Wednesday, November 10, 2010

Kasta Juga Ada di Dunia Maya

Twitter itu tidak egaliter. Padahal dunia maya banyak disuka akibat sifatnya yang egaliter alias membuat semua orang menjadi setara. Sebaliknya, Facebook sangat egaliter. Itu sebabnya member Facebook jauh lebih membanjir ketimbang Twitter.

Fakta di atas sudah saya rasakan saat pertama join Twitter, dan merasa kurang nyaman di dalamnya. Itu membuat saya tidak rajin ngetwit, setelah join saya kembali ke Facebook. Akun twitter saya diamkan saja sampai beberapa bulan. Lebih tenggelam dalam Facebook.

Egaliter seperti apa?



Konsep dalam Facebook, saat kita menambahkan orang menjadi teman, otomatis kita juga menjadi teman dia, ada di daftar temannya. Baik saya maupun dia sama-sama bisa saling kirim pesan, mendapat info apa saja yang dia lakukan, bahkan bisa chat langsung. Hanya semua itu harus persetujuan orang yang ingin kita jadikan teman. Kondisi ini membuat seorang tukang becak bisa berinteraksi dengan menteri. Seorang artis top dapat berkomunikasi dengan penjaga warnet. Seorang pengusaha sukses dapat ngobrol dengan tukang pecel.

Pada Twitter, kita bisa follow siapa saja tanpa persetujuannya. Namun dia belum tentu follow balik kita. Kita tahu semua isi twitnya, dia tidak. Bahkan kita ngga bisa kirim pesan pribadi ke dia, sebab dia tidak follow kita. Pada kasus seorang artis top bisa saja punya follower ratusan ribu atau jutaan, sementara dia hanya mem-follow 100 atau 200 orang saja. Bahkan interaksi menjadi tidak imbang, sebab ia membatasi diri dengan merespon beberapa teman yang ia kenal baik.

Akibat sifat Twitter yang non egaliter, muncullah yang namanya kasta atau kelas sosial. Ada even seperti kopdar alias copy darat atau seminar dimana yang punya akses istimewa adalah pemilik akun tertentu yang memang berinteraksi dengan “sesamanya”.

Makin diamati, kelas atau kasta-kasta dalam Twitter makin ketara. Kita dapat melihat siapa selalu berinteraksi dengan siapa, atau tokoh tertentu intens melakukan “mention” atau me-ReTweet (RT) twit siapa. Cukup dengan mengamati Timeline (TL) seseorang, segera dapat terbaca dia itu masuk kasta mana. Politisi cenderung berinteraksi dengan sesama politisi yang seideologi, kalaupun dengan “rakyat jelata”, ia batasi dengan mereka yang mendukung ideologinya. Kadang ada yang meladeni pihak yang berseberangan ideologi, namun sebiasanya ini mereka hindari, sebab sering berujung pada caci maki bahkan blocking.
Kenapa saya sebut “kasta”? Apakah saya rancu dengan “komunitas”? Ya, kasta, bukan komunitas. Kalau ada banyak komunitas di dunia maya, itu benar.  Tapi kasta?  

Menarik mengetahui ada beberapa orang berkomentar pada saya, “Ah itu kan acara mereka.” Atau “Yang diundang ke acara itu ya dia lagi, dia lagi.” Atau, “Dia kan selebtwit, beda sama kita.”
Susah mendefinisikan “selebtwit”. Jelas ini bukan selebriti dunia nyata seperti artis atau sejenisnya. Mereka adalah orang dengan follower katakanlah di atas 10.000, dan hanya mau berinteraksi dengan sesama mereka yang ber-follower banyak. Mereka bikin even yang seolah terbuka, tapi faktanya ya dia lagi dia lagi orangnya. Mereka bangga sebab sering di-ReTweet, tanpa peduli isi twitnya bermutu atau tidak.

Siapakah para selebtwit?

Bisa jadi calon politisi, aktivis, calon artis, artis nanggung kurang terkenal (haha), mereka yang butuh dukungan massa untuk kepentingannya, atau mewakili perusahaan yang melakukan branding di Twitter, atau orang media yang mewakili kepentingan golongan tertentu.

Tiba-tiba saya rindu sama Facebook yang sangat egaliter. Apalagi akhir pekan lalu saya nonton film The Social Networking yang menggambarkan perjualangan Mark Zuckerberg membangun social media tersebut, terlepas dari ia suka atau tidak dengan bagaimana film itu mewakili dirinya.

Kalau bisa kembali, saya ingin hanya mengenal Facebook, dimana semua membernya adalah setara. Tidak ada seleb, tidak ada orang biasa. Apa daya, saya sudah terlanjur mengenal kelebihan Twitter juga, dimana kita bisa "njleplak" pendek saja seenak jidat. Dan seperti gambar di atas, burung memang bergerombol dan terdiri dari beberapa "golongan".









10 comments:

Unknown said...

hmm.. menarik sekali.
memang mungkin facebook diperuntukan untuk berteman, dan twitter buat ngobrol doank.. jadi ada kesan egaliter dan tidak..

tapi sungguh,menarik sekali (apa sih gw) :D

Anonymous said...

Menarik tulisannya.....

Soal twitter justru itulah uniknya, karena twitter bukan jejaring sosial lebih ke jejaring informasi. Konsep non-egaliter yang dia miliki justru mewmbuat pemakainya untuk tidak terlarut dalam dunia maya yang dia bangun sendiri sebagaimana kita jumpai di FB.

Miftahgeek said...

lho, kalo saya malah lebih menyukai sistem di twitter. konsep egaliter pada facebook malah buat saya terkesan dipaksa. kita harus follow-dan di follow secara bersamaan, justru bisa jadi kejadian radityadika yang punya 4 akun fb karena jatah friend tiap akun hanya 5ribu, akan terulang. efisien? nggak. bandingkan dengan twitternya yang cuman sebiji namun aktif.

Anonymous said...

menarik juga...
tapi di facebook juga ada fanpage, yang emang hanya untuk "difollow" tanpa si "terfollow" harus mengetahui orang-orang (fans) yang "memfollow"nya :D

Anonymous said...

Hi Merry!

Saya pikir at some point, FB juga punya kasta. Karena orang juga akhirnya memilih dengan siapa mereka mau berteman, mau komentar ke siapa dan ingin dikomentari siapa.

Twit, seperti kata Merry jauh lebih berkelas. Saya sering merasa ditinggalkan kalau melihat obrolan beberapa tweeps yang sepertinya keren dan nggak melibatkan kita. :-) And perhaps, kita sendiri juga melakukan itu.

Perhaps, karena twit dan fb adalah bagian dari relasi kita di dunia nyata.

Unknown said...

menurut saya tidak bisa dibandingkan juga karena tweet memang diperuntukan berbagi informasi saja
sementara fb memang untuk jejaring pertemanan

lalu pengguna itu sendiri membuat relasi2 (misal pengkastaan dst) itu sendiri2, terlepas media yg digunakan karena tidak melihat/memperhatikan peruntukan itu

afis said...

kalo saya sih lebih nyaman ngetwiit...soalnya lebih simple :D..

dan saya lebih menyukai konsep follow dan unfollow daripada konsep add pada facebook :D


itu saja :D

Akhyar said...

secara konsep relasi antar user, saya tertarik dengan Plurk.com

Di sana ada dua tombol sekaligus, "Follow" dan "Add as Friend"

sebutlah A ingin terhubung dengan B yang seorang seleb. A dapat memilih add as friend atau follow, mau keduanya juga boleh.

Nantinya B bisa menimbang-nimbang apakah dia memang kenal A secara pribadi.

- Kalau iya, bisa diaccept. Menjadi "friend" sebagaimana di facebook.
- Tapi bila tidak kenal, A bisa ditambahkan sebagai follower (fans). A bisa tetap mengikuti perkembangan B, tapi tidak sebaliknya. Mirip twitter lah ya.
- Kalau A terlalu abusive, bisa di-block.

Sayangnya plurk tidak sepopuler FB & twitter :P

(akhyar.web.id)

Pitra said...

Sepertinya egaliter tergantung cara pandang penggunanya. Sebetulnya sistem twitter malah bisa dibilang cukup demokratis, karena semua orang bebas bersuara lantang ke siapapun. Masalahnya, nggak semua orang bisa menerima pendapat yg bertentangan. Bisa jadi mereka belum cukup arif melihat sudut pandang yg berbeda dengan dirinya.

Setahu saya kalau masalah kopdar, nggak ada batasan sih untuk siapa yang mau datang. Baik itu kopdar @jtug atau @kopdarjakarta misalnya, setiap ajakan selalu terbuka untuk siapapun.

Tapi kalau yang mengundang politisi wahihihi saya kurang tahu ya. Tapi kalau itu sesuatu kegiatan sharing (kadang dari politisi) yang biasanya diselenggarakan oleh @obsat, nggak ada yang membatasi siapa yang boleh datang. Semua orang boleh.

Ataukah jangan2 cuma persepsi si individu itu sendiri yang merasa tidak nyambung kalau datang ke acara kopdar?

@kangparid said...

postingnya keren bu... suka suka suka... heu