua, mereka jadi jaga jarak. Intinya, sejak seseorang tak punya lagi orang tua, maka otomatis perlakuan sekitar padanya jadi berubah. Bisa jadi tak sehormat dulu lagi, karena ternyata selama ini orang hanya memandang ortunya saja.

Beranjak dewasa, perbedaan antara anak yang ortunya masih ada dan tidak ada atau tidak jelas seperti saya, makin terasa. Secara de facto bisa dikatakan saya "yatim piatu", sebab ibu sudah tak ada, ayah kandung sudah tak mengurusi saya sejak lahir. Saya diasuh kakek dan nenek hingga mereka mangkat dan saya mandiri di bangku kuliah.

Saya mengamati, anak-anak dengan ortu jelas mendapat privilege khusus dari orang sekitarnya.Jika bersua, maka akan disapa, "Ooo kamu anaknya pak Anu ya, hebat! Apa kabar bapakmu? Duh kamu sepintar dia." Atau, "Lho kamu anaknya bu Anu kan? Gimana kabar ibumu? Kamu cantik ya mirip dia."
Jika mendulang prestasi, pujian pun berlipat ganda. "Wah, selamat ya! Siapa dulu bapaknya!". Beda dengan saya yang sejak lama bebas dari bayang-bayang orang tua karena memang tak ada figur orang tua yang jelas. Pujian sekitar paling cuma, "Selamat ya!". Gitu aja.

Privilege lain yang lebih dahsyat bisa didapatkan anak-anak dengan ortu jelas. Misalnya mendapat warisan, koneksi bekerja di kantor keren berkat nama besar orang tua, dan sebagainya. Atau bisa minjam uang ke kerabat karena jaminan nama ortu. Belum lagi kalo ortunya punya jabatan tinggi atau orang top, pastinya si anak mendapat keistimewaan emas tanpa peduli perilakunya minus, otaknya kosong atau bahkan moralnya nol. Belum lagi puja puji orang sekitar yang cari muka pada sang ortu, pura-pura suka sama si anak padahal dalam hati pengen gamparin karena benci, tapi ngga dilakukan demi bisa menjilat ortunya.

Semua itu tak pernah kami dapatkan. Ya, kami, anak-anak yatim piatu baik secara harfiah maupun kondisi. Kami harus berjuang sendiri tanpa bayang-bayang ortu. Mencari koneksi sendiri, membuat orang bisa menghargai kami tanpa peduli siapa ortu kami. Berjuang keras agar kami diterima apa adanya sebagai diri kami, tanpa orang tahu ortu kami.

Mungkin ini pula yang membuat saya tergila-gila dengan film Oliver Twist yang diangkat dari buku Charles Dickens. Atau kini saya menjadikan Steve Jobs sebagai panutan. Keduanya adalah tokoh yatim piatu luar biasa yang berjuang sendirian tanpa nama besar ortu. Tanpa segala privilege yang dipunyai anak-anak dengan ortu jelas. Ya, jika Steve Jobs bisa sukses, mengapa saya tidak?

No comments: