Merpati Kembali Terbang Bebas (dan Tinggi)

Pemimpin redaksi alias Chief Editor alias Editor in Chief, katanya merupakan jabatan puncak dalam karier jurnalistik.  Awalnya dulu ketika ditawari posisi itu, saya berharap akan punya lebih banyak waktu untuk menulis, terutama menulis buku fiksi, sebuah obsesi yang belum kesampaian, sebab semua buku saya selalu non fiksi.

Kebebasan menuangkan ide, konsep, gaya bahasa, memang diberi ruang cukup luas pada mulanya.   

Tapi seiring waktu berlalu, baru saya sadari bahwa memimpin tim redaksi lebih dari perkara memberi ide, menuangkan konsep, bermain dengan gaya bahasa, melainkan juga mengatur sumber daya manusia.  Hal ini sudah saya sebut di postingan terdahulu.

Tidak, saya bukan tipikal orang yang bisa dengan mudah mengatur-atur pekerjaan orang, mengusik kehidupan mereka, mengganggu kenyamanannya.  Saya selalu menghargai privasi, kebebasan berekspresi, keliaran ide. Tidak mungkin saya mengatur sekelompok penulis berjiwa bebas seperti halnya mengatur sebarisan tentara.

Dan akhirnya saya menyerah.  Menggantungkan kartu pers untuk kedua kalinya, dalam waktu dan posisi berbeda. 

Kembali menjadi penulis full time, pekerja freelancer. Langkah pertama untuk merayakan kemerdekaan ini adalah dengan membeli MacBook Pro 13 inch, dengan niat agar lebih rajin menulis.

Kini saya tengah mengerjakan proyek ghostwriter sebuah buku fiksi.  Karena ghostwriter, maka tidak akan ada nama saya jika bukunya terbit kelak. Cukup sepadan dengan imbalannya.

Saya juga akan bergabung dengan ICT Watch, dan tim kajian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), serta menjadi copywriter di sebuah web. Dan tentu saja terus menjalankan Netsains.Net, proyek non profit saya bersama teman-teman.

Semoga obsesi saya menerbitkan novel dengan nama sendiri akan terwujud.